Agus Widjojo, Tragedi 1965, dan Reformasi TNI
Sebagai salah satu anak korban Tragedi 1965, Agus Widjojo ingin menyudahi saling dendam atau saling menyalahkan di antara pihak-pihak yang bertikai, lalu membangun rekonsiliasi untuk menatap masa depan.
Setelah Reformasi 1998, buku biografi para mantan jenderal, yang berada di balik kekuatan rezim Orde Baru muncul di pasar buku. Fenomena tersebut menarik, menjadi bagian dari pendidikan publik mengenai peran mereka, meski ada komentar kritis tentang penerbitan buku mereka, sebagai upaya ”cuci tangan” dan glorifikasi diri.
Apakah buku biografi Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo (AW) yang belum lama diluncurkan juga bagian dari gelombang penerbitan buku para jenderal Orde Baru tersebut? Tentu tidak. Selain sudah lebih dari 15 tahun masa Reformasi, AW mengungkapkan bahwa semula dia tidak bersedia kisah hidupnya sebagai militer ditulis menjadi sebuah biografi, sebab umumnya cenderung berisi banyak pujian terhadap sang tokoh. Lantaran kegigihan penulisnya, Bernada Rurit, akhirnya dia bersedia.
Judul buku Tentara Kok Mikir? : Inspirasi Out of The Box menarik. Bagi mereka yang kenal AW, akan berkomentar judul buku sangat paradoks atau kontradiktif dengan sosok AW yang dikenal sebagai jenderal pemikir atau intelektual. Judul buku ternyata dari AW yang seolah menyindir diri sendiri, mestinya tentara jangan terlalu banyak berpikir, cukup ikuti perintah atasan dalam struktur hierarkis dan rantai komando layaknya institusi militer TNI.
Bagi mereka yang kenal AW, akan berkomentar judul buku sangat paradoks atau kontradiktif dengan sosok AW yang dikenal sebagai jenderal pemikir atau intelektual.
Tapi itulah AW, sosok jenderal yang memang non-mainstream, atau seperti kata lanjutan dari judul bukunya, Inspirasi Out The Box. Tak lepas dari masa kecilnya yang sempat mengenyam pendidikan di Inggris, mengikuti tugas ayahnya, Mayjen TNI (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo, Pahlawan Nasional, korban Tragedi 1965. Tradisi dalam keluarga, terlebih ayahnya, sangat menghargai kebiasaan membaca buku. AW bercita-cita menjadi intelektual sipil atau diplomat, berubah pikiran sejak ayahnya meninggal terbunuh. Dia memutuskan menjadi seorang tentara, hingga menjadi jenderal bintang tiga.
Selain berkisah tentang riwayat hidup sejak kecil hingga dewasa, saat tinggal bersama orangtua dan saudara, masa-masa pendidikan, dan meniti karier sebagai tentara dengan segala cerita suka-duka, buku ini juga menghimpun berbagai cerita dari keluarga, saudara, sopir pribadi, hingga teman-teman semasa sekolah di SMP, SMA, maupun saat menjadi taruna AKMIL angkatan 1970, serta para senior.
Tapi yang menantang untuk dibicarakan, sesuai dengan sosok AW, justru pemikiran, analisis dan komentar-komentarnya tentang banyak hal sebagaimana di paparkan dalam buku ini. Ada tiga topik utama dalam buku ini yang menarik diulas, yakni soal Tragedi 1965, peran dan posisi TNI dalam Reformasi, serta peran AW di balik Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) dan Simposiun Nasional Tragedi 1965.
Tragedi 1965, PKI, Perang Dingin, dan CIA
Bagaimana AW membaca Tragedi 1965, PKI, Perang Dingin, dan CIA? Sebagai tentara yang terbiasa berpikir akademis terlihat sekali responsnya atas empat hal tersebut. Bagi AW, Tragedi 1965 tidak bisa dilihat secara snap shoot hanya pada peristiwa malam kejadian penculikan 30 September atau 1 Oktober 1965. Banyak kejadian-kejadian sebelumnya di mana PKI dan organisasi ”bawahan”-nya melakukan kekerasan dalam bentuk penculikan, pembunuhan, maupun penganiayaan yang memakan banyak korban manusia.
