Gambaran Manusia Pancasila
Pancasila dikhawatirkan kehilangan kesaktiannya jika sebatas di bibir saja. Pancasila adalah tindakan dan bukti nyata kita semua, mencerminkan keseriusan menempuh jalan lurus di bidang masing-masing.
Sebelum pandemi Covid 19, murid-murid sekolah wajib upacara bendera pada Senin pagi. Salah satu rangkaian upacara itu adalah membacakan Pancasila. Inspektur membacakan Pancasila, peserta upacara menirukannya. Biasanya, para murid menirukan secara lantang.
Selama belajar daring, ada sekolah yang menyelenggarakan upacara virtual, tetapi banyak juga yang tidak melaksanakan kerutinan Senin pagi tersebut. Akibatnya, tak ada lagi pengucapan Pancasila secara lantang. Pencasila kian sayup-sayup terdengar, bahkan tak jarang pula murid yang mendadak lupa sila demi sila.
Selalu menjadi pertanyaan bersama, apakah membaca atau menirukan sila demi sila itu akan membuat Pancasila sakti? Tidak semudah itu. Ini pula yang menjadi tantangan elemen bangsa setiap mewacanakan Pancasila. Ramai dalam wacana, sepi pada tindakan. Pancasila ada, tetapi nilai-nilainya menguap entah ke mana.
Baca juga: Persoalan Pendidikan Pancasila di Sekolah Dasar-Menengah
Mem-Pancasila-kan Indonesia
Pancasila dikhawatirkan kehilangan kesaktiannya jika sebatas di bibir saja. Bukan sekadar lantang mengucapkan, bukan gagah-gagahan mengakui sebagai ideologi, bukan pula menyetujui sebagai dokrin yang ampuh.
Pancasila sakti itu, kata para penelaah Pancasila ataupun pengajar Pancasila, jika kita menjalankan sila-sila yang kita hafalkan. Kita resapi butir-butirnya dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari butir demi butir tersebut. Kita pun kokoh sebagai sosok Pancasilais. Sang Pancasilais punya sikap, punya komitmen, atau ketulusan, atau ada aksi nyata sesuai Pancasila.
Kala hal tersebut tercapai, Pancasila memang benar-benar ada, bukan ada tetapi seperti tiada. Pancasila adalah tindakan dan bukti nyata kita semua, mencerminkan keseriusan menempuh jalan lurus di bidang masing-masing.
Baca juga: Nestapa Pendidikan Pancasila
Untuk mewujudkan Pancasila sakti, perlu (kembali) mem-Pancasila-kan Indonesia. Istilah ini meminjam dari M Sastrapratedja dalam bukunya, Lima Gagasan Yang Dapat Mengubah Indonesia (Jakarta: 2013). Mem-Pancasila-kan Indonesia berarti membuat bangsa Indonesia hidup bersama dengan lebih manusiawi. Memanusiakan manusia.
Hemat penulis, gambaran lebih manusiawi bisa banyak hal. Secara sederhana, dalam hal menyelesaikan masalah, semisal, ada penolakan untuk menggunakan kekerasan. Juga bagaimana kita saling menghormati perbedaan, ketulusan mengakui identitas tetangga kita ataupun komunitas di sekitar kita, sekaligus menjunjung tinggi toleransi di tengah kemajemukan. Inilah sebagian kecil saja gambaran manusia Pancasila.
Gambaran manusia Pancasila, menurut Sastrapratedja, sesuai dengan lima silanya yang ditandai oleh lima kemampuan: kemampuan untuk menghargai perbedaan, untuk membawa diri secara manusiawi dan santun, untuk mencintai tanah airnya, untuk bersikap demokratis, serta bersikap adil dan solider.
Gambaran manusia Pancasila, menurut Sastrapratedja, sesuai dengan lima silanya yang ditandai oleh lima kemampuan.
Tentang gambaran manusia Pancasila ini dirinci sila per sila oleh Driyarkara (misalkan lihat Karya Lengkap Driyarkara: 2006, halaman 938-959), tetapi pada hakikatnya bisa dipadatkan dalam simpulan singkat. Menurut Driyarkara, pada pokoknya gambaran yang dituntut oleh Pancasila bahwa manusia itu merupakan kesatuan dengan dunia material, tetapi juga dengan manusia sesama; dan juga manusia Pancasila itu berhubungan dengan Tuhan penciptanya.
