Pemerintah berjanji melindungi ekosistem di Taman Nasional Komodo. Namun, pembangunan fasilitas umum dan pemberian izin kepada pihak swasta dinilai dapat mengganggu ekosistem tersebut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menyatakan komitmen untuk terus melindungi satwa langka komodo di Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Namun, sejumlah pihak menyebut komitmen tersebut harus dibuktikan dengan menjaga ekosistem kawasan agar nyaman bagi kehidupan komodo. Komitmen itu ditunggu publik.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Zeth Sony Libing, lewat sambungan telepon di Kupang, Rabu (15/9/2021), mengatakan, komodo adalah simbol pariwisata NTT. Tanpa komodo, pariwisata NTT tidak akan maju seperti saat ini. Oleh karena itu, perlindungan terhadap komodo menjadi prioritas.
Upaya yang dilakukan di antaranya menjaga komodo dari aksi pencurian serta memastikan pakan untuk komodo, berupa rusa dan babi hutan, terjamin. Selama ini sering terjadi pencurian komodo dan rusa di Taman Nasional Komodo (TNK). Polisi beberapa kali mengungkap kedua jenis kasus tersebut.
Selain itu, lanjut Zeth, pemerintah juga memastikan agar proyek penataan lokasi di TNK tidak memberi tekanan pada komodo. Menurut dia, pembangunan dermaga di Pulau Rinca yang belakangan disorot publik sudah mempertimbangkan aspek tersebut. Lokasi pembangunan itu seluas sekitar 3,1 hektar dari 580 hektar luas pulau tersebut.
Saat disinggung mengenai pemberian izin bagi tiga perusahaan untuk membuka usaha di TNK, Zeth mengatakan, izin tersebut menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, pihaknya tetap melakukan pengawasan secara ketat. Ia memastikan semua perusahaan taat prosedur yang ramah pada komodo.
”Kami akan melakukan pengawasan secara ketat. Pengembangan pariwisata sifatnya berkelanjutan. Komodo ini menjadi kebanggaan kami, dan ini akan diwarisi generasi NTT di masa yang akan datang. Bodoh banget kalau kami merusak komodo. Kami sangat berdosa,” kata Zeth.
Dikutip dari situs resmi TNK, kawasan tersebut resmi ditetapkan sebagai taman nasional pada 6 Maret 1980 dengan luasan 173.000 hektar. Penetapan status taman nasional itu bertujuan menjaga kelestarian komodo. Tahun 2018, jumlah komodo di sana sebanyak 2.872 ekor.
Pada Juli lalu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) meminta Pemerintah Indonesia menghentikan sementara proyek infrastruktur pariwisata di TNK. Peringatan itu tertuang dalam dokumen Komite Warisan Dunia UNESCO nomor WHC/21/44.COM/7B yang diterbitkan setelah konvensi daring pada 16-31 Juli 2021.
Selanjutnya, pada pekan lalu, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan komodo ke dalam daftar merah atau satwa yang terancam punah. Komodo (Varanus komodoensis) dari status rentan (vulnerable) menjadi terancam punah (endangered).
Penetapan itu diumumkan dalam kongres di Perancis, Sabtu (4/9/2021). Dalam rilisnya dikatakan, spesies komodo kian terancam dampak perubahan iklim. Kenaikan permukaan laut diprediksi menggerus habitat dan populasi komodo (Kompas, 6/9/2021).
Latif (41), warga Pulau Komodo, mengatakan, komitmen pemerintah itu berbeda dengan kondisi di lapangan. Pembangunan sejumlah fasilitas membuat komodo tidak nyaman. Bebeberapa waktu lalu beredar foto komodo yang menghadang truk pengangkut material di Pulau Rinca. ”Itu sebagai simbol perlawanan dari komodo karena merasa tempat tinggalnya diganggu,” katanya.
Nakhoda kapal wisata itu juga menuturkan, banyak wisatawan yang kecewa dengan keberadaan bangunan tersebut. Wisatawan tidak memerlukan fasilitas mewah yang dibangun pemerintah. Mereka lebih nyaman dengan kondisi yang alamiah.
Doni Parera, pegiat pariwisata konservasi di TNK, berpendapat, fasilitas yang sudah telanjur dibangun biarlah terus berdiri. ”Namun, izin usaha wisata bagi pihak swasta di TNK sebaiknya dicabut. Itu sebagai bukti komitmen pemerintah dalam menjaga habitat komodo,” katanya.