Tatkala Banjir Jadi Berkah, Karya Kemanusiaan Misionaris OSA di Ketapang
Pesan kuat terpancar dari buku ini berakar dari suatu keyakinan para penulisnya bahwa sejarah mesti diciptakan, artinya memang diniatkan oleh para pelaku di dalamnya sejak mula bukan direkayasa.
Bahkan sampai sekarang pun, Kota Ketapang di Kabupaten Ketapang sebagai wilayah terluas Provinsi Kalimantan Barat kurang begitu dikenal publik. Sungguh tak setenar Singkawang dengan festival Cap Go Meh atau tak se-viral bipang Ambawang yang sudah jadi heboh di jagad maya. Apalagi di tahun 1949, ketika lima orang suster perawat dari Heemstede, Negeri Belanda, tiba untuk pertama kalinya di Ketapang guna mengabdi pada misi kemanusiaan.
Kabupaten Ketapang adalah wilayah paling luas di Kalbar. Bahkan jauh lebih luas daripada wilayah satu provinsi di Jawa; apakah itu Jateng atau Jatim. Namun, ke kawasan permukiman penduduk yang termasuk kawasan “antah berantah” itulah, kelima noni-noni perawat Belanda justru merasa terpanggil ingin merintis karya layanan kesehatan.
Hingga tahun 1970-an, kondisi Kota Ketapang masih mirip sebuah “desa” besar yang dikelilingi hutan lebat, lengkap dengan aneka binatang hutan seperti kera, orang utan, ular, babi hutan, aneka burung, yang sering kali hilir mudik mengisi jalan-jalan setapak di ibukota kabupaten ini (hlm. 3-38). Nyaris semua lokasi di kawasan ‘’udik alias ndeso’’ ini hanya bisa dijangkau melalui aliran sungai. Itu pun hanya bisa terjadi, tatkala ada ketinggian air sungai berkat siraman hujan deras.
Banjir menjadi “berkah” yang bisa memperlancar moda transportasi sungai. Unik, tatkala banjir menjadi bencana di daerah lain, di sejumlah kawasan di Ketapang ini justru menyalakan denyut kehidupan. Inilah yang dialami masyarakat Kampung Aur Gading di wilayah hulu Sungai Bihak (hlm. 431) dan Kampung Randau Limat di wilayah hulu Sungai Laur (hlm. 426). Sebaliknya, di kala musim kemarau, lautan debu tebal akan langsung menutupi badan jalan, begitu kendaraan datang melintas.
Hingga kini, hanya tersedia jalan beraspal sejauh kurang lebih 70 km dari pusat kota menuju arah Kendawangan dan Sandai. Selebihnya, yang tersedia di seluruh Kabupaten Ketapang hanyalah “jalan perusahaan” (hlm. 434-460). Inilah akses jalan pedalaman yang berciri “apa adanya”. Hasil peninggalan perusahaan sawit dan tambang yang hanya nyaman dan aman dilintasi mobil jenis 4x4 WD dobel gardan. Namun, tetap saja harus hati-hati melintasi jalan berbatu-batu penuh kubangan bubur pekat lumpur di waktu hujan, tapi penuh lautan debu saat musim kemarau (hlm. 39-80).
Dua korban tewas di Sungai Pesaguhan
Hari-hari karya penuh perjuangan berat inilah yang dialami oleh para suster perawat Belanda dalam upaya membangun Ketapang. Mula-mula bidang layanan kesehatan dan kemudian pendidikan vokasional berasrama guna menampung anak-anak Dayak di pedalaman agar bisa bersekolah di “kota”. Lantaran di Kawasan pedalaman tidak ada sekolah (hlm. 359-387).
Karya kemanusiaan itu dimulai dengan kesediaan warga Belanda itu menjadi pegawai negeri sebagai tenaga kesehatan di RSUD Ketapang. Tiba di Ketapang tanggal 6 Desember 1949 usai enam pekan pelayaran dari Rotterdam menuju Batavia dan berikutnya dari Jakarta menuju Pontianak dan Ketapang, maka tiga hari kemudian kelima suster perawat Belanda itu sudah sibuk merawat pasien RSUD Ketapang.