Dalam sejarah Indonesia, menurut AW, PKI punya catatan sebagai organisasi politik yang memberontak pada pemerintah, seperti Peristiwa Madiun. Tapi yang menarik, meski sebagai organisasi politik besar, militan dan agresif terhadap pihak-pihak yang berlawanan, khususnya kelompok-kelompok Islam, sebagai seorang militer AW melihat Peristiwa Lubang Buaya dengan pembunuhan para jenderal dan seorang kapten, pada dasarnya suatu gerakan yang sudah gagal sejak awal. Peristiwa itu, menurut dia, memperlihatkan bahwa gerakan tersebut tidak dipersiapkan secara baik.
Kita tahu akibat turunannya setelah itu, TNI AD bersama kekuatan-kekuatan masyarakat yang memiliki dendam dan trauma terhadap PKI, melakukan serangan balik terhadap PKI. Di satu sisi PKI paham musuh terbesarnya adalah TNI AD, oleh karena itu mereka menggarap anak-anak TNI atau menyusupkan kader-kadernya ke dalam organisasi TNI. Tapi di sisi lain, AW melihat PKI yang saat itu terbiasa ”berlindung” di bawah Presiden Soekarno, belum jelas posisinya.
Sebagai tentara yang terbiasa berpikir akademis terlihat sekali responsnya atas empat hal tersebut.
Kita tahu di ”arus bawah”, pertentangan begitu keras antara PKI dan organisasi ”bawahan”-nya berhadapan, khususnya, dengan kalangan Islam. Sementara itu ditingkat elite, PKI memainkan politik elektoral yang belum jelas apakah akan tetap bersama Soekarno atau meninggalkannya. Meski sebagai organisasi pemenang pemilu urutan ke-4 setelah PNI, Masyumi dan NU, serta juga sebagai organisasi komunis terbesar ketiga setelah partai komunis Uni Soviet dan China, PKI merupakan kekuatan sosial-politik yang menggetarkan lawan-lawan politiknya.
Sementara kaitannya dengan keterlibatan CIA di Indonesia dalam era Perang Dingin, AW punya pandangan yang tidak ”hitam-putih”. Dia mengakui bahwa era Perang Dingin, dua blok (kapitalis versus komunis) berupaya melebarkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia melalui agen atau lembaga intelijennya. Tapi sampai di sini, Agus merasa keterlibatan tersebut, khususnya CIA, tidak terlalu mendalam di era tersebut, apalagi sebagai pemantiknya.
Ini, masih menurut dia, sangat berbeda dengan saat ini dalam era globalisasi dan digitalisasi. Argumennya, di seputar kejadian Tragedi 1965 dan hari-hari berikutnya, kedutaan-kedutaan asing yang ada semuanya berada dalam posisi wait and see, tanpa tahu persis apa yang terjadi, mana lawan dan mana yang harus didukung. Semua perwakilan negara asing berkoordinasi dengan pemerintahnya masing-masing. Ini tentu menarik dan menjadi hak AW untuk sampai pada kesimpulan tersebut.
Tapi setelah lama dari kejadian tersebut, pada 27 Juli 2001, terbit ”Foreign Relations of the United States, 1964-1968”, yang mendokumentasikan percakapan lewat telepon, telegram, dan surat menyurat kedutaan Amerika Serikat (AS) di RI dengan Deplu AS, Wapres Hubert Humphrey dan Presiden Lyndon B Johnson. Pemerintah AS memonitor, mengevaluasi dan menjalin ”kerja sama” dan memberikan dukungan dengan pihak-pihak yang antikomunis.
Joseph Lazarsky, Deputi Kepala CIA di Jakarta saat itu, yang memberikan daftar sekitar 5.000 kader PKI dari pusat sampai perdesaan beserta organisasi massa dan rincian jabatannya. Belum lagi berbagai buku dari disertasi yang bicara seputar Tragedi 65, sebelum dan sesudahnya yang membawa korban ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh, dipenjara, disiksa, dan dihilangkan. Sebut saja nama-nama penulis (peneliti) asing seperti John Roosa, Robert Cribb, Geoffrey Robinson, Saskia, atau peneliti Indonesia seperti Baskara T Wardaya, Iwan Gardono, dan Hermawan Sulistyo.
