Uji Formil dan Senja Kala Legislasi
Kondisi pandemi seharusnya menjadi titik balik bagi DPR untuk menguatkan fungsi legislasi dan menjawab persoalan bangsa yang ada di depan mata. Kenyataannya, justru jadi ruang bagi keluarnya berbagai UU kontroversial.
Belakangan ada tendensi negara melakukan tindakan pembentukan undang-undang menurut kehendak sepihak negara.
Ada semacam legislasi “ugal-ugalan” dengan politik hukum yang tak lagi memihak masyarakat dan tujuan hukum itu sendiri. Negara hanya semacam mencari pembenar atas tindakan produksi hukum dengan formalitas seadanya. Sekadar menggugurkan kewajiban formal, meski miskin esensi dan substansi dari kewajiban formal itu.
Padahal, UU bukanlah hal sederhana. Ia sesungguhnya cukup sakral. Suatu UU adalah hukum yang dibentuk oleh pembentuknya dan memiliki daya berlaku, dapat bersifat perintah maupun larangan terhadap rakyat dan warga negara.
Bahkan di ujungnya, terlepas dari posisi penolakan hukuman mati, pelanggaran atas UU di Indonesia bisa dipakai sebagai pembenar untuk mencabut nyawa seseorang. Logika “kontrak sosial” mendedahkan rakyat memberikan kuasa kepada negara untuk begitu banyak urusan, termasuk mengatur rakyat.
Karenanya, harus ada batasan-batasan bagi negara untuk melaksanakan titipan kewenangan itu. Rakyat yang berdaulat menitipkan ke negara melalui proses representasi dan kontestasi kepemiluan, dan aktor negara yang terpilih harus melaksanakan keinginan rakyat yang menitipkan kedaulatan, salah satunya dengan kepengurusan lewat pembentukan UU.
Prinsip demokrasi menyebutkan, pembentuk UU, yakni presiden dan parlemen dalam sistem demokrasi presidensil, perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat. “Hanya” menjadi pelaksana dari keinginan rakyat.
Dalam perspektif Bryan Thompson perihal konstitusionalisme, konstitusionalitas atas kerja-kerja negara itu harus bersumber dari hukum dasar hanya mengikat jika didasarkan atas kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara. Dan ketika kekuasaan itu telah diberikan, negara berkewajiban “untuk taat dan patuh atas konsep pembatasan kekuasaan yang disematkan pada negara” dan “memerhatikan sungguh-sungguh keinginan rakyat”, sebagai sumber kedaulatan yang dimiliki negara dalam menjalankan kewenangannya.
Logika “kontrak sosial” mendedahkan rakyat memberikan kuasa kepada negara untuk begitu banyak urusan, termasuk mengatur rakyat.
Aspek dan pengujian formil
Karenanya, ada formalitas pembentukan UU dan ada substansi pembentukan UU yang dapat disandarkan pada keinginan rakyat dalam bentuk partisipasi dan materi (substansi UU). Keduanya seperti satu tarikan napas yang dihela dalam proses hidup legislasi. Artinya, secara filosofi konstitusionalitas pembentukan UU tak lain dan tak bukan harus memerhatikan dua hal ini.
Sesuatu yang sebenarnya secara “semangat” sudah ada di UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 2: “peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Makna frasa “melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan” merupakan peneguh bahwa aspek formil adalah sesuatu yang amat penting. Formalitas pembentukan UU menjadi syarat penting bagi legitimasi hukum.
Kekuasaan pada dasarnya harus dibatasi agar kekuasaan tak dibuat serampangan. Dalam hal ini, tentu saja UU juga harus melalui konsep itu.
Itulah sebabnya, dalam konsep teoretik pembentukan UU, prosedural adalah jantung dalam proses administrasi legislasi. “Tanpa prosedur, hukum dan kelembagaan hukum akan gagal dalam mencapai tujuannya” ucap DJ Galligan.
Dalam pembahasan ketika UUD 1945 diamendemen, terlihat keinginan besar untuk membahas pembentukan UU ini lebih mendalam, setidaknya dalam tiga level. Pertama, pergeseran kekuasaan pembentuk UU. Kedua, proses dan mekanisme pembentukan UU. Ketiga, pengawasan atas kekuasaan pembentukan UU melalui mekanisme review.
Dalam dua level yang pertama, seperti kita ketahui, terjadi pergeseran kuasa pembentuk UU dari presiden menjadi DPR. Disertasi Saldi Isra (2009) mengungkapkan, pergeseran ini tak serta- merta berarti menguatkan kewenangan DPR, tetapi justru memberikan posisi yang kuat pada presiden dalam wilayah legislasi. Meskipun kuasa berada di DPR, pemilik veto yang tak bisa terbantahkan adalah presiden dalam kewajiban pembahasan dan persetujuan bersama.
Hanya saja pada level ketiga —yakni ketika berbicara tentang pengujian UU sebagai sarana kontrol untuk menjamin agar UU tak digunakan secara serampangan oleh pembentuknya— terjadi pembahasan tak berimbang antara pengujian formil dan materiil.
Meski kita semua paham bahwa konsep pengujian UU menganut model materiil dan formil; saat pembahasan UUD 1945 — khususnya pada perubahan kedua dan ketiga— lebih banyak berkutat pada pengujian materiil. Kemudian, saat UUD 1945 disepakati dan ditindaklanjuti dengan menyusun UU No 24/2003 tentang MK, konsep pengujian formil dapat tempat untuk pembahasan.