Barulah mulai tahun 1952, dua suster perawat Belanda ini bisa mengembangkan karya kesehatan di Tumbang Titi - wilayah pedalaman yang waktu itu hanya bisa dijangkau dengan “pelayaran” melalui Sungai Pawan dan Sungai Pesaguhan (hlm. 289-338).
Aliran kedua sungai ini penuh riam, berarus deras dengan bebatuan cadas yang menjulang dari dasarnya. Tak ayal, perjalanan melalui kedua sungai ini selalu menantang risiko sekaligus menguji adrenalin bagi siapa pun yang berani melintasinya.
Setangguh apa pun dan sepandai apa pun berenang, Sungai Pesaguhan yang terhampar tidak jauh dari Tumbang Titi tetaplah sangat berbahaya. Lantaran sungai ini penuh dengan “jebakan Batman” yang tak terduga perilakunya: kadang bersahabat, sesaat kemudian bergejolak.
Nasib tragis menimpa Raphael Kleyne dan Caspar de Ridder van der Schueren -keduanya dari Belanda- yang harus merenggang nyawa, karena tewas tenggelam terseret arus Sungai Pesaguhan tahun 1952. Sementara suster perawat Roovers dari Belanda berhasil selamat lantaran rambut panjangnya “tersangkut” pada dahan pepohonan yang meliuk ke bawah ((hlm. 351-355).
Buku tebal besutan Mathias Hariyadi dan Royani Ping ini berkisah apik tentang pelayanan kesehatan dan pernak-pernik karya pembinaan anak-anak Dayak dari kawasan pedalaman untuk disekolahkan di Ketapang dan Tumbang Titi. Kisah karya humanis inilah yang digarap kedua penulis dan kemudian mereka sajikan kepada pembaca dengan ragam bahasa kekinian.
Ditulis berdasarkan arsip-arsip dokumentasi berbahasa Belanda, Perancis, Inggris dan Indonesia, juga berdasarkan serangkaian wawancara dengan para pelaku peristiwa. Eloknya, kisah sejarah itu dikemas layaknya sebuah laporan perjalanan jurnalistik kedua penulisnya sehingga buku sejarah serasa hadir bukan lazimnya buku sejarah kaku. Namun dikemas secara bernas dengan ragam tulisan khas gaya wartawan lapangan yang mengasyikkan.
Hasilnya, Jalan Berlumpur, Sungai Beriam: OSA Membangun Ketapang ini benar-benar muncul sebagai buku menawan. Ini buku sejarah serius, lengkap dengan ratusan foto dokumentasi sejarah masa silam, ditulis berdasarkan riset setahun namun bisa tampil manis dengan ragam bahasa jurnalistik. Mirip-mirip kisah cerita perjalanan masuk hutan, menyusuri sungai berliku hingga masuk jauh ke dalam wilayah hutan tropis berkanopi lebat dengan menjalani live in di tengah permukiman penduduk pedalaman Dayak yang hingga kini wilayahnya sama sekali belum tersentuh listrik PLN.
Hal-hal eksotik itu dikisahkan secara apik pada dua bagian awal buku yang menyita porsi 288 halaman, dilengkapi dengan beragam gambar dan foto dokumentatif.
Hal-hal eksotik itu dikisahkan secara apik pada dua bagian awal buku yang menyita porsi 288 halaman, dilengkapi dengan beragam gambar dan foto dokumentatif. Seolah kian menegaskan, buku ini ingin mengabadikan kisah sejarah masa silam yang hendak “diciptakan” kembali agar tak mudah lekang oleh waktu dan ingatan pendek manusia yang mudah kabur dan/atau dikaburkan beragam faktor. Sehingga membaca buku nan tebal ini sama sekali tidak membuahkan kebosanan, sebaliknya, selalu muncul rasa ingin tahu terus-menerus.
Menciptakan sejarah
Sejarah tentu tak mungkin bisa mengingkari fakta yang telah terjadi. Justru karena itulah, sejarah tentang fakta itu tidak semata perlu ditulis, tetapi memang harus “diciptakan” kembali sebagai titik pijak kuat merancang masa depan nan gemilang sebagaimana dijelaskan di halaman-halaman pendahuluan.
