Harapan Setelah Covid-19
Dalam keputusasaan menghadapi Covid-19, perjuangan tetap tak lengang nilai karena kita dilatih menempa alasan agar bisa berharap. Semoga pengalaman ini mengetuk hati kelompok privilese sosial-ekonomi untuk berbagi.
Pandemi Covid-19 semakin membuat miris situasi ekonomi tak menentu yang sudah lebih dulu digerogoti oleh disrupsi digital. Ketika perangkat hukum belum siap membingkainya, wabah Covid-19 memperparah disrupsi ekonomi dan kehidupan sosial. Kendati mengacaukan tatanan ekonomi, disrupsi digital masih menyiratkan harapan berkat aspek inovatifnya. Namun, disrupsi ekonomi karena Covid-19 membuat muram.
Disrupsi berbeda dari tren. Tren itu memiliki pola-pola perubahan yang memungkinkan untuk membuat prediksi karena lebih mudah diidentifikasi dan diikuti. Dengan tren, kita memiliki data sejarah yang bisa diandalkan karena pola perubahannya cenderung bertahap.
Disrupsi digital memutus pola-pola perubahan itu karena ditandai gelombang inovasi. Biasanya disrupsi berawal dari respons terhadap masalah genting yang memercikkan banyak perubahan tak teramalkan, maka sulit menangkap inti disrupsi (B Johansen, 2017: 10-11). Demikian pula sisi tak terpahami Covid-19 sangat disruptif: mengacau, bahkan menghancurkan, karena menjelma menjadi proses yang menginterupsi seluruh program kehidupan bersama.
Masih adakah sepercik cahaya yang memberi harapan dalam situasi menekan ini? Marilah belajar dari pemahaman positif ”disrupsi digital” yang dipopulerkan Joseph Schumpeter dengan istilah ”destruksi kreatif” (E Topol 2013: 14). ”Destruksi kreatif” mengacu pada transformasi yang menyertai inovasi radikal karena teknologi digital.
Banyak hal dihancurkan secara kreatif untuk diubah secara radikal baru. Mungkinkah disrupsi Covid-19 yang merusak ekonomi dan semua perencanaan kehidupan bersama ini masih bisa direkayasa untuk diarahkan ke destruksi kreatif?
Banyak hal dihancurkan secara kreatif untuk diubah secara radikal baru.
Kebebasan dan makna hidup
Semakin suatu situasi mencekam, sulit, dan tragis, semakin mendesak untuk mengambil keputusan. ”Kita belum pernah merasakan begitu bebas, kecuali ketika di bawah pendudukan Jerman” (Sartre, 1944). Sartre mengungkapkan pernyataan itu dalam upaya menjelaskan apa arti kebebasan.
Kerasnya situasi menghukum kita untuk memilih dan memberi komitmen. Maka, dalam situasi ambang batas, dunia menjadi cermin kebebasan karena pilihannya hanya melawan dan memberi komitmen. Sementara di luar pilihan itu berarti mengingkari kebebasan (mauvaise foi), menipu diri, atau melarikan diri untuk mencari alibi tanggung jawab.
Ditatapkan pada pandemi Covid-19, kita sadar akan keterbatasan manusia, tetapi sekaligus menolak menyerah. Justru akar kebebasan terletak dalam menerima keterbatasan, tetapi tetap tertantang memberi makna hidup.
Bekerja sebagai sukarelawan dengan mencari cara/peluang membantu korban, baik orang dekat maupun yang rentan, memberi nilai pada perjuangan. Upaya ini memungkinkan orang memberikan diri untuk hidup sepenuhnya di dunia ini. Lalu kita tak tergoda mengalihkan tanggung jawab atas nama ”yang transenden” menginjak martabat manusia.
Dalam kontradiksi ini, kita dipacu terus berjuang meski sadar yang dihadapi absurditas: nalar sebagai sumber kebebasan tak mampu memahami irasionalitas. Irasional karena sulit dipahami mengapa penderitaan dan kejahatan menimpa orang-orang tak bersalah.
