Richard Branson dan Jeff Bezos bukan saja membuka jalan bagi manusia untuk melanglang ke antariksa, tetapi juga untuk menyehatkan Bumi dengan pindah aktivitas ke ruang angkasa. Membuka koloni baru.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Sembilan hari setelah miliarder Richard Branson mengangkasa dengan Virgin SpaceShip Unity, giliran miliarder lain, yakni Jeff Bezos, Selasa (20/7/2021).
Pendiri Amazon.com itu sukses terbang ke ruang angkasa, menguatkan keterjangkauan antariksa bagi warga ”kebanyakan”. Kebanyakan yang dimaksud baru terbatas pada kriteria kemampuan fisik dan jiwa yang berbeda dengan antariksawan generasi awal tahun 1960-an yang umumnya berasal dari pilot pesawat tempur. Dalam kapsul Blue Origin yang ditumpangi Bezos, ada saudaranya, Mark; perempuan pilot Wally Funk (82); serta remaja lulusan SMA, Oliver Daemen (18).
Selebihnya wisata angkasa—setidaknya saat ini—masih terbatas bagi kalangan eksklusif. Ongkos sekali terbang 28 juta dollar AS atau sekitar Rp 392 miliar (Kompas, 21/7/2021).
Diproyeksikan dengan situasi dan kondisi Tanah Air, penerbangan Branson dan Bezos bisa menjadi satu paradoks superironis. Seseorang mengeluarkan dana Rp 392 miliar untuk wisata berdurasi sekitar 10 menit, betapa pun spektakuler destinasinya. Pada saat yang sama, di negara kita, tak sedikit warga yang harus bergulat untuk mendapatkan 2 dollar AS atau sekitar Rp 30.000 setiap hari demi menyambung hidup.
Ironi lebih terasa jika kita kontraskan aktivitas turisme angkasa dengan kondisi penanggulangan pandemi yang masih tersuruk di negara kita, yang oleh media asing justru disebut sebagai episenter Covid-19. Semoga kita bisa menyikapi kontras ini dengan arif.
Kemajuan memang diperuntukkan bagi mereka yang punya visi jauh ke depan, bekerja keras untuk mencapai tujuan masa depan, dan mengatasi berbagai remeh-temeh perpolitikan. Tentu kita masygul, menjelang 76 tahun merdeka, masih terus berkubang dalam masalah kebutuhan dasar, permasalahan dasar pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Sosok Richard Branson dan Jeff Bezos bukan saja membuka jalan bagi manusia untuk melanglang ke antariksa, melainkan tak berhenti di situ. Dalam visi mereka, ikhtiar itu ditujukan untuk menyehatkan Bumi dengan pindah aktivitas ke ruang angkasa. Membuka koloni baru jika Bumi tak layak huni lagi.
Dengan keberhasilan menerobos antariksa, yang disebut sebagai ”perbatasan terakhir” (the last frontier), mereka sudah berinvestasi banyak untuk riset keantariksaan, membuat roket peluncur yang andal, menguasai teknis penerbangan antariksa berawak, meluncurkan manusia ke ruang angkasa dan membawanya kembali ke Bumi dengan aman, serta tentu punya pikiran untuk menambang berbagai industri kompetitif lain. Ada sejumlah material unggul, misalnya untuk farmasi, yang bisa dibuat murni jika diramu di kondisi tanpa gravitasi.
Ketinggalan satu-dua abad ini yang harus menjadi kerisauan kita. Apa boleh buat, sekarang kita sedang mengerahkan segenap akal budi untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Ketika seusai pandemi, kita jangan abai terhadap berbagai pekerjaan rumah di pundak jika ingin menjadi bangsa yang besar seperti jargon yang sering kita kumandangkan.