Mencermati Korelasi Antar Lembaga Negara
Apakah “janji kemerdekaan” para pendiri bangsa masih relevan di tengah praktik korupsi yang terus merajalela dan menjadi penyakit endemik bangsa ini, sementara korelasi kelembagaan negara terus menghadirkan pertikaian.
Salah satu isu ketatanegaraan yang mengemuka belakangan ini adalah soal silang pendapat lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komnas HAM di satu sisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK-RI) di sisi lain.
Silang pendapat tersebut adalah terkait dengan rekomendasi ORI yang sejauh ini belum direspons atau temuan Komnas HAM yang mengindikasikan 11 pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) di KPK.
Sikap dan langkah dari lembaga negara KPK, setidaknya menyimpan dua permasalahan serius, yaitu persoalan tertib hukum dari KPK dan etika antarlembaga negara. Bahkan, Koalisi Guru Besar Anti Korupsi menyerukan agar pimpinan KPK mematuhi putusan ORI dan melantik 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK, menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Seharusnya sebagai lembaga penegak hukum, KPK patuh pada hukum, bukan malah bertindak sebaliknya.
Dengan mengabaikan atau tak mengikuti lembaga lain, berarti makin banyak kejanggalan dalam penegakan hukum.
Tertib hukum
Untuk mengetahui sejauhmana efektivitas kehadiran lembaga baru pasca-Reformasi ini, menarik mencermati teori yang dikemukakan oleh Lawrence M Friedman bahwa untuk mengetahui penegakan hukum dalam implementasinya, perlu dilihat dari tiga aspek atau unsur, yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum.
Struktur hukum adalah hal yang menyangkut masalah kelembagaan yang terkait dengan pelaksanaan UU dan penegakan hukum itu sendiri. Dengan mengabaikan atau tak mengikuti lembaga lain, berarti makin banyak kejanggalan dalam penegakan hukum. Sebab bagaimanapun, akan ada pertentangan hukum atau pembangkangan atas aturan yang ada.
Hal ini menunjukkan bahwa struktur hukum yang merupakan unsur yang sangat menentukan suatu sistem hukum di masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Menarik mencermati realitas yang terjadi, khususnya menyangkut relasi dan kompetensi masing-masing lembaga negara produk pasca-Reformasi, yaitu KPK, ORI dan Komnas HAM. Meskipun sudah mengalami perubahan dengan adanya UU baru hasil revisi (vide UU No 19/2019), harapan rakyat pada KPK masih besar.
Begitupun dengan eksistensi ORI dengan instrumen hukum UU No 37/2008 tentang ORI yang didesain dan/atau diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan maladministrasi pelayanan publik. Juga Komnas HAM yang didasarkan pada UU No 39/1999. Dengan dikeluarkannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat.
Tak dapat diingkari , pembentukan ketiga lembaga dimotori oleh semangat yang mengkristal dari nilai-nilai reformasi untuk melakukan perbaikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan, keseimbangan kelembagaan negara dalam membangun harmonisasi, tertib hukum antar lembaga negara, jadi prasyarat mutlak.
Dari sinilah semestinya ketiga lembaga ini memahami kehadiran dan keberadaannya. Karena itu, tak perlu terlalu jauh “menyeret” lembaga yudikatif Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) ke dalam pusaran masalah. Apalagi dengan dalih menunggu putusan MK dan MA.
Sekali lagi, jika mencermati secara jernih rekomendasi ORI dan temuan Komnas HAM tentang 11 pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK di KPK. maka tak ada signifikansinya dengan putusan MA maupun MK. Hal itu karena wewenang ORI berkaitan dengan maladministrasi dalam pelaksanaan kebijakan publik dan Komnas HAM menguatkan adanya penyimpangan di tes itu, sementara urusan MK terkait norma perundang-undangan dan MA yang menguji perundang-undangan di bawah UU.
Begitu pula pasal yang diuji di MK, perkaranya adalah soal norma “alih status”, sehingga tak ada hubungannya dengan proses pemeriksaan di ORI.
Oleh sebab itulah, implikasi hukum yang ditimbulkan jika seandainya MA menyatakan Peraturan KPK No 1/2021 itu sah, maka konsekuensi hukumnya adalah, temuan ORI dan Komnas HAM dari proses pemeriksaan yang dilakukan, tidak kemudian menjadi batal.
