Melunasi Utang Karma
Kakekku agak berbeda. Ia selalu bilang, ”Jangan pernah makan penyu. Kamu akan makan karmamu sendiri.."
I Wayan Tirta (78 ) secara turun-temurun mewarisi watak pemburu penyu dari kakek buyutnya. Bersama puluhan nelayan lain di Desa Perancak, Jembrana, Bali, ia spesialis menjadi nelayan penangkap penyu sampai ke Alas Purwo, wilayah di ujung timur Pulau Jawa, yang dipisahkan oleh Selat Bali. Sekali melaut, dalam seminggu Tirta bisa menangkap 5-10 ekor penyu berukuran besar. Pendek kata, hidupnya cukup sejahtera karena penyu.
Selain menjualnya ke Denpasar, sebagai daerah pengonsumsi penyu paling besar di Bali, orang-orang di Desa Perancak juga acap kali menjadikan daging penyu sebagai santapan sehari-hari. Sate penyu jauh lebih digemari dibandingkan dengan sate babi. Dulu, waktu aku kecil, banyak orang kalau kangen sate penyu, pasti pergi ke Perancak. Sampai tahun 1980-an, akses paling mudah mencapai Desa Perancak dari kota Negara, dengan bersampan di sepanjang Sungai Ijogading.
Kakekku agak berbeda. Ia selalu bilang, ”Jangan pernah makan penyu. Kamu akan makan karmamu sendiri.”
Aku ingat setiap hari raya Galungan di desa ini juga sering kali digelar perlombaan motokros. Kami para remaja tanggung, yang mulai gemar naik motor, kemudian beramai-ramai ke Perancak dengan menggunakan sampan milik Kakek. Tentu, tak lupa kami selalu menyantap sate penyu yang aromanya menyebar di antara para pengunjung arena balap motor itu.
Kakekku agak berbeda. Ia selalu bilang, ”Jangan pernah makan penyu. Kamu akan makan karmamu sendiri.” Kakek selalu mengatakan itu setiap kami menjaring ikan di sungai. Entah mengapa, dari banyak cucunya, Kakek selalu mengajak aku menelisik Sungai Ijogading sampai ke muara untuk menjaring ikan jerejet (belanak) atau bandeng. Mungkin karena dua jenis ikan ini suka hidup berkelompok, maka sekali tangkap bisa mendapat puluhan ekor. Kami cukup merentang jaring melintang lebar sungai, lalu memukul-mukul permukaan air, niscaya dalam lima menit ikan-ikan sudah tersangkut di jaring kami.
Kepada Kakek aku pernah bertanya.
”Mengapa tak boleh makan penyu?”
”Penyu itu empas, dia yang menyelamatkan…,” jawab Kakek pendek.
”Maksudnya?”
”Bumimu pasti sudah tenggelam tanpa empas.”
”Karena banjir?”
”Nanti Kakek ceritakan…. Sekarang gulung jaringnya,” ujar Kakek.
”Manusianya gimana Kek?” tanyaku penasaran.
Kakek tak pernah menceritakan secara utuh tentang empas karena dia sibuk mengurus kebun kelapanya di Desa Tuwed, kira-kira 10 kilometer dari Negara. Suatu hari, seorang guru agama kebetulan bercerita tentang awatara, utusan Tuhan untuk menyelamatkan dunia. Dia menyinggung soal bedawang nala, yang tak lain seekor kura-kura besar. Katanya, pada zaman Satyayuga para dewa dan raksasa saling berlomba mencari air suci, Tirta Amerta di dasar lautan.
Apakah ini hanya sebuah kisah seperti dongeng nenek atau ajaran yang berisi tuntunan moral hidup manusia?
Bhatara Baruna, penguasa laut, mengizinkan puncak Gunung Mahameru digunakan sebagai tongkat pengaduk samudera. ”Agar puncak gunung tidak tenggelam, dimintalah bedawang nala yang menyangganya, kemudian sebagai tali pengikatnya naga Anantaboga dan naga Besuki,” kata guru itu.
”Apakah Mahameru itu maksudnya Bumi?” tanyaku penasaran.
Semua mata tiba-tiba mengarah kepadaku. Mungkin mereka merasa terganggu oleh ulahku. Bahkan, ada yang setengah berteriak berkata, ”Makanya dengerin….”
Guru agama itu berkata pelan, ”Bertanya bagus, tetapi mari dengarkan dulu kisahnya.” Aku menahan rasa penasaran yang meledak-ledak di kepalaku. Apakah kisah empas berhubungan dengan kisah bedawang nala yang sedang dikisahkan guru agamaku? Apakah ini hanya sebuah kisah seperti dongeng nenek atau ajaran yang berisi tuntunan moral hidup manusia?
