Di tengah ketidakpastian akibat pandemi dan tantangan demokrasi, kita harus tetap fokus pada dua pekerjaan fundamental, yaitu membangun daya tahan bangsa dan tetap fokus pada pembangunan daya saing bangsa.
Oleh
AGUS HARIMURTI YUDHOYONO
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 telah menjadi disrupsi terbesar abad ke-21 yang memicu gelombang perubahan fundamental (megatrend) di ranah sosial, politik, ekonomi, hingga keamanan internasional. Kondisi ini juga menandai kian sengitnya kompetisi antarbangsa yang semakin kompleks dengan berbagai tantangan, ancaman, dan peluang baru di masa depan.
Karena itu, corak kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan dituntut jauh lebih adaptif dan inovatif agar lebih cepat merespons perubahan, mengoreksi kekurangan, sembari menciptakan lompatan-lompatan transformasi guna mengatasi ketertinggalan. Kini, masyarakat global menjadi semakin sadar bahwa yang konstan hanyalah perubahan dan yang pasti adalah ketidakpastian.
Di saat kita sibuk berbenah membangun negeri, pandemi Covid-19 telah membuyarkan berbagai proyeksi. Itulah mengapa, sejak awal pandemi masuk ke Tanah Air, kita tidak boleh menyalahkan negara. Tidak ada negara yang siap dan memiliki resep ajaib untuk menghadapi situasi yang hampir tidak pernah diprediksi ini. Namun, tentu wajar, setelah berjalan selama sekitar satu setengah tahun, kita semua berharap pemerintah bisa semakin menghadirkan progres yang signifikan dan perbaikan yang benar-benar bisa dirasakan oleh rakyat.
Pascagelombang kedua pandemi mereda, memang kita merasakan kondisinya sedikit membaik. Jumlah orang yang terpapar Covid-19 menurun. Namun, angka kematian akibat Covid-19 relatif masih cukup tinggi setiap hari. Tidak ada yang lebih berharga dari nyawa manusia.
Di sisi lain, ekonomi rakyat juga masih tertekan. Kontraksi yang terjadi selama empat kuartal berturut-turut, dari kuartal II-2020 sampai dengan kuartal I-2021, belakangan tampak membaik yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi 7,07 persen di kuartal II tahun ini.
Namun, pertumbuhan itu belum dirasakan langsung oleh rakyat. Sebab, angka pertumbuhan ekonomi itu memang lebih ditopang oleh neraca perdagangan ekspor yang tinggi, sedangkan indikator daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga masih tergolong lesu. Akibatnya, tren pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan masih meningkat, terutama di kuartal III tahun ini yang harus kita antisipasi.
Tren pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan masih meningkat, terutama di kuartal III tahun ini yang harus kita antisipasi.
Sementara itu, sektor UMKM, yang merupakan rumah bagi 90-an persen tenaga kerja nasional dan selama ini menjadi katup penyelamat ekonomi negara, juga masih terpukul di sisi penjualannya. Di sisi lain, utang negara terus membengkak hingga lebih dari Rp 6.500 triliun atau telah melampaui 40 persen rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Adapun dunia pendidikan juga tidak lepas dari dampak disrupsi di mana selama hampir dua tahun ini anak-anak kita masih harus menjalani pendidikan jarak jauh. Sedangkan kita tahu puluhan juta warga masih belum memiliki akses terhadap internet dan perangkat digital yang memadai.
Semua itu merupakan realitas saat ini, saat pandemi Covid-19 telah membuat kita mundur (set-back) sekian tahun ke belakang. Untuk itu, semua pemangku kepentingan negara dan seluruh anak bangsa harus bersatu padu untuk melawan pandemi dan memulihkan ekonomi.
Bersatu padu dalam tujuan, bukan berarti seragam dalam pemikiran. Kesatuan komando dalam menghadapi krisis besar memang dibutuhkan, tapi bukan berarti demokrasi tidak diberikan jalan.
Dalam kondisi segenting apavpun, suara kritis rakyat, termasuk pers dan civil society, tidak boleh dibungkam, apalagi dicap seolah tidak ”Merah Putih” karena mekanisme checks and balances tetap mutlak harus dijalankan. Sebaliknya, meskipun berbeda pandangan, semua komponen bangsa harus tetap dilibatkan dan diberdayakan.
