Mempertahankan Relasi dengan Pasangan
Ada banyak pasang surut dalam proses berelasi dengan pasangan hidup. Mari kita menyimak pandangan para ahli masa kini mengenai kiat mempertahankan relasi yang lebih sehat dan memberdayakan.
Setiap relasi memiliki serangkaian tantangannya dan membutuhkan upaya terus-menerus dari para pasangan agar relasi mereka tetap bertahan. Sebelum mulai menjalankannya, penting untuk menganalisis apa yang salah, apa tantangan yang mungkin memengaruhi relasi, serta mencari tahu cara memperbaiki masalah tersebut berdasarkan apa yang telah dipelajari.
Beberapa tantangan
Tantangan yang umum terjadi dalam relasi dengan pasangan bisa berkait dengan adanya rasa tidak tenang, kecurangan, berbagai konflik, kecemburuan, pelecehan verbal, hubungan yang beracun, takut komitmen, kendali diri, masalah kepercayaan, kesehatan mental, ataupun hubungan jarak jauh (https://www.marriage.com/advice/relationship/, diakses 23 September 2021).
Arash Emamzadeh (2021), psikolog klinis di Amerika Serikat, mengatakan bahwa pasangan acap menyabotase relasi romantisnya dengan berbagai alasan, seperti ketakutan, harga diri yang buruk, masalah kepercayaan, harapan yang tinggi, dan keterampilan relasi yang tidak memadai. Sabotase diri tersebut mengacu pada penggunaan tindakan merusak diri sendiri dalam relasinya, yang dimaksudkan untuk ”menghambat kesuksesan atau membenarkan kegagalan”. Kemudian, untuk menghindari terluka dalam hubungan, seseorang terlibat dalam sejumlah strategi, seperti menarik diri, membela diri, dan menyerang pasangan mereka.
Cara bertahan
Apa pun tantangannya, relasi pasangan perlu tetap diupayakan bertahan. Justin J Lehmiller, peneliti di Institut Kinsey Universitas Indiana (dalam Psychology Today, September 2021), mengatakan bahwa kita acap kali mengandalkan keyakinan ”akal sehat” agar relasi pasangan berhasil dipertahankan dalam jangka panjang, tetapi hal ini sering menyesatkan kita. Penelitian mutakhir telah mengidentifikasi beberapa faktor kunci, banyak di antaranya berkaitan dengan pola pikir berelasi yang kita pegang selama ini.
Gagasan ”two becoming one” barangkali terasa sangat romantis, walau sebenarnya tidak begitu sehat.
Lehmiller telah mewawancarai Gary Lewandowski, penulis buku Stronger Than You Think: The 10 Blind Spots That Undermine Your Relationship (2021). Berikut adalah empat bagian penting dari nasihat yang didukung hasil penelitiannya.
1. Tidak terlalu banyak berkorban
Kita sering mendengar tentang pentingnya pengorbanan dalam relasi. Kita diberi tahu bahwa perlu mendahulukan kebutuhan pasangan di atas kebutuhan kita sendiri agar segala sesuatunya berhasil. Meskipun ide ini ada kebenarannya, penting untuk diingat bahwa mengorbankan terlalu banyak sebenarnya dapat merusak hubungan.
Ketika pengorbanan bersifat sepihak (satu pasangan selalu berkompromi, sementara yang lain tidak) dan/atau ketika pengorbanan yang dilakukan sangat besar (sampai pada titik di mana kita menyerahkan hal-hal yang sangat penting bagi diri dan mengabaikan kebutuhan sendiri), pengorbanan bisa menjadi bumerang. Pengorbanan cenderung berfungsi paling baik jika hal ini saling menguntungkan dan bersifat minor.
2. Jangan membuat cinta kita bersyarat
Kita sering berpikir paham akan hal terbaik untuk pasangan kita dan bahwa salah satu tugas kita dalam berelasi adalah membantunya menjadi seperti yang kita inginkan. Itu sebabnya, tidak jarang orang memberi tahu pasangannya hal-hal seperti, ”Jika kamu mencintaiku, kamu akan berubah.”