Ketika semua pertanyaan itu seakan-akan meletus di kepalaku, guru agama itu berkata pelan lagi, ”Empas itu bernama Kurma Awatara, utusan Tuhan yang menyelamatkan Bumi dari ancaman banjir besar. Kalau tidak disangga oleh empas atau kurma, mungkin Bumi sudah tenggelam. Saya dan kalian semua, termasuk kamu, tidak mungkin ada dunia ini,” katanya sembari menunjuk kepadaku.
”Jadi Kurma itu Bumi?” Aku balik bertanya.
”Kurma itu, kura-kura raksasa, empas atau penyu, yang kemudian menjadi bedawang nala. Itu yang menjadi dasar dari bangunan suci bernama Padmasana, di mana kita memuja kebesaran Tuhan setiap waktu,” kata guru agama itu.
Baca juga: Menjaga Penyu, Menjaga Kehidupan
Ajaran ini, kata I Komang Gunawan (51), menjadi salah satu yang membuat ayahnya, I Wayan Tirta, bertobat. Segarang-garangnya pembantai, kata Gunawan, pasti bertekuk lutut di bawah sendi-sendi ajaran kebenaran. Bedawang nala yang tak lain adalah penyu, menjadi fondasi peletakan bangunan suci bernama Padmasana, di mana umat Hindu memuja kebesaran Tuhan.
”Dasar dari semua persembahan itu selalu kekokohan hati dan pikiran,” tutur Bapak. Setelah mendengar kisah di sekolah, aku mencoba cari tahu tentang Padmasana dari Bapak. Tambah Bapak, Padmasana sebenarnya sikap meditasi sempurna seseorang sebelum melakukan pemujaan kepada Tuhan. Ketika ia berada dalam sikap itu, tambah Bapak, ia akan siap menggapai singgasana Tuhan. ”Makanya pada bagian atas Padmasana bentuknya menyerupai singgasana, di mana kita bisa ’menghadirkan Tuhan’ sebagai manifestasi Sang Pencipta,” ujar Bapak.
Jika kemudian I Wayan Tirta serta puluhan nelayan penangkap penyu bertobat pada tahun 1997, kata Gunawan, itu benar-benar dimulai dari kesadaran tentang karma. ”Bapak merasa telah berdosa, selama ini secara turun-temurun membantai penyu. Padahal, penyu itu justru menjadi penyelamat kita, sumber dari kepercayaan kita kepada Tuhan,” ujar Gunawan.
Selain disadarkan oleh ajaran kebenaran, sesungguhnya sekitar tahun 1980, Tirta dan kawan-kawan pernah ditangkap polisi ketika menjual penyu ke Denpasar. Saat itu, kata Gunawan, para nelayan dari Perancak sempat mendekam beberapa waktu di penjara. ”Jadi, Bapak saya dapat uang dan penjara karena penyu. Karmanya bekerja sangat cepat,” ujar Gunawan.
Baca juga: Berziarah ke Pikiran Bapak
Sebagaimana banyak orang Bali, Tirta sangat percaya kepada hukum karma. Perbuatan membantai penyu yang telah ia lakoni selama puluhan tahun, akhirnya ”berbuah” hukuman penjara. ”Sejak itu bapak saya tobat dan berjanji menjadi penyelamat penyu sebagai jalan melunasi utang dosanya,” tambah Gunawan.
Sayang sekali, siang itu aku tak sempat bertemu dengan Tirta. Menurut Gunawan, ayahnya sedang bepergian ke suatu tempat untuk berkampanye menyelamatkan penyu. Sampai sekarang Tirta rajin mendatangi warga di sekitar pesisir selatan Kabupaten Jembrana agar tidak mengonsumsi telur penyu. ”Bapak selalu minta agar telur-telur penyu diserahkan kepada Kurma Asih, nanti kami akan beri semacam imbal jasa,” kata Gunawan.
Para nelayan yang tadinya menjadi pemburu penyu, seratus persen berbalik menjadi pelestari.
Sejarah Kurma Asih mencatat, pada 6 Juni 1997, Tirta bersama sekelompok nelayan melakukan penyelamatan pertama terhadap sarang penyu di Perancak. Waktu itu, kata Gunawan, para nelayan yang dipimpin ayahnya, berhasil mengambil sekitar 150 butir telur penyu. Telur-telur itu kemudian diperam di sepetak lahan pasir di dekat pantai dan diawasi terus-menerus. Penyelamatan telur itulah yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kelompok Pelestari Penyu (KPP) Kurma Asih di Desa Perancak.
