Kampus Kapan Merdeka
Tata kelola Kampus Merdeka mestinya mendorong perguruan tinggi memiliki ide-ide secara bebas. Tak sekadar mengejar keputusan-keputusan melalui mekanisme pasar. Kampus yang mampu mengangkat derajat dan martabat manusia.
Dalam semangat kebijakan Kampus Merdeka, fungsi negara justru kebablasan sampai ke ranah akademik. Perguruan tinggi pun kian kehilangan otonomi keilmuannya.
Belum lama ini, pemerintah memberikan penghargaan capaian indikator kinerja utama perguruan tinggi negeri tahun 2020/2021 (Kompas, 15/10/2021).
Melalui semangat Kampus Merdeka, program tersebut mendorong pencapaian performa perguruan tinggi yang dinilai melalui berbagai indikator. Serangkaian indikator pencapaian ini mendorong kita untuk melakukan refleksi, kampus kapan merdeka?
Kampus Merdeka hampir menjadi niat awal sejak berdirinya perguruan tinggi. Namun, kehadiran birokrasi negara banyak mengambil otonominya. Sejak itu, kampus sulit mewujudkan niat awal berdirinya, merdeka.
Indikator kinerja kampus dipatok, terutama dalam mencapai tujuan dan sasaran tertentu, yang hampir semuanya berorientasi pada pasar kerja. Padahal, tujuan dan sasaran tersebut merupakan capaian akademik. Pencapaian indikator kinerja menjadi tolok ukur pemberian insentif.
Dalam semangat kebijakan Kampus Merdeka, fungsi negara kebablasan sampai ke ranah akademik.
Kampus memiliki semangat otonom, yang menjalankan kontrol independen atas operasi, terutama akademik. Jarang sekali negara, untuk mengatakan tidak pernah, menentukan urusan kajian ilmu kampus. Ilmu dan pengembangannya menjadi urusan kampus, lebih sempit lagi program studi, pengembangan ilmu berlangsung.
Dalam semangat kebijakan Kampus Merdeka, fungsi negara kebablasan sampai ke ranah akademik. Bidang yang sesungguhnya hanya untuk para pengembangnya. Fungsi pengembangan ilmu direduksi, mengikuti pasar. Kemudian diperlakukan secara nasional, untuk semua kampus.
Peter Fleming (2021) menyebutkan, kampus telah berubah, sistem kolegialitas dan sipil perguruan tinggi digeser oleh sistem perusahaan bisnis. Akibatnya, kampus tidak mempunyai ide-ide secara bebas. Mengejar keputusan-keputusan melalui mekanisme pasar.
Reduksi pengembangan ilmu menjauhkan, menjadikan kampus menjadi sapi perahan untuk pencapaian berbagai indikator kinerja. Ilmu dikembangkan bukan sebagai kebutuhan untuk memanusiakan. Harusnya untuk menumbuhkan dan menjaga akal. Ilmu di universitas jadi garda terdepan penyelidikan dan keterbukaan filosofis. Selain itu, menjadi upaya melestarikan penyelidikan murni dari opini publik dominan.
Niat baik pemerintah mendorong kinerja perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri, memang layak diapresiasi positif sebagai terobosan baru. Tetapi, terdapat berbagai kelemahan menjadikan indikator kinerja utama perguruan tinggi, yang saat ini diterapkan.
Baca juga : Merdeka Belajar dan Kampus Tanpa Imajinasi
Hilangnya otonomi keilmuan
Perguruan tinggi dibangun seperti piramida dengan puncak menjulang, dengan landasan kuat dan lebar sebagai fondasinya. Ilmu, fondasinya dibangun dan dikembangkan pada berbagai disiplin, biasa disebut dengan program studi atau program studi.
Mereka diikat dalam rumpun ilmu yang sama, hidup dalam semesta ilmu di fakultas. Kecemerlangan universitas yang tampak pada puncak piramida sebenarnya cahaya dari pengkaji dan pengembang ilmu di program studi dan fakultas.
Berbagai ukuran internasional keunggulan perguruan tinggi, indikator yang digunakan berupa kinerja pada program studinya. Padahal, penilaian yang terdapat pada indikator kinerja utama perguruan tinggi negeri, saat ini orientasinya hanya melihat puncak piramida.
Pihak universitas dengan berbagai cara menekan fakultas dan program studi, pada ujungnya dosen dan mahasiswa, untuk berbagai capaian indikator kinerja. Ilmu didorong atau tepatnya ditekan untuk dikembangkan dari atas, bukan dengan memperkuat dan melebarkan landasannya.
Maka, saat ini pengembangan ilmu pada berbagai disiplin hanya menunggu perintah birokrasi universitas. Kepanjangan tangan pemerintah. Universitas, yang secara serempak dilakukan fakultas dan program studi, tunduk pada pendanaan berbasis kontrak kinerja, dana tambahan perguruan tinggi, dan dana untuk proyek aspirasi. Energi dosen diarahkan ke atas, bukan mengembangkan ilmu.
Kecenderungan pengembangan ilmu dan teknologi yang semakin kuat memperlihatkan adanya penyeragaman bidang ilmu dan memberikan prioritas kepadanya. Prioritas yang diberikan kepada universitas dengan pencapaian indikator kinerja tertentu. Tampaknya penguasaan bidang ilmu penting itulah yang akan memberikan peluang besar kepada universitas berada di garis terdepan.
Padahal, pada saat bersamaan, lebih banyak universitas yang perlu pendampingan untuk terus berkembang.
Pada titik inilah, kampus sebagai pengembang ilmu menjadi tidak merdeka. Unit terkecil mereka, landasan keilmuan yang seharusnya kuat dan lebar, diberi bobot beban besar dari puncaknya. Otonomi keilmuan yang seharusnya menginternalisasi pada para pengembang ilmu itu perlahan-lahan senyap.
Tata kelola Kampus Merdeka
Mestinya tata kelola perguruan tinggi diarahkan pada taraf pendidikan masyarakat untuk perbaikan dalam tingkat dan kualitas pendidikan. Pendidikan mestinya memiliki dampak terhadap perluasan pertumbuhan ekonomi, keadilan, dan pengurangan kemiskinan.
Pengaruh sebaliknya adalah karena indikator kinerjanya semata-mata ditekankan pada upaya memaksimalkan peningkatan angka pertumbuhan. Akibatnya, pengaruh pendidikan atas distribusi pendapatan dan penanggulangan kemiskinan absolut banyak diabaikan.
Tata kelola Kampus Merdeka mestinya mendorong perguruan tinggi memiliki ide-ide secara bebas.
Tata kelola Kampus Merdeka mestinya mendorong perguruan tinggi memiliki ide-ide secara bebas. Tak sekadar mengejar keputusan-keputusan melalui mekanisme pasar. Kampus yang mampu mengangkat derajat dan martabat manusia sebagai pribadi atau kelompok masyarakat secara keseluruhan. Kesetaraan derajat dan martabat antara mereka sendiri ataupun dalam hubungannya dengan bangsa atau negara lain.
Akhirnya, tata kelola Kampus Merdeka mestinya memberikan peluang yang luas pada berbagai disiplin ilmu untuk tumbuh berkembang, pada program studi dan universitalitas ilmu di fakultas. Melalui itu, pemerintah harusnya mampu mendorong untuk memperluas keanekaragaman pilihan manusia dan membebaskan mereka dari belenggu ketergantungan.
Berbagai indikator kinerja yang dibuat seharusnya bukan suatu bentuk penggantian dari ketergantungan tersebut.
Teguh Triwiyanto, Pengajar Universitas Negeri Malang