Hubungan sipil-TNI di era Reformasi
Sebagai salah satu arsitek di balik reformasi TNI, AW bersama Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Wirahadikusumah, dan Saurip Kadi memberikan kontribusi besar dalam mempromosikan langkah redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran dan fungsi TNI dalam masyarakat di Era Reformasi. Bahkan, AW sendiri terlibat dalam menyosialisasikan pemikiran tersebut di berbagai kalangan luas, baik di kampus-kampus dengan kalangan akademisi dan mahasiswa, kalangan aktivis LSM dan wartawan, maupun di kalangan TNI sendiri, Polri dan pemerintah.
Tidak mudah memang karena pasti mengundang pro dan kontra, tapi AW bergeming atas sikap dan pemikirannya tersebut.
Tidak mudah memang karena pasti mengundang pro dan kontra, tapi AW bergeming atas sikap dan pemikirannya tersebut. AW, saat menjadi Wakil Ketua MPR, adalah orang di balik upaya mempercepat penarikan Fraksi TNI/Polri dari DPR pada 2004. Sangat elegan dan mendapat applause dari seluruh anggota dewan saat AW dan koleganya dengan sikap sempurna layaknya seorang tentara sejati memberi hormat dan pamit mundur dari DPR.
Tidak sampai di situ saja, beberapa pencapaian reformasi internal TNI, yang sudah berjalan dan dalam proses perwujudan antara lain, TNI telah meninggalkan politik praktis, dihilangkannya tugas kekaryaan (jika tugas di institusi sipil harus mengajukan pensiun), likuidasi Sospol ABRI, Babinkar ABRI, Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem dan Sospoldim, penghapusan materi Sospol ABRI dari kurikulum pendidikan TNI, likuidasi fraksi TNI dari DPR RI, DPRD I dan DPRD II, pemisahan TNI dengan Polri, penyelesaian UU tentang TNI, validasi organisasi serta revisi doktrin TNI dan sebagainya.
Dalam hubungan sipil-TNI, AW, merujuk pada karya klasik Samuel P Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil Military, mempromosikan apa yang dikenal dengan istilah ”pengendalian sipil obyektif (objective civilian control). Ini merujuk pada pengendalian sipil terhadap TNI melalui cara memperbesar profesionalisme TNI, sementara kekuasaannya akan diminimalkan, tapi sama sekali tidak untuk dihilangkan. Saat bersamaan TNI tetap diberikan kekuasaan terbatas tertentu yang dibutuhkan untuk menjalankan profesinya.
Bagi AW, hubungan ini yang paling mungkin menciptakan hubungan sipil-TNI yang paling sehat, harmonis dan baik. Pertanyaannya kemudian, apakah yang secara teoritis ideal ini bisa dijalankan dalam tataran praktis, mengingat TNI yang sudah berdwifungsi sekian lama tentu tidak mudah meninggalkannya. Di satu sisi, Agus termasuk dalam pembawa gerbong utama yang mendorong Reformasi TNI, dan karena itu dia harus berhadap-hadapan militer hard-liner yang ingin tetap menikmati status quo dengan Dwifungsi TNI.
Di sisi lain, AW sebagaimana layaknya kalangan TNI pada umumnya, belum sepenuhnya ikhlas dan mengatakan adanya supremasi sipil atau TNI subordinasi sipil. Bisa jadi sampai sejauh ini memang belum terlihat bagaimana politisi sipil atau pimpinan di eksekutif dan birokrasi memperlihatkan karakter dan perilaku politik yang kuat, tegas, dan mumpuni.
Sebaliknya, ini yang selalu diingatkan Agus Widjojo, kalangan sipil jangan lagi menarik-narik TNI untuk terlibat di luar bidangnya, atau gampang sekali meminta TNI untuk menangani soal-soal konflik, ketegangan, dan berbagai kerusuhan di dalam negeri.
Sebagai salah satu motor Reformasi TNI, AW bisa membuktikan bahwa ruang domain sosial-politik TNI menjadi mengecil secara signifikan. Tapi nanti dulu, ini tidak berarti pengaruh politiknya hilang sama sekali. Antara ide, implementasi, dan dampaknya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Simak saja laporan ICG yang menunjukkan sedikitnya ada tiga sumber daya utama yang dipunyai TNI sehingga mereka tetap mempunyai pengaruh secara politik.