Pada titik itulah, pengujian formil mengalami tarik-menarik yuridis, jika tetap dengan paradigma bahwa pengujian formil harus berdasarkan Pasal 51 Ayat 3 huruf a UU No 24/2003. Pasal ini mengatur bahwa pemohon tatkala mengajukan pengujian formil harus menjelaskan secara terperinci bahwa “pembentukan UU tak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Padahal, ketentuan di UUD 1945 tentang pembentukan UU amat minim dan sederhana
Padahal, ketentuan di UUD 1945 tentang pembentukan UU amat minim dan sederhana. Itu sebabnya, ketika pertama kali menyusun peraturan perihal hukum acara di MK, terjadi pelebaran makna di Peraturan MK No 06/PMK/ 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU. Yakni, “Pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil”. (Pasal 4 ayat (3)).
Bahkan ketika UU MK mengalami perubahan di tahun 2011, terdapat pasal yang dimasukkan dalam Pasal 51A Ayat 3 UU No 8 Tahun 2011 yang berbunyi “Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan”.
Ini berarti makin melebarkan lagi konsep pengujian formil yang bisa dilakukan karena tak lagi hanya sebatas berdasarkan UUD 1945, tetapi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dengan konsep demikian maka pengujian formalitas pembentukan UU tak saja hanya dapat dimaknai menyangkut prosedural dalam bentuk proses dan tahapan pembentukan UU sebagaimana diatur di konstitusi, namun berkaitan juga dengan penggunaan hal-hal lain di luar pengujian materiil yang telah digariskan di peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Senja Kala dan pelita MK
Sayangnya, hingga 18 tahun usia MK belum terlihat monumen utuh MK membangun konstruksi pengujian formil ini, meskipun MK sendiri telah berulang-ulang melakukan pengujian formil. Hingga 2020, telah 44 kali MK memutus dengan konsep permohonan formil (Nurul Fazrie dan Bivitri Susanti, 2020), dan hasilnya tak satupun dari keseluruhan permohonan dikabulkan.
Karenanya, jika digabungkan dengan pengujian UU KPK (perkara No. 79/PUU -XVII/ 2019), hasilnya tetap saja sama yakni tidak pernah ada yang dikabulkan. Padahal kita semua tahu betapa buruknya sebenarnya cara pembentuk UU melaksanakan fungsi legislasi.
Baca juga : Amendemen UUD, GBHN,dan Jabatan Presiden
Sudah jadi pemahaman umum, legislasi sering dibuat dengan formalitas seadanya. Misalnya di wilayah partisipasi, meski ada kewajiban di dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi tetap diperlakukan seadanya. Sebagaimana dituliskan Burns dkk (1994) yang meminjam istilah Sherry R. Arnstein (1969) "tokenism", partisipasi publik hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan pembentukan peraturan.
Masa pandemi saat ini, alih-alih terjadi perbaikan, justru semakin buram. Laporan Riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK, 2021) tentang legislasi sepanjang 2020 menjelaskan fakta-fakta pengulangan beberapa faktor buruk dalam legislasi bahkan dalam tingkatan tertentu memburuk.
Masa pandemi saat ini, alih-alih terjadi perbaikan, justru semakin buram.
Mulai dari; 1) perencanaan yang tak matang dan ini mengalami pengulangan; 2) capaian rendah dan legislasi yang minim; ambisi tinggi namun hanya menyelesaikan 13 UU, itu pun kebanyakan ratifikasi perjanjian internasional; 3) fungsi prolegnas yang makin degradatif; 4) rendahnya kualitas fungsi legislasi dilihat dari cara melakukan formulasi legislasi, bukan hanya soal pengartikulasian gagasan yang tepat, tetapi juga dalam mencapai tujuan yang diharapkan dalam politik hukum suatu negara.
Padahal, kondisi pandemi seharusnya bisa menjadi titik balik bagi DPR untuk menguatkan fungsi legislasi dan menjawab persoalan bangsa yang ada di depan mata. Kenyataannya, justru jadi ruang bagi keluarnya berbagai UU kontroversial seperti UU KPK hasil revisi, UU Cipta Kerja dan UU MK.
Pemeriksaan mendetail terhadap UU secara formil sebenarnya sudah menemukan begitu banyak masalah, apalagi jika diperiksa secara materiil. Mengapa? Karena biasanya ada keterkaitan antara pelanggaran formal legislasi dan materiil yang berantakan, yang bisa jadi disengaja atau karena ketergesa-gesaan.
Baca juga : Putusan Kematian KPK
Karenanya, dibutuhkan tanggung jawab konstitusional MK yang lebih tinggi. Jika dilihat dari berbagai perkara yang telah dilakukan pengujian formil, terlihat bahwa MK belum punya parameter yang kuat dan konstitusional untuk mengukur sejauh mana konstitusionalitas formal pembentukan UU. MK belum mengeluarkan suatu “putusan monumental” sebagai penjelmaan dari penjagaan hak-hak konstitusional warga negara dari suatu legislasi yang buruk.
MK menjadi harapan pendamba dan pencari keadilan. Tantangan makin besar ada di MK untuk bisa jadi “pelita” di gelap senja kala legislasi. Ada harapan besar agar MK mau menghentikan gejala yang disebut Kim Lane Scheppelle sebagai “autocratic legalism”, yakni ketika semua keinginan negara dibuatkan aturan legal hanya sekadar memenuhi dan seakan-akan telah memenuhi mandat demokrasi, akan tetapi isinya hanya merupakan keinginan sepihak negara tanpa adanya penghargaan atas prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri dan penuh kekaburan konstitusionalitas.
Zainal Arifin Mochtar Pengajar dan Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM Yogyakarta, Anggota Dewan Penasehat Pukat Korupsi FH UGM