Penyempurnaan UUD 1945 perlu dilakukan secara komprehensif. Penguatan kewenangan DPD adalah gagasan baik dan mendesak demi terciptanya sistem parlemen dua kamar yang efektif.
Oleh
GKR HEMAS
·4 menit baca
Demokrasi adalah terminologi politik yang paling sering digaungkan. Namun, juga paling problematik seiring dinamika politik kontemporer yang menyertai. Jamaknya negara lain, kita mengaktualisasi demokrasi dalam bentuk perwakilan (representation).
Pasca-reformasi, lembaga perwakilan Indonesia berubah format dari unikameral menjadi (tepatnya mendekati) bikameral. Sebagai anak kandung reformasi, kelahiran DPD adalah cara bangsa ini mengukuhkan demokrasi, membalikkan keadaan dari sentralistik menuju desentralistik.
Di pundak DPD, penguatan otonomi daerah diamanahkan dan diperjuangkan untuk sebesar-besarnya diakomodasi dalam keputusan politik dan kebijakan nasional.
Hingga akhir 2020, DPD setidaknya telah menghasilkan 749 keputusan. Keputusan itu terdiri atas 104 usul inisiatif RUU, 265 Pandangan dan Pendapat DPD atas RUU tertentu, 23 Pertimbangan DPD atas RUU bidang Pendidikan dan Agama, 241 hasil pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu, 88 pertimbangan terkait anggaran, 11 usulan Prolegnas, dan 17 rekomendasi DPD RI.
Revitalisasi institusi demokrasi adalah sebuah keniscayaan.
Termarginalkan
Angka-angka itu menunjukkan, DPD tetap memaksimalkan diri di tengah kewenangannya yang terbatas. DPD selalu optimistis meski banyak pihak pesimistis. Tak sedikit yang menganggap kehadiran DPD sebagai formalitas eksistensi daerah di Pusat (representation in present), bukan lembaga perwakilan ideal. Sebagian malah menyebutnya secara sinis, yakni tak lebih sebagai subordinasi DPR.
Karena itu, penting memikirkan penguatan kewenangan DPD. Revitalisasi institusi demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Itu dilakukan agar sistem politik tetap menjadi penyangga demokrasi sehingga semakin efektif mengelola kepentingan rakyat menuju kesejahteraannya.
Bila tidak, institusi demokrasi hanya menjadi bedak yang menampakkan wajah seolah-olah demokratis, padahal kenyataannya tidak.
Dengan fungsi dan kewenangannya yang serba terbatas, mau tak mau membuat posisi tawar DPD lemah dalam relasi dan fungsi ketatanegaraan.
Dilema ini mendegradasi cita-cita dan harapan bangsa dalam konteks penguatan otonomi daerah (otda). Kita setuju desentralisasi, tetapi persetujuan itu diiringi pembatasan kewenangan DPD sebagai alat perjuangan kepentingan daerah di pusat pemerintahan. Kenyataan ini sungguh kontradiktif.
DPD mewadahi aspirasi daerah. Namun, posisi penting ini tidak terintegrasi ke ranah pengambilan keputusan legislasi nasional. Ini menunjukkan betapa DPD termarjinalkan secara politik dan konstitusional.
Padahal, kehadiran DPD tak diharapkan sebatas mengusulkan dan mengawasi pelaksanaan UU. Kehadiran DPD juga dituntut mendorong optimalisasi mekanisme check and balances, baik antara legislatif dengan eksekutif, dengan lembaga tinggi negara lainnya, maupun di lingkungan internal parlemen sendiri.
Tetapi, semua harapan mulia ini jadi timpang dalam pelaksanaannya ketika kewenangan antara satu lembaga tinggi negara dengan lembaga tinggi negara lainnya tak proporsional.
DPD sendiri bukan tak menyadari sejumlah kelemahan ini. Lebih dari 10 tahun anggota DPD berjibaku memperjuangkan penguatan hak konstitusionalnya. Pada periode 2009-2014, anggota DPD telah menghasilkan rumusan perubahan konstitusi berupa amendemen komprehensif.
Secara garis besar, gagasan amendemen komprehensif bertitik tumpu pada tiga substansi. Pertama, memperkuat sistem presidensial. Kedua, memperkuat sistem parlemen dua kamar. Ketiga, memperkuat otda.
Musyawarah pra-amendemen
Kini, isu amendemen kelima menguat seiring geliat politik nasional. Berbagai kepentingan politik diduga ikut mengipasi isu ini sehingga bertiup lebih kencang. Di satu sisi situasi ini jadi kesempatan emas bagi DPD meraih hak-hak konstitusionalnya, sementara di sisi lain, kita wajib mewaspadai kepentingan politik tertentu yang ditengarai mengintip peluang cawe-cawe di panggung amendemen.
Problemnya bukan pada amendemen, tetapi niat di balik upaya mendorong amendemen tersebut. Ambisi pribadi atau kelompok sering kali bersembunyi di balik jargon demi kepentingan bangsa, demi demokrasi, dan seterusnya.
Adalah mustahil mendeteksi baik-buruknya niat seseorang. Namun, kita bisa meminimalkan risiko dengan mengoptimalkan antisipasi. Dari sudut pandang ini, urgensi mendorong musyawarah pra-amendemen menjadi sangat beralasan.
Melalui musyawarah ini, peserta amendemen bisa bersepakat tentang hal-hal apa saja yang akan dibahas dan harus dihindari. Dengan mekanisme itu, pembahasan amendemen dapat dipagari agar tetap fokus dan tak melebar.
Bila dalam forum itu kita hanya sepakat mengamendemen satu pasal terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), misalnya, dalam proses pembahasan amendemen cukup hanya satu pasal itu saja yang diubah atau ditambahkan, tidak membahas yang lain. Ini contoh soal saja.
Intinya, penyempurnaan UUD 1945 perlu dilakukan secara komprehensif.
Intinya, penyempurnaan UUD 1945 perlu dilakukan secara komprehensif. Penguatan kewenangan DPD adalah gagasan baik dan mendesak demi terciptanya sistem parlemen dua kamar yang efektif.
Namun, demi perubahan yang komprehensif, kita perlu juga melihat urgensi penguatan sistem presidensial yang diikuti secara berimbang oleh penguatan otda dan hubungan pusat-daerah. Di atas segalanya, kita perlu mengantisipasi bermainnya kepentingan-kepentingan di luar kepentingan bangsa dan negara.
Semoga harapan dalam perjuangan panjang ini berbuah manis dan menjadi kado politik bagi ulang tahun ke-17 DPD pada 1 Oktober lalu.