Kontradiksi seperti itu memang bukan untuk dicari solusinya, tetapi diterima sebagai tantangan untuk mengubahnya. Kontradiksi justru menjadi syarat untuk melampaui diri: merancang hubungan baru dengan dunia, sesama, dan diri sendiri.
Kalau saya difitnah, saya marah, itu masuk akal; kalau saya dipojokkan, saya protes, itu wajar; kalau saya dihina membalas dengan kekerasan, itu bisa dimengerti. Namun, kalau saya difitnah, dipojokkan, dan dihina, saya mengampuni, itu bentuk pelampauan diri.
Itulah kebebasan karena tak lagi didikte hubungan sebab-akibat, relasi timbal-balik, dan tidak lagi disandera oleh kebencian serta hasrat balas dendam. Jadi, pelampauan diri menjadi bentuk rekonsiliasi terhadap kontradiksi karena kebebasan sebagai transendensi diri memberi martabat baru manusia.
Martabat baru manusia menjanjikan kepenuhan nilai melalui perjuangannya. Dalam keputusasaan menghadapi Covid-19, perjuangan tetap tak lengang nilai karena kita dilatih menempa alasan agar bisa berharap. Semoga pengalaman ini mengetuk hati kelompok privilese sosial-ekonomi untuk bisa berbagi setelah Covid-19 usai. Sebab, keputusasaan membuka cakrawala reflektif dengan mengembalikan manusia ke dirinya sendiri dan sejarahnya.
Putus asa dan harapan seperti dua sisi mata uang, tak ubahnya hasrat untuk hidup selalu dalam bayang-bayang kematian. Dengan jeli, Albert Camus menjelaskan melalui analogi ini: ”Tiada matahari tanpa bayangan...”. Jika pandemi Covid-19 adalah bayangan itu, marilah kita melihat mataharinya. Apakah perubahan disruptif dan ketidakpastian ini membuka visi baru dan kejernihan berpikir?
Martabat baru manusia menjanjikan kepenuhan nilai melalui perjuangannya.
Solidaritas dan efisiensi
Berkembangnya benih-benih solidaritas yang tumbuh di masa pandemi ini memberi secercah harapan. Namun, disrupsi digital bisa jadi kabut yang siap mengempaskan rasa solidaritas ini karena sistem ekonomi persaingan demi efisiensi. Persaingan bebas yang semakin dipacu disrupsi digital ini hanya menguntungkan kreator, inovator, dan produktor sebagai pemenang.
Gagasan liberal selalu memistifikasi seakan semua punya kesempatan sama, padahal yang kuat sudah lebih siap bersaing. Sistem yang mengandalkan pada pemenang-berhak-atas-semua-imbalan ini memperparah kesenjangan sosial-ekonomi.
Di satu sisi, kehidupan pemenang selalu diwarnai ekses konsumsi, mengejar pemenuhan diri, kepuasan segera, serta mudahnya akses ke kegiatan budaya berkat sumber ekonomi dan modal sosial. Di sisi lain, keterpinggiran membuat yang kalah diam, bahkan tak bisa merumuskan bantuan apa yang dibutuhkan.
Suasana persaingan makin menumbuhkan rasa ketidakadilan yang mengarah ke polarisasi kelas sosial. Akibatnya, merasa diperlakukan tak adil menumbuhkan perasaan tak aman pada setiap orang. Pengalaman ini memuncak pada rasa-tak-berguna yang mudah berubah menjadi kemarahan dan kebencian.
Dalam situasi seperti ini, emosi sosial mudah disulut dan menjadi lahan subur bagi radikalisme. Padahal, lembaga publik tidak siap menghadapi masalah pengangguran dan keterpinggiran ini.
Peluang mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi itu masih ada jika negara mampu mengantisipasi dengan produk hukumnya untuk menata kembali sistem ekonomi yang memperhitungkan celah-celah logika sosial. Insentif negara ke perusahaan harus diarahkan menciptakan lapangan kerja dan perbaikan kualitas hidup pekerja.
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) harus lebih efektif. Anggaran CSR jangan dialokasikan ke yayasan-yayasan keluarga dekat pemilik perusahaan, tetapi untuk pendidikan dan pelatihan tenaga kerja terampil.
