Meski merupakan gejala Covid-19 cukup ringan, gangguan saraf penciuman berupa anosmia dan parosmia bisa menurunkan kualitas hidup. Kabar baiknya, gangguan itu bisa berangsur hilang. Bagaimana caranya?
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Setelah sembuh dari Covid-19 yang salah satu gejalanya berupa anosmia, beberapa orang mengalami parosmia. Setidaknya hal itu dilaporkan di Inggris dan Amerika Serikat.
Anosmia adalah ketidakmampuan untuk mendeteksi sensasi penciuman. Sedangkan parosmia adalah distorsi atau persepsi pengalaman penciuman yang tidak menyenangkan terkait bau. Pada parosmia, begitu mereka mampu menghidu, bukan bau yang biasa mereka kenal yang tercium, melainkan bau menyimpang yang tak tertahankan.
Menurut Ketua Perhimpunan Ahli Telinga Hidung Tenggorokan Inggris, Nirmal Kumar, seperti dikutip Independent, 27 Desember 2020, virus penyebab Covid-19 mempengaruhi sel-sel saraf di pangkal hidung sehingga membuat saraf penciuman terganggu fungsinya. Fenomena itu umum terjadi pada kaum muda dan petugas kesehatan.
Salah satu pasien dari West Yorkshire, Inggris, menyatakan, tempat sampah kini berbau seperti belerang atau bau roti panggang. Pasien lain menyebutkan, kopi kegemarannya jadi berbau seperti bir dan bensin.
Sementara, seorang pasien di Minnesota, AS, mengaku sulit menikmati makanan di restoran favoritnya. Ia merasa, kini masakan ikan dan sayuran berbau busuk dan menjijikkan, sehingga membuat mual.
Meski tak mengancam jiwa, parosmia bisa menurunkan kualitas hidup. Penyimpangan bau yang terhidu membuat penderita merasa sakit secara fisik saat otak mendeteksi bau kuat yang tidak menyenangkan. Penderita juga kesulitan mengenali dan memperhatikan beberapa bau di lingkungan.
Parosmia setelah sembuh dari Covid-19 bukan hal aneh. Penelitian John E Hayes dari Departemen Ilmu Pangan, Pennsylvania State University, AS, dan kolega yang direspons 4.039 orang penderita Covid-19 dari berbagai negara mendapatkan, 7,77 persen mengaku mengalami parosmia. Laporan itu dimuat di jurnal Chemical Senses, Juni 2020.
Ada begitu banyak virus yang dapat menyebabkan gangguan penciuman, tidak hanya SARS-CoV-2, tetapi juga virus influenza dan rhinovirus (penyebab pilek).
“Ada begitu banyak virus yang dapat menyebabkan gangguan penciuman, tidak hanya SARS-CoV-2, tetapi juga virus influenza dan rhinovirus (penyebab pilek),” kata Zara M Patel, ahli bedah kepala dari Fakultas Kedokteran Universitas Stanford, AS, seperti dikutip Smithsonianmag.com, 21 September 2020.
“SARS-CoV-2 mengikat reseptor enzim pengubah angiotensin (ACE) di sel basal, sel pendukung, dan sel perivaskular di sekitar neuron (sel saraf) di epitel olfaktori (reseptor utama indra penciuman di pangkal hidung),” ujar Patel. Meski neuron tidak rusak, semua struktur pendukung di sekitarnya rusak. “Saraf tidak berfungsi dengan baik karena ada peradangan. Tidak mengherankan virus ini menyebabkan disfungsi penciuman.”
Kabar baiknya, sel-sel indra penciuman bisa pulih setelah rusak. Tetapi regenerasi perlu waktu dua tahun atau lebih.
Penelitian Pierre Bonfils dan kolega dari Laboratorium Penelitian Otorinolaringologi, Departemen Otorinolaringologi-Bedah Kepala dan Leher, Rumah Sakit Eropa Georges Pompidou, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Nasional Perancis, terhadap pasien parosmia, di Archives of Otolaryngology-Head & Neck Surgery, February 2005, mendapatkan, bau tidak enak umumnya dirasakan pada bensin, tembakau, parfum, kopi, dan cokelat.
Subyek penelitian adalah 56 pasien parosmia yang berobat di Klinik Otorinolaringologi, Rumah Sakit Eropa Georges Pompidou, Paris, sepanjang Oktober 2001-November 2003. Durasi rata-rata parosmia adalah 63 bulan. Penyebab utama adalah infeksi saluran pernapasan atas (42,8 persen pasien). Lebih dari setengah jumlah penderita menyatakan, gangguan penciuman sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka.
Penyebab sama disebut Rosella Ciurleo dan kolega dari Rumah Sakit dan Pusat Perawatan Saraf Bonino Pulejo, Messina, Italia, di Frontiers in Neurology, 9 November 2020. Selain itu, penyebab parosmia adalah trauma kepala, penyakit sinonasal (gangguan rongga hidung dan sinus), pengaruh zat beracun atau obat-obatan, serta epilepsi.
Menurut artikel di Healthline, 17 September 2018, penyebab lain, meski jarang, adalah tumor otak, atau merupakan tanda awal dari kondisi neurologis tertentu seperti penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson. Radiasi dan kemoterapi juga dapat menyebabkan parosmia.
Untuk mengatasi parosmia, jika gangguannya polip atau tumor, diperlukan pembedahan. Sedangkan parosmia akibat hal lain bisa diatasi dengan penjepit hidung untuk mencegah bau masuk ke hidung, konsumsi mineral seng, vitamin A, atau antibiotik jika penyebabnya infeksi bakteri. Penyimpangan penciuman akibat zat beracun, obat, radiasi, kemoterapi serta infeksi bisa berangsur pulih setelah paparan terhenti.
Terkait parosmia akibat Covid-19, AbScent – komunitas orang-orang yang kehilangan bau dan rasa akibat Covid-19 – merekomendasikan latihan penciuman. Yakni, menghirup minyak mawar, lemon, cengkih, dan kayu putih sekitar 20 detik setiap hari untuk mendapatkan kembali indra penciuman.