Simak video: Menyelematkan Ribuan Telur Penyu
Para nelayan yang tadinya menjadi pemburu penyu, seratus persen berbalik menjadi pelestari. Kurma Asih sendiri, kata Gunawan, berarti penyayang penyu. ”Bapak saya bilang, dia ingin melunasi utang karmanya. Kalau dulu dia dan kakek buyutnya menjadi pembantai penyu, kini menjadi penyayang penyu,” tutur Gunawan.
Sebagai nelayan Tirta dan kelompoknya yakin, laut tetap menjadi sumber hidup. Sumber hidup mereka yang hilang, karena tidak lagi menangkap dan menjual penyu, dengan cepat tergantikan sumber lain yang asalnya juga dari lautan.
”Intinya kami tidak lagi menjadikan penyu sebagai sumber nafkah. Di pesisir seperti Perancak masih banyak cara lain untuk hidup,” kata Gunawan, yang kini sehari-hari mengurus KPP Kurma Asih. Sebagian besar, katanya, para nelayan penangkap penyu, kembali menjadi nelayan, tetapi menangkap ikan atau mencari kepiting dan udang di sekitar hutan bakau dekat desa.
Sejak penyelamatan sarang penyu pertama, Kurma Asih terus-menerus mengedukasi masyarakat di pesisir selatan, agar tidak mengonsumsi telur penyu yang mereka ”temukan” di sepanjang pantai. Para nelayan Kurma Asih, bahkan secara aktif mendatangi sarang-sarang penyu untuk kemudian memindahkan telur-telur ke petak pemeraman.
Baca juga: Penyu Hijau Sitaan dan Tukik Penyu Lekang Dilepaskan di Pantai Sindu
Sampai kini, kata Gunawan, setidaknya telah dilepas 500.000 ekor tukik (anak penyu) setelah berhasil ditetaskan di dalam pasir. Pada akhir Juni 2021, di petak-petak pasir Kurma Asih terdapat ratusan lubang yang berisi antara 100-150 butir telur. ”Paling baik kalau tukik-tukik sudah lahir langsung dikembalikan ke laut. Nalurinya masih murni, tukik akan langsung mengenali habitatnya. Begitu dengar suara ombak saja mereka langsung bergerak ke arah laut,” tutur Gunawan.
Karma para nelayan di Perancak selama hampir 25 tahun terakhir, mendapatkan dukungan dari masyarakat di pesisir. Perlahan-perlahan banyak warga sekitar menjadi ”pengadopsi” telur. Nama-nama mereka ditulis di sebuah tongkat bambu lalu ditancapkan di atas pasir di mana telur penyu diperam. Bahkan, di antara nama-nama itu, terdapat beberapa nama orang asing yang berdonasi untuk kelahiran para tukik nanti.
Menurut Gunawan, penyu memang harus dilindungi karena kelangkaannya. Jika ia berhasil menetaskan 1.000 butir telur, hanya terdapat kemungkinan 1 ekor yang hidup sebagai penyu dewasa. Banyak faktor di lautan yang membuat penyu tak bisa bertahan, terutama dimangsa oleh para predator.
”Oleh sebab itu, banyak orang menangis ketika melepas tukik karena kemungkinan hidupnya sangat kecil. Nanti kalau ada yang berhasil hidup, 25 tahun kemudian dia akan kembali untuk bertelur di pantai di mana ia dilepas,” katanya.
Begitulah watak penyu. Ia menjadi salah satu makhluk istimewa sebagai penghuni Bumi. Oleh sebab itu, jika mitologi di seputar binatang ini kemudian ditulis dalam ajaran moral dan diceritakan turun-temurun, pastilah dalam rangka menghindarkannya dari kepunahan. Beruntung orang-orang seperti Tirta dan anggota kelompok nelayan Kurma Asih, kini menjadi garda depan bagi pelestarian penyu.
Jadi pikir-pikir kalau ingin mengonsumsi daging penyu, jangan sampai seperti kata Kakekku, ”Kamu akan makan karmamu sendiri…”. Lalu butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar melunasi utang karma itu, bahkan sampai pada kehidupanmu kelak di kemudian hari. Begitulah cara kerja hukum karma.
Baca juga: Meningkatkan Kebanggaan Penyu Singgah di Kepulauan Nusantara