Publik khawatir putusan MK ini membuat pemerintah ”terpaksa” memberikan remisi kepada pelaku korupsi, peredaran gelap narkotika, atau terorisme tanpa syarat tambahan, demi hak warga binaan lembaga pemasyarakatan.
Oleh
Redaksi Kompas
·3 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (30/9/2021), semestinya membuat pelaku korupsi, pelaku peredaran gelap narkotika, atau pelaku terorisme tersinggung.
Putusan itu membuat mereka kini biasa saja, seperti pelaku tindak pidana lainnya. Padahal, sebelumnya, tindak pidana terorisme, korupsi, dan peredaran narkotika tergolong tindak pidana khusus, bahkan dikategorikan kejahatan luar biasa. Berbeda dengan pelaku pencurian, pemalakan, penggelapan, bahkan pelaku pembunuhan, yang adalah bagian dari tindak pidana umum.
Semua orang bisa melakukan tindak pidana umum. Sementara pelaku tindak pidana khusus, atau kejahatan luar biasa itu, membutuhkan keahlian khusus, hanya orang tertentu yang bisa melakukan, bahkan hanya orang yang memiliki akses atau peluang yang tak bisa dimiliki sembarang orang yang bisa melakukan kejahatan luar biasa itu. Misalnya korupsi, ada unsur kerugian negara, sehingga hanya orang yang mempunyai akses ke keuangan negara yang bisa terlibat kejahatan itu.
Dalam putusannya, menjawab permohonan bekas advokat OC Kaligis, Majelis Hakim Konstitusi menegaskan, pemberian remisi menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan, tanpa intervensi oleh lembaga lain, terutama jika campur tangan itu bertentangan dengan semangat pembinaan para warga binaan. Setiap warga binaan berhak mendapatkan hak itu tanpa pengecualian. Pengecualian hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim. (Kompas, 1/10/2021)
Pemberian remisi menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan, tanpa intervensi oleh lembaga lain, terutama jika campur tangan itu bertentangan dengan semangat pembinaan para warga binaan.
Kaligis, yang menjadi terpidana kasus korupsi penyuapan pada hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara, tahun 2015, mempersoalkan Pasal 14 Ayat (1) Huruf (i) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal yang mendasari pemberian remisi pada warga binaan pemasyarakatan, atau narapidana, itu dinilainya multitafsir.
Pasal itu mendasari lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. PP itu menegaskan, remisi kepada terpidana kasus korupsi, terorisme, dan perdagangan gelap narkotika hanya bisa diberikan jika warga binaan itu berstatus justice collaborator, membantu penegak hukum dalam mengungkapkan kasusnya, yang dinyatakan tertulis oleh instansi penegak hukum.
MK memang menolak permohonan Kaligis. Namun, dengan menyebutkan setiap warga binaan berhak mendapatkan hak yang diatur dalam UU, termasuk remisi, pelaku tindak pidana khusus bisa mendapatkan pengurangan hukuman atau hak lain tanpa harus membantu penegak hukum.
Majelis MK menilai, putusan pengadilan sudah memuat hal yang memberatkan atau meringankan dari terdakwa sehingga tak boleh ada pertimbangan lain yang membedakan pemberian hak dari warga binaan. Pemerintah berhak mengatur syarat pemberian remisi, tetapi pengecualiannya harus diputuskan hakim.
Publik mengkhawatirkan putusan MK ini membuat pemerintah ”terpaksa” memberikan remisi kepada pelaku korupsi, peredaran gelap narkotika, atau terorisme, tanpa syarat tambahan, agar tak dinilai melanggar hak warga binaan.
Keadilan dan kebijakan membuat jera pelaku kejahatan luar biasa kini berada di tangan hakim. Pemberantasan korupsi, terorisme, dan peredaran gelap narkotika di negeri ini kembali di simpang jalan nan terjal, demi persamaan dalam pemasyarakatan.