Akan tetapi, ketika melihat pasangan kita sebagai orang yang perlu ”diperbaiki” dan memberikan segala macam syarat serta ketentuan untuk cinta kita, hal ini justru sering berakhir dengan menyakitkan daripada membantu relasi. Hal ini sebagian disebabkan mencoba memaksakan perubahan pada seseorang acap menghasilkan dampak yang berlawanan dengan yang dimaksudkan. Ditambah, orang sering menggunakan taktik untuk mengubah pasangannya secara tidak terlalu efektif dan mungkin kontraproduktif, seperti dengan mendiamkan pasangannya, tidak bersedia melakukan hubungan seks, dan sebagainya.
3. Tidak kehilangan diri dalam berelasi
Gagasan ”two becoming one” barangkali terasa sangat romantis walau sebenarnya tidak begitu sehat. Menjadi dekat dengan pasangan adalah hal yang positif, tetapi kita dapat memiliki terlalu banyak hal yang baik. Penting untuk tidak sampai kehilangan jati diri kita. Adalah hal yang sehat untuk memiliki waktu dan ruang untuk diri sendiri, untuk mengejar hobi dan minat kita, untuk memiliki beberapa teman kita sendiri, dan untuk memiliki kebebasan.
Hilangnya diri dalam suatu hubungan sebenarnya adalah alasan umum mengapa banyak orang dalam hubungan yang sangat bahagia akhirnya berselingkuh. Ini bukan karena hubungan itu sendiri yang buruk, melainkan lebih karena suatu pencarian untuk penemuan diri.
Baca juga : Menjaga Relasi dengan Pasangan
Juga, jika kita selalu melakukan segalanya bersama pasangan, maka kita tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk merindukannya—dan merindukan dapat membuat hubungan justru lebih kuat. Inilah sebabnya, beberapa penelitian benar-benar menemukan bahwa relasi pasangan hidup dengan jarak jauh sering kali memiliki ikatan yang lebih kuat.
4. Tidak menghindari setiap konflik
Banyak orang berasumsi bahwa semakin jarang pasangan bertengkar, semakin baik. Memang hal ini tentu lebih baik daripada menghindari konflik total. Orang-orang yang meyakini bahwa konflik selalu merupakan pertanda buruk sebenarnya kurang bahagia dalam hubungan mereka, sebagian karena dengan menghindari konflik, mereka tidak pernah menangani masalah mereka dan masalah ini terus berkembang sampai menjadi perbedaan yang semakin sulit dipecahkan.
Dengan menangani hal-hal kecil yang muncul dan memiliki beberapa perselisihan kecil, kita dapat mencegah masalah berkembang menjadi pertengkaran yang besar. Jadi, kurangnya konflik dalam suatu relasi sebenarnya bisa menjadi pertanda buruk.
Arash Emamzadeh (2021) dalam pandangan mengenai adanya sabotase diri yang merugikan dalam relasi pasangan mengatakan, strategi untuk menjaga hubungan romantis meliputi kepercayaan, komunikasi terbuka, komitmen, penciptaan rasa aman, dan penerimaan bersama.
Salah satu pendekatan yang disarankan adalah melibatkan keterampilan dalam membangun dan perilaku memelihara relasi. Dengan memiliki interaksi positif secara teratur akan mengungkapkan komitmen seseorang kepada pasangannya, melakukan diskusi terbuka, mengandalkan jejaring sosial bersama ataupun berbagi tugas. Dengan memiliki wawasan, pasangan dapat terbantu mendeteksi pola konflik dan siklus kemarahan yang terjadi secara berulang. Mengenali hal tersebut penting karena banyak konflik dalam relasi menyangkut perbedaan kepribadian atau preferensi yang kaku. Terakhir, pasangan perlu belajar saling menerima bahwa hubungan romantis yang sehat membutuhkan kesediaan untuk saling mengandalkan, bahkan jika ini berarti, ada kekecewaan sesekali.
Tentu saja, mempertahankan relasi yang bahagia dan sehat dengan pasangan tidak dibangun dalam waktu sekejap, dibutuhkan usaha melalui langkah-langkah kecil sepanjang waktu. Langkah kecil tetapi positif ini mungkin tidak terlihat banyak, tetapi seiring waktu pasangan akan menghasilkan perbaikan besar dalam pola interaksi dan komunikasi. Hal ini dapat mencegah pasangan untuk secara tidak sengaja menyabotase hubungan romantisnya yang berharga.
Sebagai penutup, kiranya kalimat bijak berikut dapat direnungkan: ”A perfect relationship is not perfect; it’s just one where both people never gave up.” (Anonim)
Baca juga : Tingkatkan Relasi Diri