Soekarno bukan sosok yang alergi terhadap kritik. Soekarno memberi contoh cara demokratis dalam menanggapi kritikan. Ia memberikan sudut pandang lain untuk dipahami oleh masyarakat umum sebagai jawaban atas kritik.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
“Saudara-saudara, saya pernah dihadiahi dengan coretan tembok yang berbunyi: ‘Mercusuar politik no, mercusuar ekonomi yes’.” (Soekarno, 1966)
Kisah ini disampaikan oleh Presiden Soekarno pada pidato hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1966 di Jakarta. Dalam pidato bertajuk “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, Soekarno mencoba untuk menyampaikan berbagai aspek tentang cita-cita agar Indonesia dikenal oleh berbagai bangsa di dunia.
Pidato ini bukanlah pidato seperti tahun-tahun sebelumnya. Situasi yang dihadapi sama sekali karena terjadi kegelisahan politik akibat terjadinya peristiwa gerakan 30 September (Gestapu) yang saat itu dikenal sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok).
Bahkan, menurut berita harian Kompas yang terbit pada 18 Agustus 1966, sejumlah orang justru meninggalkan lapangan Merdeka saat pidato disampaikan. Padahal, sebelumnya bidang lapangan itu penuh diisi oleh masyarakat yang ingin mendengar langsung pidato Soekarno setelah terjadinya peristiwa berdarah sekitar enam bulan sebelumnya.
Berdasarkan ciri pakaian yang digunakan, sekelompok orang yang meninggalkan lapangan Merdeka saat pidato Soekarno saat itu adalah para mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia.
Salah satu alasan para pemuda ini meninggalkan lapangan Merdeka adalah karena isi pidato Soekarno dinilai kurang selaras dengan jiwa dan semangat orde baru (Kompas, 18 Agustus 1966).
Aksi ini adalah gambaran bahwa pidato Soekarno saat itu tidak sesuai dengan kebutuhan publik yang menantikan kejelasan politik setelah terjadinya "Gestok". Di tengah impitan politik dari berbagai pihak, Soekarno mencoba tetap menyampaikan gagasan tentang cita-cita bangsa agar dikenal oleh dunia.
Inilah pidato perayaan HUT RI pertama Soekarno setelah Gestapu, sekaligus pidato terakhirnya pada momen yang sama. Sejak tahun 1967, pidato perayaan HUT RI disampaikan oleh Soeharto.
Dalam pidatonya, Soekarno memang bercerita banyak hal tentang situasi terkini. Seakan menyadari hal itu dinantikan oleh rakyatnya, Soekarno beberapa kali menyinggung ancaman dari berbagai sisi yang juga ia rasakan.
“Tahun 1966 ini, kata mereka, ha, eindelijk, eindelijk, at long last, Presiden Soekarno telah dijambret oleh rakyatnya sendiri, Presiden Soekarno telah di-coup; Presiden Soekarno telah dipreteli segala kekuasaannya, Presiden Soekarno telah ditelikung oleh satu triumvirat yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku Buwono, dan Adam Malik,” kata Soekarno yang ingin menggambarkan suara-suara di ruang publik yang mencuat setelah peristiwa Gestapu.
Soekarno dalam pidatonya juga sempat menyinggung perihal Surat Perintah 11 Maret. Menurutnya, surat perintah ini bukanlah bagian dari peralihan kekuasaan. “Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan jalannya any pemerintahan, demikian kataku pada waktu melantik kabinet,” kata Soekarno sembari meluruskan persepsi yang muncul di ruang publik.
Di tengah-tengah pidato, di saat masyarakat menantikan arah pidato sang presiden, Soekarno secara mengejutkan malah menyinggung sebuah coretan tembok yang berisi sindiran terhadap kebijakan politik yang diambil kepala negara. Saat itu, Soekarno teringat dengan coretan tembok yang menyindir proyek mercusuar.
Kritikan itu berbunyi ‘Mercusuar politik no, mercusuar ekonomi yes’. Coretan ini disinggung oleh Soekarno saat menyampaikan gagasan mercusuar agar Indonesia didengar, dilihat, dan diperhatikan oleh seluruh dunia. Namun, gagasan ini menuai kritik oleh masyarakat.
Dalam karier pemerintahannya, Soekarno memang pernah menjalankan konsep politik mercusuar agar Indonesia dikenal oleh dunia internasional. Salah satu politik mercusuar yang berhasil menyita perhatian dunia adalah saat Indonesia menjadi tuan rumah dalam Asian Games 1962. Beragam pembangunan skala besar seperti Stadion Utama Gelora Bung Karno dan Hotel Indonesia dilakukan.
Pada situasi inilah Soekarno menuai kritikan. Pasalnya, sejak tahun 1960, Indonesia tengah dilanda kesulitan ekonomi dengan inflasi yang begitu tinggi. Wajar, di tengah situasi saat itu, proyek skala besar mendapatkan cibiran dari masyarakat.
Kritikan yang muncul melalui coretan tembok adalah wujud kepedulian sekaligus suara kegelisahan masyarakat. Entah siapa yang menulis, kritikan ini menggambarkan sikap sebagian masyarakat yang suaranya mungkin belum didengar oleh pemerintahan.
Meski masyarakat mengalami kesulitan dari sisi ekonomi dan pemerintah mulai goyah secara politik, kritikan saat itu tetap dilakukan secara dewasa dan ditanggapi secara bijak oleh pemerintah.
Lalu, apa tanggapan Presiden Soekarno saat itu?
Soekarno menjelaskan bahwa mercusuar politik dan ekonomi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus diterapkan secara bersamaan. Inilah yang disebut oleh Soekarno sebagai dwi tunggal dalam politik ampera, yakni ekonomi dan politik.
“Dalam abad XX, dua hal ini, ekonomi dan politik, adalah kait-mengait, kait-mengait satu sama lain, rante-rinante satu sama lain, interwoven satu sama lain. Apalagi buat kita, ekonomi kita,” kata Soekarno.
Soekarno dalam pidatonya mencoba mengingatkan pentingnya menciptakan stabilitas ekonomi dan politik secara bersamaan. Upaya ini disesuaikan dengan kondisi bangsa sehingga terwujud stabilitas yang revolusioner dan tidak tergantung pada imperialis.
Coretan tembok yang disinggung oleh Soekarno adalah grafiti pada masanya. Sebagai kritik estetis, cara yang digunakan berhasil menarik perhatian penguasa.
Melihat momen yang digunakan, tampak bahwa grafiti tersebut memberikan kesan yang begitu kuat bagi Soekarno sehingga perlu dibahas dalam pidato tahunan presiden.
Momen HUT RI pun dimanfaatkan agar pesan yang disampaikan oleh Soekarno tersebar luas mengingat pidato presiden saat itu adalah hal yang dinantikan oleh masyarakat.
Soekarno seakan ingin memberikan pesan politik bahwa kritik terhadap kebijakan kepala negara, perlu dijawab dengan penjelasan-penjelasan yang demokratis. Secara komprehensif, grafiti itu dijawab oleh Soekarno dengan ragam penjelasan tentang konsep pembangunan ekonomi dan politik secara paralel. Itulah mengapa Soekarno mengambil momen besar untuk menanggapi sehingga masyarakat dapat memahami secara menyeluruh.
Di balik pro dan kontra kebijakan, Soekarno telah menanggapi kritikan atas kebijakan negara secara demokratis. Kritik atas kebijakan dijawab dengan memberi penjelasan secara lugas untuk mudah dipahami masyarakat umum. (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan berikutnya: Wiji Thukul, Grafiti, dan Nada Kegelisahan di Tembok Kota