Hilangnya kemampuan membaui alias anosmia sering dikeluhkan penderita Covid-19. Namun, sebetulnya itu ”berkah”. Anosmia dikaitkan dengan gejala dan perjalanan penyakit lebih ringan serta tingkat kematian lebih rendah.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
DRAWING/ILHAM KHOIRI
Atika Walujani Moedjiono, wartawan ”Kompas”
Anosmia atau hilangnya sementara kemampuan menghidu menjadi salah satu gejala Covid-19 yang paling umum. Hal ini dinyatakan Organisasi Kesehatan Dunia pada Mei 2020. Disfungsi indra penciuman diperkirakan dialami 40 persen pasien Covid-19 rawat jalan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kebanyakan orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 akan mengalami gangguan pernapasan. Sekitar 80 persen bisa sembuh tanpa perawatan khusus, 15 persen sakit parah sehingga perlu dirawat di rumah sakit dan membutuhkan oksigen. Sisanya kritis dan membutuhkan perawatan intensif. Gejala berat umumnya dialami orang lanjut usia atau memiliki masalah kesehatan, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis, dan kanker.
Gejala Covid-19 yang paling umum adalah demam, batuk kering, kelelahan. Gejala lain, kehilangan kemampuan menghidu (anosmia), kehilangan indra pengecap (ageusia), hidung tersumbat, konjungtivitis (mata merah), sakit tenggorokan, pusing, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, ruam kulit, mual, muntah, diare. Gejala parah meliputi sesak napas, nyeri atau ada tekanan di dada, kebingungan, serta demam tinggi.
Untuk memahami lebih jauh tentang anosmia, tim peneliti internasional yang dipimpin David H Brann dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS), mengidentifikasi jenis sel penghidu di rongga hidung bagian atas yang paling rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2.
Tim peneliti dari AS, Inggris, dan Belgia tersebut menganalisis data pengurutan RNA massal dan sel tunggal di rongga hidung bagian atas manusia, tikus, dan primata lain. Fokusnya pada gen ACE2 yang mengode protein reseptor yang menjadi target SARS-CoV-2 untuk masuk ke sel manusia. Mereka juga meneliti gen lain, TMPRSS2, yang mengode enzim penting untuk masuknya SARS-CoV-2 ke dalam sel.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Pegawai Mal Tunjungan Plaza mengikuti tes usap antigen massal di lantai dasar Tunjungan Plaza 6, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/6/2021). Sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, Pemerintah Kota Surabaya terus melakukan ”tracing” dengan melakukan tes usap antigen massal di tempat-tempat umum, seperti pasar dan mal.
Di jurnal Science Advances, 24 Juli 2020, tim peneliti melaporkan, sel saraf sensorik penghidu ternyata tidak mengekspresikan gen yang mengode protein reseptor ACE2. Sebaliknya, ACE2 diekspresikan sel yang memberikan dukungan metabolik dan struktural pada sel saraf sensorik penghidu, populasi sel punca dan sel pembuluh darah tertentu.
ACE2 dan TMPRSS2 diekspresikan oleh sel-sel di epitel (permukaan) penghidu, yakni jaringan di atap rongga hidung yang menampung sel saraf sensorik penghidu dan berbagai sel pendukung. Disimpulkan, virus korona baru mengganggu indra penciuman tidak dengan menginfeksi sel saraf secara langsung, tetapi memengaruhi fungsi sel pendukung.
Prognosis baik
Kabar baiknya, sejumlah penelitian mengaitkan anosmia dengan gejala dan perjalanan penyakit lebih ringan. Juga tingkat kematian ataupun kebutuhan dirawat di unit perawatan intensif (ICU) lebih rendah.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Penyintas Covid-19 donor plasma konvalesen dalam sebuah kegiatan yang diadakan KG Media berkerja sama dengan PMI di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (28/1/2021). Seiring lonjakan Covid-19 di Indonesia, kian banyak pula permohonan donor plasma konvalesen bagi pasien Covid-19 bergejala sedang dan berat. Pemanfaatan plasma konvalesen bisa menjadi terapi tambahan untuk pasien Covid-19 meski masih dalam uji klinis.
Hal itu antara lain dari penelitian Blanca Talavera dan kolega dari Universitas Valladolid, Spanyol, terhadap 576 pasien Covid-19, rata-rata berusia 67 tahun, yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Valladolid sepanjang 8 Maret hingga 11 April 2020. Dalam laporan di Journal of the Neurological Sciences, 1 Oktober 2020, disebutkan, kebanyakan pasien dengan anosmia berjenis kelamin perempuan, berusia lebih muda, masih mandiri, dan lebih jarang menderita hipertensi, diabetes, penyakit jantung, stroke, dan tidak merokok. Memiliki kadar hemoglobin dan limfosit lebih baik, serta kadar D-dimer lebih rendah (risiko pembekuan darah lebih rendah). Namun, pasien anosmia lebih sering batuk, sakit kepala, nyeri otot serta sendi.
Cindy Vitalino Mendonca dan kolega dari Departemen Otorhinolaringologi Rumah Sakit Umum Francisco Morato de Oliveira, São Paulo, Brasil, di Brazilian Journal of Otorhinolaryngology, 1 Januari 2021, melaporkan penelitian terhadap 261 pasien yang didiagnosis Covid-19 sepanjang Maret hingga Juni 2020.
Didapatkan, anosmia secara signifikan lebih banyak terjadi pada pasien gejala ringan. Gangguan indra penciuman berlangsung dari 9 hari hingga 2 bulan.
Temuan itu diperkuat dengan hasil penelitian multicenter internasional dari Health Outcome Predictive Evaluation for Covid-19 (HOPE) Registry. Penelitian dipimpin Jesús Porta-Etessam, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Complutense Madrid, Spanyol, yang juga Kepala Bagian Neurologi Rumah Sakit San Carlos, melibatkan banyak ahli dari 20 rumah sakit di berbagai wilayah di Spanyol, Italia, China, Cuba, dan Ekuador, kepada 5.868 pasien Covid-19.
Pasien yang melaporkan kehilangan indra penciuman mengalami penurunan risiko kematian lima kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak anosmia.
Hasil penelitian yang dimuat di jurnal Infection, 1 Maret 2021, menyimpulkan, anosmia merupakan faktor prognosis yang baik. Pasien yang melaporkan kehilangan indra penciuman mengalami penurunan risiko kematian lima kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak anosmia.
Penderita Covid-19 yang mengalami anosmia kini bisa bernapas lega. Dengan menjaga asupan gizi, tetap bersemangat, berjemur di pagi hari, bergerak serta minum obat yang diperlukan, virus akan segera luruh dan sehat kembali.