Masalahnya jadi sulit ketika sistem ekonomi dewasa ini cenderung memisahkan logika ekonomi dari logika sosial. Globalisasi pasar uang yang didukung kemajuan teknologi informasi menjamin mobilitas modal tinggi. Lalu modal lepas dari proses sosial. Padahal, proses sosial itu melibatkan tenaga kerja sebagai bagian dari komunitas. Alih daya dan kontrak jangka pendek semakin marak, apalagi pengalaman Covid-19 kian meyakinkan bahwa kerja dari rumah tanpa harus ke kantor menjadi biasa.
Posisi tenaga kerja jadi sangat lemah. Posisi ini diperparah tuntutan keterampilan baru yang hanya membuka peluang bagi pemilik kompetensi: kemampuan analisis data, pengambilan keputusan, dan hard-skills (komputasi awan, kecerdasan artifisial, analytical reasoning) untuk operasi baru teknologi.
Tempat kerja dibangun dalam kerangka kecepatan teknologi dikombinasikan dengan internet of things (IoT) yang memungkinkan perusahaan memadukan pengalaman digital dan fisik. Peluang pemberi harapan hanya pada perubahan sistem pendidikan dan inisiatif lembaga swasta memberi pelatihan keterampilan untuk menyesuaikan dengan bentuk pengorganisasian kerja baru.
Membangun transparansi
Model organisasi baru tak tersentralisasi lagi, berubah dari struktur hierarki ke model jaringan dan kerja sama. Kekuasaan tersebar, organisasi-yang-mudah-berubah-bentuk akan lebih responsif daripada hierarki yang tersentralisasi.
Interaksi bisnis melibatkan tim, mitra kerja saling menguntungkan, berbagi risiko, saling belajar kemampuan, pekerja jarak jauh, dinamika kolektif, tukar data dan wawasan (B Johansen, 2017: 3, 67). Bentuk baru organisasi ini dimungkinkan berkat jaringan komputer yang tersebar, tidak ada pusatnya, berkembang dari pinggiran dan tidak bisa dikontrol.
Ekonomi berskala besar akan ditinggalkan dan berkembang ekonomi dengan struktur kecil-lincah dengan pelanggan menjadi pusatnya. Mempertemukan penawaran dan permintaan dengan cara mudah diakses, murah, memungkinkan kedua pihak berinteraksi langsung dan memberi feedback (Schwab, 2017: 18-20).
Ekonomi berskala besar akan ditinggalkan dan berkembang ekonomi dengan struktur kecil-lincah dengan pelanggan menjadi pusatnya.
Perubahan organisasi itu bisa memberi harapan penciptaan lapangan kerja jika ramalan Klaus Scwhab benar: Revolusi Industri 4.0 menawarkan kesempatan untuk bisa mengintegrasikan kebutuhan 2 miliar orang yang tak terpenuhi ke ekonomi global. Ini berarti permintaan tambahan produk dan pelayanan (Scwhab, 2017: 33-35). Masalah yang harus dipecahkan ialah distribusinya. Jika yang mengatur prinsip ”pemenang berhak atas semua imbalan”, kesenjangan sosial-ekonomi akan kian parah.
Namun, harapan menetes dari teknologi blockchain (Schwab, 2017: 19) yang bisa menjamin transparansi: protokol aman di mana jaringan komputer secara kolektif memverifikasi transaksi sebelum direkam dan disetujui, seperti dipakai di Gocar, Grab, Tokopedia, Aibnb. Sistem ini menumbuhkan kepercayaan sehingga masih banyak orang sukarela memberikan bantuan kepada orang kesusahan. Tekfin Kitabisa berkat transparansi sistemnya menumbuhkan trust sehingga banyak orang terketuk hatinya membantu.
Pengembangan teknologi blockchain ini semestinya menjanjikan untuk secara kolektif bisa memverifikasi transaksi agar distribusinya juga adil. Harapan ini bukan tanpa dasar karena memungkinkan campur tangan legislasi negara dan menjadi agenda persetujuan antarnegara atau multilateral.
(Haryatmoko, Dosen Universitas Sanata Dharma dan Pascasarjana FIB UI)