Banyak kendala masih dihadapi UMKM untuk bisa bertumbuh dan menembus pasar global, mulai dari persoalan sertifikasi, standar produk, pemasaran, pembiayaan, hingga akses pasar.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Di tengah pandemi yang belum surut, ekspor nonmigas Indonesia menunjukkan tren pertumbuhan positif sejalan dengan pulihnya ekonomi dan perdagangan global.
Total ekspor sepanjang tahun 2020 adalah 163,3 miliar dollar AS atau turun 2,61 persen dibandingkan dengan 2019. Secara kumulatif, nilai ekspor Januari-Agustus 2021 mencapai 142,01 miliar dollar AS atau naik 37,77 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2020. Ekspor nonmigas 134,13 miliar dollar AS atau naik 37,03 persen. Kenaikan ekspor ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terutama didorong lonjakan harga komoditas di pasar global dan meningkatnya permintaan dari beberapa negara mitra dagang.
Ekspor nonmigas Indonesia ke-14 negara anggota Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) juga tumbuh 5,33 persen dalam lima tahun terakhir. Sekitar 54,12 persen dari total ekspor pada 2020 tertuju ke RCEP.
Meski menunjukkan pertumbuhan positif, kita tak boleh berpuas diri. Dibandingkan dengan beberapa negara pesaing, seperti India, Vietnam, Malaysia, dan Thailand, ekspor kita tertinggal dari sisi pangsa pasar ataupun struktur komoditas. Berbeda dengan Indonesia, ekspor negara-negara itu juga tak lagi didominasi komoditas primer, tetapi komoditas produksi industri bernilai tambah.
Kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kita terhadap total ekspor tergolong masih kecil, yakni 14 persen. Bandingkan dengan Singapura sebesar 41 persen, Thailand (29 persen), dan China (60 persen). Berbagai langkah ditempuh pemerintah dan otoritas moneter/keuangan beberapa tahun terakhir guna mengakselerasi agar UMKM naik kelas lebih cepat menjadi usaha besar, berbasis ekspor, dengan target kontribusi UMKM dalam total ekspor mencapai 21,6 persen pada 2024.
Di lapangan, banyak kendala masih dihadapi UMKM untuk bisa bertumbuh dan menembus pasar global, mulai dari persoalan sertifikasi, standar produk, pemasaran, pembiayaan hingga akses pasar. Problem kelangkaan kontainer belakangan ini juga memukul eksportir UMKM mengingat 80 persen ekspor dilakukan melalui kargo laut.
Semua ini menunjukkan, masih banyak pekerjaan rumah harus diselesaikan. Berbagai terobosan yang sudah ditempuh, antara lain, mendorong digitalisasi, pembinaan, pendampingan, dan pembiayaan ke UMKM, serta membangun ekosistem yang ramah dan mendukung pertumbuhan UMKM.
Di antara kebijakan yang baru-baru ini diluncurkan adalah menaikkan plafon KUR dari sebelumnya maksimum Rp 500 juta menjadi Rp 20 miliar dan KUR tanpa agunan dari Rp 50 juta ke Rp 100 juta. Juga mendorong agar pinjaman UMKM segera mencapai 20 persen dari total pinjaman perbankan.
Langkah lain, disebutkan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, ialah penguatan database, pemetaan potensi produk ataupun pasar melalui Basis Data Tunggal UMKM, preferensi pasar di negara tujuan, jaringan distribusi dan gudang di luar negeri, serta langkah afirmasi penurunan tarif di negara tujuan dan memperluas kerja sama dagang luar negeri.
Skema pembiayaan UKM untuk ekspor terus dipermudah pula melalui kerja sama dengan LPEI/KURBE, LPDB-KUMKM, perbankan/himbara, dan skema alternatif lain, seperti crowd funding, modal ventura, dan CSR.