Taliban, yang menguasai Afghanistan pertengahan Agustus 2021, mulai menghapus mural di Kabul. Selain kurang menghargai karya seni, tindakan itu dinilai mencederai janji untuk membangun pemerintahan yang inklusif.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Beberapa hari belakangan media ramai memberitakan, Taliban menghapus mural di Kabul, ibu kota Afghanistan. Tindakan ini dikecam sebagian warga dunia.
Kantor berita AFP, Selasa (7/9/2021), melaporkan protes Omaid Sharifi, seorang seniman, terhadap penghapusan sejumlah mural tersebut. Bersama para seniman dalam kelompok ArtLord, dia membuat sekitar 2.200 mural di Kabul dan kota-kota lain di negeri itu sejak 2014. Karya seni itu menampilkan beragam obyek, warna-warni, dan sarat aspirasi sosial dan politik rakyat. (Kompas, 8/9/2021)
Namun, sebagian karya seni itu sekarang telah hilang. ”Taliban seperti memasang kain kafan di seluruh kota,” kata Sharifi, yang kini tinggal di permukiman sementara pengungsi Afghanistan di Uni Emirat Arab, Senin (6/9/2021).
Kantor berita Associated Press (AP) menayangkan video yang merekam seorang petugas menghapus mural di salah satu sudut kota Kabul. Gambar warna-warni itu didedikasikan untuk dokter dan pekerja bantuan kemanusiaan Jepang, Tetsu Nakamura, yang terbunuh pada 2019. Petugas menimpa lukisan itu dengan cat putih dan propaganda Taliban dalam aksara Arab berwarna hitam monoton.
Tindakan Taliban memicu kecaman luas, terutama dari para seniman dan pencinta seni budaya. Bagaimanapun mural lazim menghiasi wajah kota modern. Selain menyajikan keindahan dan hiburan bagi orang yang berlalu lalang di jalan, seni visual itu juga dianggap sebagai kanal untuk menyuarakan unek-unek publik. Kehadiran mural mencerminkan adanya kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Peristiwa belakangan itu mengingatkan perilaku Taliban lama yang pernah menguasai Afghanistan sekitar 20 tahun silam, tepatnya 1996 hingga 2001. Saat itu, mural di kota-kota juga diberangus dan diganti propaganda pemerintah. Pada 2001, patung Buddha bersejarah di lembah Bamiyan diruntuhkan dengan roket dan dinamit. Peristiwa itu dikenang sebagai tragedi arkeologis.
Penghapusan mural yang kini berulang agak mendekatkan citra Taliban baru, yang menguasai negara itu sejak pertengahan Agustus 2021, dengan Taliban lama.
Perilaku konservatif itu juga mengikis optimisme, bahwa kelompok itu benar-benar bakal memenuhi janji untuk membangun pemerintahan yang inklusif. Apalagi, sejumlah nama dalam kabinet yang baru diumumkan ternyata masuk daftar hitam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kaum perempuan juga masih belum mendapat kepastian jaminan kebebasan.
Namun, semua masih dalam proses transisi. Saat perlawanan dalam negeri kian minim terhadap Taliban, sebenarnya kelompok ini berkesempatan untuk membangun kehidupan Afghanistan yang mengayomi semua kelompok masyarakat, termasuk menghargai karya seni. Memberangus mural dan karya seni itu hanya akan menambah tekanan internasional.
Dunia menunggu janji Taliban untuk sungguh-sungguh mewujudkan semangat inklusif dalam kehidupan nyata.