Mural bukan hanya sebuah seni, tetapi merupakan gerakan yang melibatkan masyarakat, untuk membangkitkan kesadaran sosial dan sejarah. Karena itu sudah seharusnya mural mendapatkan tempat yang layak.
Oleh
MUH SHADRI KAHAR MUANG
·5 menit baca
Mungkin kita sejenak perlu tetirah ke masa ketika Picasso menumpahkan keresahannya setelah membaca berita kekejaman perang saudara di Spanyol lewat koran di Café de Flore Paris. Keresahan itu ia tuangkan di atas kanvas raksasa, dan jadilah Guernica, mural yang menjadi saksi bisu akan kengerian, teror, penderitaan, dan kemalangan dari perang itu.
Mural dari keresahan Picasso tersebut menjadi karya seni penentang perang terbaik sepanjang masa. Bahkan, Guernica bagi Herbert Read, seorang kritikus, dianggap sebagai sebuah pahatan penderitaan dalam reruntuhan kelembutan manusia yang hancur akibat ledakan bom. Guernica ini kemudian menjadi pemantik lahirnya sistem mural sebagai Wall of Anxiety atau Tembok Keresahan.
Di kota-kota besar, seperti di Amerika bahkan Indonesia, lukisan mural telah membawa seni publik masuk kedalam karut marut perkotaan. Baru-baru ini kita disajikan kasus yang sedang viral menampilkan mural Presiden Jokowi ”404 Not Found”. Mural ini menunjukkan bukti sahih bersenyawanya cat warna-warni dengan keresahan akan dunia politik dan fenomena sosial yang kemudian terciprat ke tembok kota.
Kasus mural ini bahkan mengalahkan kekuatan meme-meme sindiran di ruang ruang digital. Mural tampaknya punya aroma ancaman tersendiri bagi pemangku kepentingan dan penyelenggara kebijakan.
Mural bukan hanya sebuah seni, tetapi ia merupakan gerakan. Mural hadir membangun makna dan tetap bertahan karena melibatkan partisipasi masyarakat, seniman yang mengatasnamakan gerakan sipil dan menggunakan karya mereka untuk membangkitkan kesadaran sosial dan sejarah.
Pada saat yang sama, mural menjadi bagian dari gerakan estetika dan budaya yang penting bagi para seniman jalanan. Ia megah, dramatis, naratif, dan sering kali heroik; dan berkali-kali, mural secara sadar berusaha untuk mengungkapkan keprihatinan dan impian orang-orang terpinggirkan.
Membangun mural adalah memobilisasi masyarakat untuk mengartikulasikan mimpi, mengekspresikan frustrasi, dan yang paling penting, mempertimbangkan strategi untuk perubahan. Jika dilihat secara saksama, wajah mural adalah pertimbangan yang layak bagi pembuat kebijakan publik.
Mural adalah katalis bagi luapan keresahan serta tindakan logis masyarakat yang dibungkam. Mural adalah cara untuk memberikan suara kepada mereka yang sangat membutuhkan untuk didengar. Mural menawarkan seruan yang bisu, tetapi berpengaruh, dan membangun jejaring keresahan bersama.
Sepertinya pembesar kita mulai sadar bahwa kekuatan dari gerakan mural kontemporer ini adalah kegemarannya pada pengorganisasian politik dan sosial, serta mempertanyakan bagaimana proyek seni jalanan dapat mencapai tujuan sosiologis yang serius. Kekuatan ini hadir akibat kulminasi serangkaian keresahan yang dibalut dengan tendensi radikal, dibangun oleh jejaring masyarakat dan ditumpahkan di atas dinding-dinding kota.
Kekuatan lain dilihat dari kemampuannya untuk mempertanyakan, mengkritik, atau memuji sebuah putusan-putusan politik dan sosial lewat karya seni itu sendiri. Dalam kasus-kasus di mana gambar mural memicu kontroversi politik seperti di Indonesia saat ini, sebenarnya mengingatkan kepada khalayak ramai dan para seniman untuk belajar menavigasi kompleksitas diplomasi dan kompromi lewat simtom-simtom kota.
