Kerajaan Uang Flushing Meadows
Turnamen tenis kelas dunia menyediakan hadiah uang melimpah. Salah satunya adalah AS Terbuka yang berhadiah total hampir Rp 820 miliar.
Pandemi Covid-19 tidak serta-merta menghentikan perputaran triliunan uang di tenis. Dan, salah satu perputaran uang terbesar di olahraga tersebut saat ini terjadi di Flushing Meadows, tempat turnamen Amerika Serikat Terbuka yang menyediakan hadiah total 57,5 juta dollar AS atau senilai hampir
Rp 820 miliar!
Jumlah itu lebih besar dari hadiah turnamen seri Grand Slam di Wimbledon bulan lalu yang menyediakan total hadiah uang 48,24 juta dollar AS atau senilai Rp 685 miliar. Juga lebih tinggi dari Perancis Terbuka di Roland Garros yang total hadiahnya 34,37 juta euro atau Rp 577 miliar lebih.
Sementara Australia Terbuka di Melbourne Park menyediakan hadiah total 71,5 juta dollar Australia atau sekitar Rp 760 miliar. Jadi, tidak hanya pertandingan-pertandingan antarklub sepak bola di Eropa saja yang bergelimang uang, olahraga lain seperti tenis dan juga golf pun bertebaran uang.
Turnamen golf US Masters, misalnya, meski tak sebesar hadiah tenis AS Terbuka, menyediakan total hadiah uang 11,5 juta dollar AS atau senilai Rp 163,6 miliar.
Untuk berburu hadiah, turnamen tenis elite merupakan salah satu ladang yang cocok. Bisa dibayangkan jika untuk juara tunggal tenis AS Terbuka, baik putra maupun putri, jumlah hadiah uangnya sama—sebesar 2,5 juta dollar AS atau senilai hampir Rp 35,555 miliar!
Beruntung jika seorang petenis bisa masuk ”main draw” atau babak pertama AS Terbuka. Kalah di babak ini pun, pemain sudah mendapat hadiah uang 75.000 dollar AS atau senilai lebih dari Rp 1 miliar. Jika Anda sebagai petenis memiliki peringkat 100 dunia, tanpa perlu melalui kualifikasi bisa langsung masuk babak utama Grand Slam, sekalipun langsung kalah, sudah mengantongi semiliar rupiah!
Bagaimana jika seorang petenis harus merangkak dari babak kualifikasi? Tak perlu khawatir karena babak kualifikasi pun menyediakan hadiah tak sedikit. Total hadiah khusus untuk babak kualifikasi AS Terbuka adalah 6 juta dollar AS atau senilai Rp 85,332 miliar. Kalah di babak pertama kualifikasi, seorang petenis mengantongi 20.000 dollar AS atau senilai Rp 284,44 juta. Kalah di babak kedua kualifikasi dapat 32.000 dollar AS atau sekitar Rp 455,104 juta. Sementara jika kalah di babak ketiga kualifikasi mendapat 42.000 dollar AS atau senilai Rp 597,324 juta!
Baca juga: Ambisi Tsitsipas Dihentikan Petenis Remaja
Memang, untuk mencapai tingkatan itu tidak mudah. Untuk menjadi petenis putra dunia, dibutuhkan talenta dan fisik yang prima. Saat ini, para petenis elite dunia juga memiliki postur tubuh yang relatif jangkung. Seperti juara Olimpiade 2020 dari Jerman, Alexander Zverev (24), tinggi tubuhnya 198 sentimeter. Novak Djokovic (34), salah satu dari tiga GOAT (Greatest of All Times), tinggi badannya 188 sentimeter. Sedikit lebih tinggi dari GOAT asal Swiss, Roger Federer (40) yang setinggi 185 sentimeter, sedangkan Rafael Nadal (35), GOAT dari Spanyol tingginya 185 sentimeter.
Tetapi ada masanya, dunia pernah dirajai oleh petenis yang tidak terlalu jangkung, seperti Michael Chang dari AS yang pada saat berusia 17 tahun pernah menduduki posisi nomor dua dunia setelah juara di Perancis Terbuka (1989). Tinggi tubuh Michael Chang hanya 175 sentimeter, barangkali rata-rata postur laki-laki Asia. Lebih kurang setinggi petenis nasional kita, Tintus Arianto Wibowo dan Yustedjo Tarik, dulu di era 1980-1990-an.
Untuk putrinya? Juara Wimbledon 2021 bulan lalu, Asleigh Barty (24), tingginya 1,66 sentimeter. Tidak jauh dari tinggi tubuh petenis putri kita Yayuk Basuki yang pernah masuk 20 besar dunia tahun 1997 dan pernah lolos ke perempat final Wimbledon (1997). Peringkat tertinggi Yayuk yang tinggi tubuhnya 164 sentimeter ini pernah mencapai urutan 19 dunia (per 6 Oktober 1997). Angelique Widjaja dengan tinggi 173 sentimeter, sedikit lebih jangkung dari Yayuk, pernah mencapai peringkat 55 dunia (per 31 Maret 2003) dan pernah masuk babak kedua di Perancis Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka pada 2002.
