Evaluasi Siklus Kekerasan di Papua
Kondisi pra-damai yang ditunjang komitmen politik yang kuat untuk melakukan dialog dan negosiasi antara para pihak yang bertikai, dapat menyelesaikan konflik secara menyeluruh dan bermartabat di Papua.
Penelitian lapangan di 2019 mempertemukan penulis dengan seorang pria asal Jawa Timur yang menghabiskan sebagian hidupnya sebagai guru di daerah pegunungan Papua, termasuk di Nduga pada 2015-2017.
Pengalaman mengajar di Nduga membuatnya begitu akrab dengan penduduk setempat. Hampir setiap hari ia memperoleh makanan dari masyarakat Nduga sebagai balas jasa atas pengabdiannya bagi anak-anak Nduga.
Di akhir 2018, seorang anak perempuan di daerah yang sama menyelamatkan seorang pekerja bangunan asal Sulawesi Selatan yang jadi target penculikan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan membawanya ke tempat lebih aman.
Dua kisah solidaritas dan keakraban ini hilang menyusul sejumlah kekerasan tak henti di Papua. Pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani oleh aparat keamanan di Intan Jaya dan pembunuhan Gabriela Meilan oleh kelompok TPNPB di kabupaten Pegunungan Bintang menunjukkan betapa daruratnya siklus kekerasan tanpa ada penyelesaian yang menyeluruh.
Revisi UU Otonomi Khusus (Otsus) Juli lalu ternyata bukan menjadi jawaban penyelesaian konflik yang telah berlangsung sejak 1960-an. Fokus revisi hanya menyentuh persoalan kelembagaan, keuangan, dan pemekaran wilayah tanpa membahas persoalan krusial, seperti HAM dan keamanan.
Revisi UU Otonomi Khusus (Otsus) Juli lalu ternyata bukan menjadi jawaban penyelesaian konflik yang telah berlangsung sejak 1960-an.
Penelitian penulis (Barter dan Wangge, 2021) menunjukkan, otsus —yang seharusnya bukan hanya sebagai pengaturan institusional semata, melainkan juga sebagai mekanisme penyelesaian konflik inklusif dengan melibatkan semua pihak yang berkonflik dan memberikan kewenangan substansial kepada pemerintah lokal di Papua— terbukti tak jadi pertimbangan pemerintah pusat.
Revisi yang terkesan tergesa-gesa dan tak melibatkan masyarakat Papua, khususnya kelompok berseberangan, justru mengurangi legitimasi otsus di mata masyarakat Papua.
Sejumlah kebijakan pemerintah dalam bentuk rancangan peraturan pemerintah (RPP) pelaksana otsus, seperti penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), kabupaten dan kota yang akan diberlakukan, diprediksi tak akan berdampak signifikan, khususnya dalam menghentikan konflik.
Laporan kepolisian menyebutkan adanya 215 kontak senjata antara aparat keamanan dengan kelompok TPNPB yang terjadi di wilayah pegunungan tengah sejak 2018. Dalam catatan lapangan penulis sendiri, terdapat 136 kontak senjata di Papua pada 2019 dan 2020, terbentang dari wilayah Pegunungan Bintang sampai Paniai.
Akibat konflik bersenjata tersebut, ratusan korban, kombatan dan non-kombatan meninggal dunia, sementara ribuan masyarakat lokal terpaksa meninggalkan kampung halaman, seperti yang terlihat di Nduga, Mimika, Intan Jaya, Puncak, dan terakhir Maybrat.
Evaluasi kebijakan
Pihak-pihak yang berkonflik, baik aparat keamanan maupun TPNPB perlu mengevaluasi kebijakan dan strategi yang digunakan. Selama empat tahun belakangan, jumlah kekerasan terus meningkat dengan jumlah korban sipil terus bertambah.
Ribuan anggota pasukan yang dikirim ke Papua bukan menjadi jawaban penyelesaian konflik. Kekuatan berlebihan yang ditempatkan di wilayah jarang penduduk sering kali berdampak pada munculnya kekerasan terhadap masyarakat lokal.
Sejumlah peristiwa pembunuhan di luar hukum tanpa adanya proses hukum, seperti yang direkam lembaga kemanusiaan, dan semakin resistennya kelompok TPNPB, menunjukkan inefektivitas kebijakan keamanan negara. Selain itu, taktik identifikasi rasial yang sulit membedakan penduduk setempat dengan gerilyawan kelompok TPNPB akibat tampilan fisik serupa juga perlu dihilangkan.
Apapun kebijakan pembangunan yang dicanangkan akan sulit menuai hasil jika disertai dengan pendekatan keamanan yang kuat di Papua.
Patut dicatat, kekerasan negara sejak 1963 menjadi salah satu pendorong munculnya gerakan perlawanan bersenjata. Egianus Kogeya, pemimpin kelompok TPNPB wilayah Nduga, merupakan korban kekerasan negara yang terjadi pada periode 1990-an di wilayah yang sama. Trauma dan dendam lintas generasi yang tak terselesaikan membuat Egianus dan anggotanya memilih mengangkat senjata sampai hari ini.
Serupa dengan kekerasan negara, penyerangan atas sipil oleh faksi terbesar kelompok TPNPB di bawah pimpinan Goliath Tabuni justru bertentangan dengan kearifan lokal masyarakat Pegunungan Tengah dan akan menggerus simpati masyarakat sipil. Dari penuturan masyarakat asli, penelitian antropolog, dan catatan misionaris, perempuan dan anak-anak dilindungi dalam konflik suku.