Dengan ini tampaklah bahwa manusia itu adalah relasi atau berelasi vertikal ke Tuhan dan horizontal ke sesama manusia ataupun Tuhan. Dalam hubungan-hubungan itu manusia bergerak aktif secara terus-menerus untuk membangun dirinya dan masyarakat. Jadi, gambaran manusia Pancasila tak bisa dianggap statis.
Kendala mewujudkannya
Pemikiran-pemikiran di atas tidak mudah untuk diwujudkan. Selalu menjadi persoalan manakala bermaksud menanamkannya dalam kehidupan nyata. Gambaran manusia Pancasila sudah jelas. Namun, bagaimana gambaran itu mewarnai segi kehidupan, ini yang butuh kerja keras dan keteladanan.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tak bisa berkerja sendirian. Badan ini memang dibentuk sebagai lembaga yang membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila. Namun, untuk sampai pada Pancasila sebagai tindakan, BPIP masih harus merangkul banyak pihak.
Pernah BPIP menyelenggarakan lomba karya tulis tentang Pancasila. Kemudian menjadi pertanyaan khalayak, bisakah tulisan terbaik itu menggerakkan generasi milenial untuk bertindak sesuai gambaran Pancasila? Generasi milenial hidup sebagai ”homo digitalis”, rasanya perlu cara yang akrab dengan mereka untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila tersebut.
Generasi milenial hidup sebagai ”homo digitalis”, rasanya perlu cara yang akrab dengan mereka untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila tersebut.
Sekadar inspirasi, sedang tren di China generasi milenial di sana membuat video pendek berisi pesan untuk memanusiakan manusia dan video itu diunggah di media sosial bisa kita contoh. Artinya, jangan melulu berpandangan negatif tentang media sosial. Sisi lain media sosial bisa diberdayakan dengan konten-konten positif.
Kita bisa mencontohnya. Lantas, apa isi video itu? Kita gambarkan tindakan-tindakan inspiratif generasi milenial yang sesuai dengan Pancasila. Banyak generasi muda yang memenuhi gambaran manusia Pancasila, contohnya adalah anak-anak muda yang meraih anugerah Satu Indonesia, tetapi mereka ”tenggelam” oleh pansos anak muda yang gencar di Instagram. Atau kiprah mereka disisihkan begitu saja karena lebih menarik video-video konyol atau sekadar menghibur demi jumlah tayangan.
Jika saja gambaran manusia Pancasila di kalangan anak muda secara terus-menerus menerobos dunia anak muda lewat Instagram, niscaya lebih mudah memberikan contoh-contoh tindakan menuju sosok Pancasilais. Tinggal bagaimana BPIP atau lembaga lain yang terkait Pancasila mau merangkul akun Instagram ber-follower banyak, tetapi punya etika. Sebab, banyak sekali akun Instagram pesohor dengan jutaan follower, tetapi unggahan-unggahan mereka tidak menggambarkan manusia Pancasila.
Bayangkan, berdasarkan data dari statista.com, hingga kuartal I-2021, jumlah pengguna aktif Instagram di seluruh dunia 1,07 miliar. Dari jumlah ini, sekitar 354 juta penggunanya berusia 25-34 tahun. Pengguna terbanyak adalah India dengan 180 juta orang. Diikuti Amerika Serikat 170 juta pengguna, Brasil 110 juta pengguna, Indonesia 93 juta pengguna, dan Rusia 61 juta pengguna.
Kalau di negeri kita, ungkap data itu, pengguna terbesar terdapat di kelompok usia 18-24 tahun, yaitu 36,4 persen. Instagram berada di urutan ketiga sebagai platform media sosial yang paling sering digunakan setelah Youtube dan Whatsapp.
Baca juga: Diperlukan Ikhtiar Menanamkan ”Cip” Pancasila di Benak Generasi Muda
Cara ala generasi muda China itu sekadar alternatif mengatasi kendala lambatnya mewujudkan gambaran manusia Pancasila dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bagaimanapun diberi contoh tindakan lebih meresap ke benak kita ketimbang terus-menerus ”dicekoki” ucapan-ucapan semata. Memang, sih, yang lebih efektif jika masyarakat ada contoh keteladanan dari para pemimpinnya. Namun, keteladanan itu ibarat ”mencari sebuah jarum di tumpukan jerami”.
Toto TIS Suparto, Penulis Filsafat Moral