Kerajaan-kerajaan uang di tenis ini pun sudah bertebaran di mana-mana. Jepang Terbuka, misalnya (khusus untuk putra), hadiah uangnya pun menggiurkan. Total hadiahnya 2,046 juta dollar AS atau senilai Rp 29,1 miliar lebih. Atau turnamen ATP Tour di Singapura yang total hadiahnya 361.800 dollar atau lumayan, Rp 3,8 miliar lebih.
Program nasional, membibit petenis dunia, sepertinya akan sulit dicapai. Lantaran, jika itu direncanakan oleh Kementerian Olahraga, setiap lima tahun ganti menteri, tentu berubah-ubah kebijakannya sesuai dengan pejabat yang didudukkan pada posisi Menpora. Akan sulit konsisten menjaga program maupun pembiayaannya.
Apalagi, membesarkan petenis juga butuh biaya sangat besar, terutama saat mulai dikirim ke turnamen-turnamen internasional. Awal-awal ikut turnamen, akan lebih banyak kalahnya dari menangnya. Seperti juga dialami bintang-bintang bulu tangkis kita.
Semestinya bisa dilakukan seperti keluarga Angelique Widjaja, yang dibesarkan mula-mula oleh keluarga sendiri (lahir di Bandung 12 Desember 1984) dikenalkan pada tenis usia 4,5 tahun, dan berlatih di Sekolah Tenis FIKS Bandung. Pada usia 12 tahun sudah bermain di turnamen internasional. Putri bungsu dari keluarga Rico Widjaja-Hanita Erwin ini mencapai puncak kariernya pada 2001 ketika juara turnamen seri Grand Slam Wimbledon yunior.
Baca juga: Panggung Unjuk Diri Para Remaja
Setelah mencapai jenjang yunior Grand Slam, Angelique Widjaja yang banyak melanglang buana, kemudian menjadi langganan mewakili Indonesia melalui Pengurus Besar Persatuan Tenis Lapangan Indonesia (Pelti). Prestasi senior pernah diraih Angie, panggilan akrab Angelique Widjaja, ketika ia tampil sebagai juara turnamen Wismilak Internasional di Bali, September 2001. Tahun 2002, merebut gelar juara Wimbledon dan Perancis Terbuka yunior di ganda bersama petenis Gisela Dulko dari Argentina. Meski sayangnya, prestasi ini tidak berlanjut ke tingkat senior.
Kalau saja ada talent scout tenis, pencari bakat di negeri kita, dan mampu mengorbitkan petenis-petenis putri ke panggung dunia, maka nama Indonesia akan berkibar. Tak hanya mengharumkan nama Indonesia, tetapi juga membuat kocek si petenis terisi dollar.
Dalam sejarahnya, petenis Asia yang lolos dan beprestasi di turnamen Grand Slam tidak terlalu banyak, setidaknya di nomor tunggal putra. Michael Chang, tidak sepenuhnya ”Asia”, lantaran ia dilahirkan di AS dan berlatih secara intensif di negeri Paman Sam. Pernah ada Paradorn Srichaphan dan Kei Nishikori, yang mampu bersaing di tingkat elite, tetapi tidak bisa menjadi juara di Grand Slam. Berbeda dengan nomor ganda, di mana petenis Asia legendaris Leander Paes dan Mahesh Bhupathi berkali-kali juara Grand Slam, baik di nomor ganda putra maupun ganda campuran.
Di kelompok putri tentu ada Li Na asal China, yang menjadi petenis Asia pertama yang meraih gelar Grand Slam saat juara Perancis Terbuka 2011. Itu bukan kemenangan yang kebetulan karena ia kemudian mampu menjuarai Australia Terbuka pada 2014.
Ada juga fenomena Amerasia, seperti Naomi Osaka (23), yang berkebangsaan Jepang, tetapi tinggal di Beverley Hills, California, AS. Ia berdarah campuran, ibu Jepang dan ayah asal Haiti. Ia lahir di Jepang dan bersama keluarganya hijrah ke AS ketika ia masih berusia 3 tahun, tinggal bersama keluarga sang ayah di Long Island, New York. Dan ketika berusia 10, bersama kakak perempuannya yang juga bertenis, mereka pindah bersama keluarga ke Florida AS.
Dalam usia 23 tahun, Naomi Osaka yang terjun ke pro sejak September 2013, sudah meraih hadiah uang total 17,77 juta dollar AS atau sebesar Rp 253 miliar lebih. Gelar juara Grand Slam? Ia juara AS Terbuka 2018 dan 2020, serta Australia Terbuka pada 2019. Sayangnya, pada AS Terbuka tahun ini, sang juara bertahan secara mengejutkan tumbang di babak ketiga dari petenis berusia 18 tahun, Leylah Fernandez, 5-7, 7-6 (2), dan 6-4.
Jika Anda memenuhi syarat-syarat bakat seperti Michael Chang atau Naomi Osaka, silakan mengadu nasib di ”kerajaan uang” tenis dunia. Mumpung turnamen tenis dunia masih bergelimang uang, bahkan saat pandemi melanda dunia sekalipun....
(Jimmy S Harianto, wartawan Kompas 1975-2012)