Penyerangan yang didasarkan pada klaim sepihak bahwa para guru dan tenaga kesehatan bekerja sama dengan aparat keamanan tanpa bukti yang kuat juga mengurangi simpati publik.
Namun, tindakan penyerangan terhadap masyarakat sipil di Intan Jaya, Puncak dan Pegunungan Bintang justru mengingkari “hukum perang suku” yang telah lama dipegang di sana. Penyerangan yang didasarkan pada klaim sepihak bahwa para guru dan tenaga kesehatan bekerja sama dengan aparat keamanan tanpa bukti yang kuat juga mengurangi simpati publik. Trauma dan ketakutan para guru dan tenaga kesehatan akan kian meluas di wilayah Pegunungan Tengah.
Dukungan masyarakat menjadi penting bagi gerakan perlawanan yang menggunakan taktik pertempuran gerilya berkepanjangan.
Lingkaran kekerasan antar pihak yang berkonflik telah dan akan terus memengaruhi kualitas pembangunan manusia dan pemerintahan Pegunungan Bintang yang sejauh ini masih tergolong salah satu yang terburuk di Indonesia. Menurut laporan Badan Pusat Statistik Nasional 2020, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Pegunungan Bintang adalah 45,44, jauh di bawah rata-rata IPM nasional 71,94.
Hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah konflik lainnya, seperti Puncak, Intan Jaya, Yahukimo dan Nduga, di mana angka IPM berada di bawah 50. Terbunuhnya tenaga kesehatan, pendidik dan pembakaran fasilitas pelayanan dasar di Puncak dan Pegunungan Bintang oleh pihak TPNPB, dipastikan berdampak pada proses pembangunan manusia Papua.
Selain itu, berdasarkan laporan sejumlah tim kemanusiaan di Papua, persoalan lain yang terjadi adalah pendudukan sekolah dan fasilitas kesehatan oleh aparat keamanan dalam menjalankan operasi di Nduga, Intan Jaya dan Puncak.
Berkurangnya tenaga pengajar dan kesehatan serta pendudukan sementara di tengah konflik yang tak kunjung berhenti, akan terus menghambat proses belajar-mengajar maupun pelayanan kesehatan di wilayah Pegunungan Tengah.
Baca juga : Revisi Terbatas UU Otsus Papua Tak Tuntaskan Persoalan
Menciptakan kondisi pra-damai
Sejumlah langkah drastis perlu dilakukan di tengah konflik berkepanjangan di tanah Papua. Pertama, mengizinkan lembaga HAM nasional (Komnas HAM) dan internasional (UNHRC) melakukan pemantauan dan penyelidikan di Papua. Sekalipun masih sulit diterima pemerintah pusat, langkah ini akan meningkatkan kredibilitas Indonesia di tengah kian gencarnya dinamika HAM di Asia Tenggara maupun global.
Dalam tinjauan berkala universal UNHRC, Indonesia terus disorot terkait kondisi HAM di Papua. Ini juga bisa kembali jadi sorotan UNHRC dalam sidang tahun ini. Forum Regional Pasifik (PIF) juga telah mengeluarkan pernyataan resmi sejak 2019, meminta Pemerintah Indonesia mengizinkan UNHRC berkunjung ke Papua.
Walaupun pemerintah pusat berusaha meredam persoalan HAM di Papua dengan sejumlah diplomasi publik, masyarakat internasional, khususnya di Pasifik, tidak akan berhenti bersolidaritas dengan kondisi “saudara serumpun” di Papua.
Kedua, membuka komunikasi belakang layar, baik dengan melibatkan utusan khusus ataupun sejumlah pihak yang dipercaya pemerintah pusat, pemda maupun masyarakat Papua untuk mencari solusi penyelesaian konflik. Sejak 1999, komunikasi terbuka antar pihak-pihak yang berkonflik belum pernah dilakukan lagi. Ini mengingat resistensi pemerintah pusat terhadap ideologi dan kelompok politik Papua.
Bahkan, pemerintah pusat telah melabeli kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris. Namun demikian, perlu dibuka komunikasi informal dengan pihak-pihak yang berseberangan, mengingat intensitas konflik yang terus meningkat.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengutus almarhum dokter Farid Husain untuk bertemu sejumlah pimpinan TPNPB-OPM walaupun hanya terbatas di wilayah pesisir. Langkah serupa perlu kembali dipertimbangkan pemerintahan Presiden Jokowi.
Ketiga, sejumlah kasus pelanggaran HAM yang menjadi beban sejarah harus segera diselesaikan. Kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Biak 1998, Wasior 2001, Wamena 2003, dan Paniai 2014 perlu diselesaikan dengan dukungan penuh pemerintah pusat, baik Presiden maupun Kejaksaan Agung. Ini menjadi krusial karena penyelesaian kasus-kasus tersebut bisa menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat Papua dan menjadi bukti komitmen negara demokratis yang sejauh ini kualitasnya terus menurun.
Kondisi pra-damai menjadi kunci dari langkah lanjut penyelesaian konflik. Berkaca dari sejumlah konflik politik di beberapa wilayah lain, seperti Bougenville, Mindanao, Pattani, Kurdi, Shan, Tamil, dan Tigray, kondisi pra-damai yang ditunjang komitmen politik yang kuat untuk melakukan dialog dan negosiasi antara para pihak yang bertikai, dapat menyelesaikan konflik secara menyeluruh dan bermartabat di bumi Cendrawasih dan Kasuari.
Hipolitus Wangge Peneliti Papua di Australian National University dan Anggota Forum Academia NTT