Pertama, adalah penguasaannya yang tidak tergoyahkan atas struktur teritorialnya di seluruh wilayah negara. Kedua, representasinya yang kuat dalam dinas intelijen negara dan militer. Ketiga, aksesnya pada pendanaan melalui perusahaan-perusahaan bisnisnya atau melalui cara-cara lain, termasuk bisnis yang sangat ”abu-abu”. Bahkan di sektor terakhir ini, dominasi mereka hampir-hampir tak tersentuh oleh reformasi.
Long way to go Reformasi TNI meski saat ini reformasinya sudah luar biasa mengingat sebelumnya TNI berkuasa dan juga sebagai alat kekuasaan pemerintah (baca: Presiden Soeharto) selama tiga dekade lebih. Bangsa ini harus bersyukur ada orang seperti AW yang berpikir jauh ke depan, dan siap menghadapi gelombang keberatan dan kritik dari kawan-kawannya sendiri. Benar, pemikiran-pemikiran AW terlalu maju untuk zamannya.
Ia sendiri, sebagaimana dikomentari anak dan saudaranya, tidak terlalu ingin bicara Tragedi 65 yang telah merenggut ayahnya.
FSAB dan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965.
Out of the box memang istilah yang tepat untuk AW sebagai salah satu tokoh yang mendukung berdirinya Forum Silahturahmi Anak Bangsa, sebuah forum yang menampung anak-anak korban dari seluruh spektrum ideologis atau posisi politik dari orangtua mereka. Dari yang bercita-cita mendirikan negara Islam sampai yang bercita-cita mendirikan negara komunis.
Sebagai salah satu anak korban Tragedi 1965, AW ingin menyudahi saling dendam atau saling menyalahkan di antara pihak-pihak yang bertikai, lalu membangun rekonsiliasi untuk menatap masa depan. AW, meskipun anggota TNI yang dilatih keras dalam Akmil, juga tidak bisa menyembunyikan luka yang begitu mendalam tersebut. Ia sendiri, sebagaimana dikomentari anak dan saudaranya, tidak terlalu ingin bicara Tragedi 1965 yang telah merenggut ayahnya.
Berbeda dengan adiknya, Nani Nurrachman Sutojo, doktor dalam ilmu psikologi yang sempat mengaku begitu emosional atas apa yang terjadi pada ayahnya, namun berangsur-angsur bisa berdamai dengan dirinya dan bahkan dengan anak-anak dari tokoh Partai Komunis Indonesia dan Soekarnois. Sayang sekali dalam buku ini, dalam bab 5 tentang Keluarga, nama Bu Nani tidak muncul dalam komentarnya.
Baca juga : Rekonsiliasi Sang Jenderal Pemikir
Sementara dalam ikutan memimpin Simposiun Nasional Membedah Tragedi 1965, sudah bisa diduga AW bakal menghadapi berbagai tantangan yang keras, apalagi dalam acara tersebut mereka yang berada dalam sayap komunisme menjadi peserta yang mendapat kesempatan bicara secara bebas dan ikut dalam perdebatan. AW bergeming menghadapi itu semua, termasuk ketika mendapat kritik dan kecaman dari kawan-kawannya sendiri, apalagi sampai mendapat julukan jenderal PKI.
AW terbuka terhadap perbedaan dan kritik, tapi tetap teguh terhadap prinsip yang diyakini. Setelah memimpin Lemhannas dan membuat berbagai perubahan besar di dalamnya, dan lagi-lagi juga mendapat kritik dan tantangan, AW tampaknya belum sepenuhnya bisa pensiun karena tugas baru dari Presiden Joko Widodo sudah menunggu, yakni sebagai Duta Besar RI untuk Filipina. Selamat bertugas Jenderal.
Nur Iman Subono
Dosen Ilmu Politik, FISIP UI
Data Buku
Judul Buku: Letjen TNI (Purn), Agus Widjojo: Tentara Kok Mikir? Inspirasi Out of the Box
Penulis: Bernada Rurit
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, Tahun 2021
Tebal: xx + 440 halaman
ISBN: 978-623-346-189-4 dan 978-623-346-190-0 (PDF)