Berbeda pendapat adalah keniscayaan. Selagi tujuan dan cara menyampaikannya baik dan konstitusional, ruang dan kesempatan harus tetap diberikan. Demokrasi jangan dilihat sebagai penghambat pemulihan negeri dari krisis ini. Demokrasi yang sehat dan kebebasan yang bertanggung jawab, tentu jauh dari praktik-praktik yang mengabaikan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, bisa menjadi katalis yang diperlukan.
Karena itu, kita harus lawan segala bentuk perilaku politik yang justru menjebak kita dalam tren kemunduran demokrasi (EIU, 2020; ANU, 2020; LP3ES, 2021). Mari kita lawan eksploitasi politik transaksional (transactional politics), politik identitas (identity politics), serta politik hoaks dan fitnah (post-truth politics), yang semakin menjadi-jadi di era yang serba digital dewasa ini. Semua itu hanya akan menghancurkan kerukunan dan persatuan yang telah kita rawat dan perjuangkan selama ini. Harganya terlalu mahal.
Karena itu, tagline ”Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh” yang diusung pemerintah dalam peringatan HUT ke-76 Indonesia bulan lalu, betul-betul penting dan relevan untuk kita refleksikan bersama agar spirit itu tidak sekadar menjadi slogan, tapi benar-benar dapat dimanifestasikan.
Pekerjaan fundamental
Untuk itu, di tengah ketidakpastian akibat situasi pandemi dan tantangan demokrasi, kita harus tetap fokus pada dua pekerjaan fundamental. Pertama, membangun daya tahan bangsa (national resiliency). Seperti halnya dalam melawan virus dan penyakit apa pun, dibutuhkan imunitas atau daya tahan tubuh yang prima.
Musuh bersama kita hari ini bukan penjajah, melainkan pandemi Covid-19. Untuk bisa mengalahkannya, kita harus memiliki kesadaran kolektif untuk bisa membangun kepedulian dan solidaritas kemanusiaan serta bersatu dalam semangat saling melengkapi dan menguatkan.
Solidarity and unity merupakan ingredien utama bagi terbentuknya daya tahan bangsa. Lupakan semua perbedaan identitas dan kepentingan di antara kita karena memang pandemi tidak mengenal batas dan perbedaan.
Solidarity and unity merupakan ingredien utama bagi terbentuknya daya tahan bangsa.
Kita semua harus bersatu karena kita semua bisa menjadi korban. Dalam situasi krisis, agenda kepentingan kita sama. Kita ingin pemerintah sukses agar rakyat bisa selamat dan negara segera bangkit dari krisis.
Kedua, tetap fokus pada pembangunan daya saing bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang lebih aman dan damai, lebih adil dan sejahtera, serta lebih maju dan mendunia. Cita-cita besar ini merupakan pekerjaan dan tanggung jawab lintas generasi. Dibutuhkan kepemimpinan yang visioner, kepemimpinan yang mempersatukan, juga kepemimpinan yang mampu melipatgandakan segala kapasitas dan potensi masyarakatnya.
Pemimpin besar menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaganya bukan untuk memenangi pemilu berikutnya, melainkan untuk mempersiapkan generasi penerusnya. Karena itu, kita berterima kasih kepada semua pejuang dan pemimpin negeri yang selama ini telah menetapkan visi jangka panjang, sekaligus terus menyiapkan landasan bagi terciptanya daya saing bangsa yang unggul di masa depan.
Kita semua paham, semua keunggulan komparatif bangsa tidak bisa langsung dikonversi menjadi keunggulan kompetitif bangsa. Peningkatan kualitas SDM merupakan kunci keberhasilan. Bonus demografi tidak berarti apa-apa tanpa bonus kualitas.
Belajar dari sejumlah negara maju di dunia, ternyata pembangunan aspek manusia, melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, dan peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan jauh lebih bernilai dibandingkan dengan pembangunan serba benda semata. Manusia yang cerdas, kreatif, berkarakter, dan berintegritas terbukti mampu menjadi game-changer sekaligus history-maker bagi kejayaan bangsanya di masa depan.
Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat.