Kongres Persatuan Konservasi Internasional (International Union for Conservation of Nature/IUCN) di Perancis menyebutkan bahwa satwa endemik Indonesia di Taman Nasional Komodo terancam punah karena perubahan iklim.
Oleh
NABHAN AIQANI
·4 menit baca
Kongres Persatuan Konservasi Internasional (International Union for Conservation of Nature/IUCN) di Perancis meningkatkan status komodo dari rentan (vulnerable) menjadi terancam punah (endangered) dalam daftar merah IUCN (IUCN Red List) pada 4 September 2021.
Dalam laporan IUCN disebutkan bahwa satwa endemik Indonesia yang mendiami Taman Nasional Komodo itu semakin terancam punah oleh dampak perubahan iklim. Di antaranya akibat dari kenaikan suhu global dan kenaikan permukaan air laut, yang diperkirakan akan mengurangi habitat komodo, setidaknya hingga 30 persen dalam 45 tahun ke depan (Kompas.com).
Menurut peneliti LIPI, Evy Ayu Arida, berdasarkan data publikasi ilmiah, populasi komodo selama ini sekitar 2.500 ekor. IUCN kemungkinan besar menggunakan data tersebut untuk menentukan kriteria komodo sebagai spesies terancam punah. Secara umum, populasi komodo memang kecil. Sensus yang dilakukan memperlihatkan bahwa populasi komodo cenderung fluktuaktif.
Sejatinya, peningkatan status ini paralel dengan rentetan dari sorotan organisasi internasional terhadap pelaksanaan proyek pembangunan Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional Superprioritas.
Pada Juli lalu, UNESCO mengeluarkan dokumen untuk meminta Pemerintah Indonesia menghentikan sementara semua proyek infrastruktur di dalam dan sekitar TNK.
IUCN kemungkinan besar menggunakan data tersebut untuk menentukan kriteria komodo sebagai spesies terancam punah.
UNESCO beralasan, proyek itu berpotensi berdampak pada nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value (OUV) sebagai indikator penetapan warisan dunia (world heritage), yang mengatur soal aspek budaya dan alam (lingkungan) sebagai hal penting untuk dijaga bagi keberlangsungan generasi seterusnya.
Poin-poin evaluasi dari UNESCO menyebutkan, terkait permintaan informasi secara detail mengenai pengembangan Information Technology Master Plan (ITMP) atau rencana pengembangan IT di TNK, agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap OUV.
UNESCO memberikan batas waktu penyerahan revisi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan dokumen pendukung terkait dengan ITMP Taman Nasional Komodo pada 1 Februari 2022 mendatang.
Dengan adanya laporan terbaru IUCN dan desakan UNESCO, bukan berarti pemerintah tunduk dan melepaskan kedaulatan atas kepentingan ekonomi nasional, tetapi urgensi dan fakta yang dihadirkan tak dapat dihindari. Pemerintah tak bisa tidak harus mengeluarkan kebijakan tegas terhadap pembenahan dan tata kelola pembangunan yang ramah lingkungan.
Momentum ini seharusnya menjadi titik balik (turning point) untuk meninjau posisi TNK yang termasuk dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo.
Anggaran sebesar Rp 1,3 triliun dikucurkan pemerintah pada 2020. Pemerintah juga membuka keran investasi untuk pelaksanaan proyek yang dibuka seluas-luasnya. Foto-foto viral yang memperlihatkan komodo berdiri di antara kendaraan-kendaraan proyek besar menampilkan fakta yang sungguh mengenyakkan.
Foto-foto yang beredar memperlihatkan banyak kendaraan proyek besar yang digunakan, yang berpotensi merusak bentang kawasan dan alam.
Langkah tegas dan terukur
Oleh karena itu, menimbang berbagai masukan dan fakta-fakta yang ditampilkan di lapangan, ada beberapa langkah tegas dan terukur terkait pengembangan TNK dan perlindungan terhadap habitat komodo itu.
Pertama, mendorong agar revisi amdal segera diselesaikan oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur fisik TNK, yang sering disebut sebagai ”Jurassic Park”, berpotensi mengganggu habitat alami hewan endemik tersebut. Oleh karena itu, sebelum revisi amdal diselesaikan dan ditinjau kembali, proyek pembangunan TNK harus dihentikan sementara.
Kedua, regulasi tentang kawasan taman nasional sejatinya tak membenarkan adanya pembangunan infrastruktur fisik yang mengubah bentang kawasan dan alam sehingga pembangunan infrastruktur itu harus ditinjau kembali, kecuali dilakukan di zona pemanfaatan. Foto-foto yang beredar memperlihatkan banyak kendaraan proyek besar yang digunakan, yang berpotensi merusak bentang kawasan dan alam.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2019 menyebutkan bahwa pengusahaan pariwisata alam harus sesuai dengan asas konservasi sumber daya alam dan ekosistem guna mencegah kerusakan dan atau kepunahan keunikan, kekhasan, keindahan alam, keindahan dan keanekaragaman jenis satwa liar, dan atau jenis tumbuhan yang terdapat di taman nasional.
Setelah keluarnya laporan IUCN terbaru, yang meningkatkan status komodo sebagai hewan terancam punah, perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap pelaksanaan pembangunan proyek yang sedang berjalan. Hal ini merupakan situasi yang harus ditanggapi serius dan mendesak. Pemerintah mesti mengeluarkan kebijakan segera menanggapi laporan IUCN tersebut.
Ketiga, pelibatan swasta dalam pengembangan TNK harus dilakukan secara akuntabel dan terbuka, dengan tetap patuh pada aspek konservasi dan keberlanjutan lingkungan, serta menyesuaikan dengan budaya lokal. Perusahaan-perusahaan pemegang konsesi di sekitar areal pembangunan TNK harus dibuka dan diketahui publik.
Setidaknya ada tiga perusahaan swasta yang sudah mengantongi izin. Disebutkan, PT SKL mendapat izin mengelola 22,1 hektar lahan di Pulau Rinca. Lalu, PT KWE memperoleh izin mengelola lahan 151,9 hektar di Pulau Komodo dan 274 hektar di Pulau Padar.
Perusahaan-perusahaan pemegang konsesi di sekitar areal pembangunan TNK harus dibuka dan diketahui publik.
Orientasi bisnis an sich dalam pelibatan swasta mesti dibatasi, dengan kewajiban untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar, penghormatan terhadap budaya lokal, dan keberlanjutan lingkungan.
Dengan demikian, apabila langkah-langkah tegas dan terukur ini bisa dilakukan, proyek yang sudah berjalan 95 persen akan dapat benar-benar terlaksana demi keberlanjutan lingkungan dan habitat komodo, serta memberikan citra baik bagi Indonesia dalam mempromosikan pembangunan yang ramah lingkungan (green development).
Nabhan Aiqani,Peneliti Bisnis dan HAM Setara Institute