Sebab, fakta temuan ORI bukan menyangkut tindakan berdasarkan peraturan KPK, tetapi penyalahgunaan wewenang dalam bentuk pemecatan pegawai KPK yang mengacu pada berita acara 25 Mei dan Surat Keputusan No 652/2021 tentang Tindak Lanjut Hasil TWK dan Badan Kepegawaian Negara.
Hal yang sama juga ditegaskan Komnas HAM, bahwa berdasarkan hasil penyelidikan, TWK diduga kuat adalah bentuk penyingkiran pegawai yang berlabel "Taliban", Pelabelan itu sendiri bentuk nyata dari pelanggaran HAM. Begitu pula pasal yang diuji di MK, perkaranya adalah soal norma “alih status”, sehingga tak ada hubungannya dengan proses pemeriksaan di ORI. Oleh sebab itu, pimpinan KPK tak bisa berlindung pada putusan MA dan MK.
ORI, MA, MK, dan Komnas HAM memiliki dimensi area pengujian yang berbeda. Hal itu, tentu dimaksudkan agar masing-masing lembaga mengokohkan eksistensinya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, sehingga tercapai tertib hukum dalam bernegara.
Taat konstitusi
Tampaknya, kerumitan korelasi antar-lembaga negara hari ini mencerminkan “keretakan” dalam membangun suatu kinerja dan semangat menghadirkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat. Sebaliknya, pertentangan paradigma antar lembaga negara itu justru akan berdampak pada terpuruknya etika lembaga negara.
KPK sebagai lembaga negara dianggap telah menjadikan pelaksanaan TWK pegawai KPK sebagai instrumen kekuasaan untuk menyingkirkan 75 pegawai, yang di antaranya tergolong berpengalaman dan punya reputasi baik dalam pemberantasan korupsi.
Dalam konteks inilah, ORI menemukan adanya dugaan malaadministrasi dan Komnas HAM menemukan pelanggaran HAM, yang pada gilirannya akan bisa menggerus wibawa KPK sebagai lembaga super body yang sangat disegani/ditakuti selama ini oleh para koruptor.
Namun, dengan kondisi yang ada sekarang, peran KPK menjadi tak optimal dan cenderung menurun (melemah). Akibatnya, wajah penegakan hukum sebagai refleksi dari negara hukum juga ikut tercoreng di mata masyarakat. Padahal konsep negara hukum (rule of law) menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya).
Kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh konstitusi, dan kekuasaan itupun hanya mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi (Sirajuddin dan Winardi, 2015:47).
Baca juga : TWK dan Agenda Pemberantasan Korupsi
Maka, sebaiknya isu strategis seperti TWK segera dibereskan dengan cara melaksanakan rekomendasi ORI dan Komnas HAM, sehingga KPK bisa memberikan kesan yang baik ke publik sebagai lembaga yang “taat konstitusi” dan menghormati etika antar lembaga negara.
Protes publik harus didengar dan direspons positif sebagai refleksi kepentingan penegakan hukum dan/atau penguatan kinerja kelembagaan di masa yang akan datang. Ketegangan berkepanjangan relasional antar lembaga negara harus bisa dikelola secara cerdas, sehingga berbagai isu dangkal yang tak produktif haruslah dienyahkan. Kini, yang terpenting adalah bagaimana mendorong kinerja KPK yang lebih kuat, karena itu, kini saatnya memperkuat kembali kelembagaan KPK.
Caranya, dengan berorientasi dan fokus pada penegakan hukum yang bergerak dengan tegak lurus, sehingga kembali mengokohkan eksistensinya .
Di usia ke-76 kemerdekaan RI, pertanyaan yang patut diajukan adalah: apakah negara kesejahteraan yang menjadi “janji kemerdekaan” para Bapak Pendiri Bangsa masih relevan dimunculkan ketika praktik korupsi terus saja merajalela dan menjadi penyakit endemik bangsa ini, sementara korelasi kelembagaan negara terus menghadirkan pertikaian.
Sekali lagi, ikhtiar membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi penting sebagai bagian utama mewujudkan mimpi Indonesia menuju 2045.
Abustan, Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (UID)