Sudah waktunya mural mendapatkan tempat yang layak. Mural tidak seharusnya diberangus, dibredel, dipertarungkan dengan aparat hukum, sampai-sampai memperkarakan senimannya di meja hijau. Kritik tidak seharusnya dilawan, ada cara yang luhur untuk menghadapinya.
Kritik tidak seharusnya dilawan, ada cara yang luhur untuk menghadapinya.
Kritik semestinya dikelola secara profesional, diedukasi secara utuh, dan jika memungkinkan di integrasikan dengan kekuatan ekonomi kreatif yang ada. Apalagi ini adalah kritik berjubah kesenian.
Mengelola mural sebagai sebuah seni mengkritik atau tembok keresahan dimulai dengan melakukan edukasi di mana penyelenggara negara mengajarkan keterampilan seni kepada anak-anak muda yang memiliki atensi, minat dan bakat dalam teknik melukis dan menggambar dalam skala besar. Karena seni mural adalah seni publik, proses edukasinya juga harus mengedepankan proses critical thinking dan creativity thinking, selain itu pendekatan studi kasus dan rekayasa sosial perlu menjadi landasan utama dalam proses edukasinya.
Mengelola mural
Pengelolaan mural sebagai sebuah cara kritis haruslah diarahkan kepada membangun harga diri, modal sosial dan intelektual di antara kaum muda dengan keterampilan kreatif dan interaksinya dalam dimensi sosial, politik, dan ekonomi mereka. Mengelola mural sebagai alat kritik juga harus dilihat dari sisi bagaimana lukisan mural dapat meningkatkan persepsi dan kualitas lingkungan perkotaan, sekaligus mempromosikan pembangunan ekonomi. Pemerintah hendaknya mengelola mural ini dengan mencari kerangka kerja berbasis komunitas yang inovatif untuk mengintegrasikan seni ke dalam upaya revitalisasi perkotaan.
Mari sejenak kita berkunjung ke Philadelphia, pada 1979, di mana negara bagian ini memiliki sebuah departemen yang khusus mengelola mural di kotanya, yaitu Department of Community Programs (DCP) di Philadelphia. DCP ini telah mengorganisasi sekitar seratus mural, sambil memberi nasihat lebih dari tiga ratus seniman jalanan di seluruh kota. Selain itu, Museum Philadelphia menyediakan semua bahan untuk mural dan gaji para seniman jalanannnya, bahkan banyak pelukis remaja dibayar melalui DCP tersebut. Indonesia juga mestinya belajar dari kota ini.
Pemerintah hendaknya mengelola mural ini dengan mencari kerangka kerja berbasis komunitas yang inovatif untuk mengintegrasikan seni ke dalam upaya revitalisasi perkotaan.
Indonesia seharusnya tidak hanya mampu menetapkan regulasi, membina, bahkan memberikan upah bagi para muralis muda untuk pekerjaan menghias dinding kota, tetapi juga menyediakan dana untuk alat-alat kerajinan, termasuk cat, ruang studio, perancah, kuas dan sejenisnya. Indonesia seharusnya berusaha melibatkan beberapa pemuda yang terpinggirkan, tetapi memiliki kemampuan seni dengan membayar mereka untuk menciptakan seni publik.
Secara umum seni jalanan yang tak dikelola, tak dikelola dengan baik akan berakhir sebagai kemewahan yang sembrono, bahkan seni yang mengancam pemerintahan. Indonesia sebenarnya harus menyadari bahwa orang harus mengekspresikan diri mereka; itu kebutuhan, bukan kemewahan, kecuali kita mulai memanfaatkan kreativitas orang, kita harus terus mencoba mengendalikan ekspresi mereka.
Pemangku kepentingan sudah selayaknyalah menggunakan patron bahwa jalanan bukan untuk perang sosial, tetapi untuk menceritakan kisah mereka, menyerukan perdamaian, dan memvisualisasikan jalan keluar dari kehidupan jalanan melalui pengembangan seni dan kreativitas sehingga mural tetap menjadi Tembok Keresahan bukannya menjelma Tembok yang Meresahkan.