Pesan kuat terpancar dari buku ini berakar dari suatu keyakinan para penulisnya bahwa sejarah mesti diciptakan, artinya memang diniatkan oleh para pelaku di dalamnya sejak mula bukan direkayasa. Sebagaimana dikutip dalam buku ini, George William Curtis penulis Amerika kenamaan berujar: “While we read history, we also make history.”
Curtis benar adanya, tanpa kita pernah kenal akan sejarah sendiri akanlah muskil, bila kita mampu merancang dan memiliki masa depan. Laksana pohon beringin kosong tanpa jalinan akar nan kokoh dan mendalam guna menyerap sari-pati sumber kehidupan dari sang ibu pertiwi.
Begitulah, kehidupan hanya menghargai mereka yang berani bergerak, mengikuti gelombang zaman. Tapi tak harus hanyut dalam arus deras hiruk pikuk modernisme era post-truth yang kadang membuai menyesatkan. Manusia yang menolak bergerak, enggan mencipta, malas mengkreasi berarti pula menolak harapan.
Tepat telak pada titik situasi inilah kita harus berani bergerak merespon tantangan kehidupan yang tengah dilingkupi pandemi dengan dua pilihan: berani atau marah. Berani menghadapi setiap keterbatasan atau marah atas keterbatasan tersebut. Harapan hanya bisa dijemput dengan gerak, berderap, berupaya mencipta, berkreasi. Sebagaimana lima suster perawat OSA bergerak di tengah ketidak-tahuan dan ketidak-pastian merintis karya kemanusiaan menuju wilayah Ketapang Hindia-Belanda waktu itu.
Pilihan, ya berani memilih bergerak itu dilandasi panggilan kasih beralas semangat cor unum et anima in Deo (hidup bersama, sehati sejiwa menuju Tuhan) adalah fakta sejarah tak terbantah yang menautkan karya kehidupan dalam untai benang sejarah hingga kini. Sebagaimana dituturkan pada bagian ketiga (hlm. 289-359), buku ini menampilkan berbagai karya kemanusiaan dalam semangat kasih humanisme universal.
Bidang garapan yang mencakup soal kesehatan, pendidikan, dan pembinaan sumber daya manusia adalah lahan subur bagi penaburan benih-benih kemanusiaan tanpa sekat. Karya-karya inilah yang telah menorehkan dampak besar bagi kemajuan wilayah Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara. Bukan melulu soal besaran kuantitatif, lebih dari itu torehan makna dan nilai hakiki karya tersebut terus berlanjut, berpendar menembus waktu hingga kini (hlm. 390-632).
Bagian akhir buku ini membingkai untai sejarah yang dicipta dan ditorehkan tersebut dalam lukisan besar menjadi Indonesia kini dan beragam tantangan masa depan yang mesti dihadapi dengan gagah tanpa merasa jumawa. Serakan dan ceceran tersebut juga dirangkai dan dijahit dengan berbagai informasi yang coba dipungut, dikumpulkan oleh para penulisnya melalui perjumpaan dengan pelaku sejarah serta para informan (baca: nara sumber lainnya yang terkait).
Baca juga : Jejak Langkah Romo Kadarman
Beranjak dari proses memulung, memunguti, dan merajutnya barulah benang merah itu ditemukan untuk kemudian dijahit lebih rapi dan disinergikan dalam rangkaian kisah sejarah agar bisa menjelaskan mengapa kita perlu belajar sejarah serta perlu menciptakannya (hlm. 632-674).
Terang inspiratif sejarah inilah yang membantu kita melawan lupa, mengatasi keterbatasan ingatan pendek manusia, serta menjadi nyala pemantik dalam mengkreasi masa depan. Lepas dari belenggu era post-truth yang kuat mencengkeram kita di era kini, masa datang tentu masih merupakan misteri yang di dalamnya terkandung aneka ketidak-pastian yang mesti disikapi secara bijak dan jenial.
Gregorius Teguh Santoso Penulis sedang menyelesaikan Ph.D di National Dong Hwa University Taiwan, sembari tetap mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur.
Data Buku
Judul : Jalan Berlumpur, Sungai Beriam: OSA Membangun Ketapang.
Penulis : Mathias Hariyadi dan Royani Ping.
Penerbit : Maharsa
Catakan : I, 2021
Tebal: xlii + 684 hlm.
ISBN : 9786020893525