Pandemi Covid-19 yang belum juga jelas kapan akan berakhir sangat signifikan menghadirkan perasaan kesepian dan kecemasan. Pandemi juga mengganggu pemenuhan kebutuhan akan keterhubungan atau relasi dengan orang lain.
Oleh
Oleh Kristi Poerwandari
·4 menit baca
Saya tertegun membaca ”Cara Jepang Menekan Kasus Bunuh Diri” (Kompas, 28 Mei 2021). Intinya, Jepang bisa disebut berhasil mencegah meluasnya infeksi Covid-19, tapi menghadapi tantangan besar terkait soal kesepian, kecemasan, dan keterhubungan.
Di tahun 2020, jumlah kematian di Jepang akibat bunuh diri berkali-kali lipat lebih tinggi daripada jumlah kematian akibat infeksi Covid-19. Sedemikian rupa persoalan di atas menjadi masalah besar dan darurat, hingga ada kementerian yang bertugas mengurus bagaimana negara dapat mengatasi kesepian penduduknya.
Saya jadi merenung mengenai kita di Indonesia. Penghayatan akan kesepian dan kecemasan di masyarakat kita mungkin tidak setinggi di Jepang. Akan tetapi, bagaimanapun pandemi Covid-19 yang belum juga jelas kapan akan berakhir sangat signifikan menghadirkan perasaan kesepian dan kecemasan.
Anak-anak muda cemas apakah akan memperoleh pekerjaan, yang telah mendapat pekerjaan cemas apakah akan dapat mempertahankan pekerjaannya dan meningkatkan karir. Yang harus bertanggung jawab menafkahi keluarga juga cemas mengenai keamanan mata pencariannya.
Syukur bahwa ada cukup banyak yang tidak tinggal sendiri, dan anak-anak muda yang sebelumnya kos di dekat kampusnya, karena kebijakan pendidikan jarak jauh dapat kembali ke keluarganya. Di satu sisi mungkin ada keluhan berkurangnya kebebasan atau otonomi. Di sisi lain, tinggal berdekatan dengan orang lain itu mengurangi risiko kesepian.
Menjalin relasi
Relasi atau hubungan dengan orang lain itu adalah salah satu kebutuhan psikologis dasar manusia. Hadirnya internet sudah cukup mengganggu pemenuhan kebutuhan ini karena pertemuan tatap muka sudah amat jauh berkurang, digantikan pertemuan di dunia maya.
Bagaimanapun, pertemuan-pertemuan di dunia nyata masih ada. Orang berekreasi bersama, berjanji bertemu untuk makan bersama, rapat menyelesaikan pekerjaan, atau untuk sekadar mengobrol.
Pandemi betul-betul mengganggu pemenuhan kebutuhan akan keterhubungan. Yang tinggal sendiri, atau tinggal bersama orang lain tetapi dalam hubungan yang buruk dengan orang lain itu, mungkin menghayati kesepian dan rasa kosong.
Meski kecemasan banyak terkait dengan faktor ekonomi, kesempatan untuk banyak bertemu dan mengobrol hati ke hati dengan orang lain diperkirakan akan membantu mengatasi kecemasan. Karena biasanya orang akan lebih cemas ketika merasa sendiri, tidak memiliki orang lain yang dapat diajak bertukar pikiran.
Pandemi mengganggu pemenuhan kebutuhan akan keterhubungan. Yang tinggal sendiri, atau tinggal bersama orang lain tapi dalam relasi buruk dengan orang itu, mungkin menghayati kesepian.
Akan baik bila masing-masing individu dapat memastikan tetap dapat menjalin relasi dengan orang lain. Meski demikian, dengan kondisi yang sangat tidak ideal seperti sekarang, tampaknya juga perlu ada langkah-langkah strategis yang sifatnya kolektif bahkan di tingkat kebijakan.
Pemerintah, para pemimpin lembaga pendidikan, dan pemimpin organisasi sangat perlu memikirkan bagaimana mengatasi hilangnya hubungan, serta menciptakan kembali keterhubungan. Perlu ada langkah-langkah yang bersifat preventif, ada pula yang sifatnya sudah intervensi.
Karena kondisi pandemi, semuanya masih lebih banyak melalui dunia maya. Tentu program lewat internet memiliki keterbatasannya, tetapi hal itu masih lebih baik daripada tidak ada program sama sekali.
Di Jepang mulai ada yang menggagas forum perbincangan dunia maya, yang diberi nama ”Anata no Ibasho” (Tempat Untukmu). Ada relawan-relawan awam dan profesional yang membantu mendengarkan curhat (curahan hati) mereka yang mampir ke forum ini. Agar berlangsung efektif dan juga memenuhi sasaran, perlu dipikirkan bagaimana mekanismenya.
Untuk yang sifatnya sudah intervensi, sebenarnya saat ini sudah dilaksanakan. Sesi-sesi konseling individual telah banyak berjalan secara online. Namun, tampaknya perlu ada evaluasi mengenai efektivitasnya dan bagaimana menyempurnakannya agar lebih sesuai dengan kebutuhan. Juga, perlu dipikirkan sesi-sesi kelompok yang sifatnya suportif, yang lebih bersifat jemput bola daripada sekadar menunggu.
Tantangan anak muda
Pada remaja dan anak muda, ada tantangan yang lebih khusus. Perasaan sepi dan kosong sesungguhnya dapat jauh berkurang bila memiliki hubungan berkualitas dengan keluarga atau orang terdekat.
Meski demikian, sesuai dengan tugas perkembangan karakteristik usianya, juga ada kebutuhan menjalin relasi yang lebih bersifat romantis. Selain itu, ada dorongan seksual yang harus dikelola.
Ada cukup banyak anak muda yang bingung mengenai hal itu dan menyangka akan dapat mengatasi kekosongan dan kesepiannya dengan berkencan dan masuk ke dalam hubungan seksual terlalu cepat. Apalagi, saat ini ada aplikasi kencan yang sangat memudahkan orang muda untuk dapat saling bertemu sebagai pasangan kencan.
Kenyataannya, hal itu dapat muncul masalah-masalah baru. Ada yang menggunakan aplikasi kencan untuk mencari pacar serius tetapi bertemu dengan pasangan kencan yang ternyata hanya berpikir mengenai hubungan seksual sesaat. Bukan tidak mungkin yang dialami justru kekerasan dan trauma seksual.
Ada pula yang atas kesadaran sendiri terlibat dalam hubungan seksual sesaat, tetapi hal tersebut justru membuatnya merasa makin kosong, berkonflik, dan tidak jelas arah.
Dengan persoalan di atas, forum-forum untuk remaja atau orang muda juga akan baik bila dapat membahas persoalan hubungan romantis dan seksualitas. Hal itu bertujuan untuk membantu orang muda memahami diri dengan lebih baik dan mengelola situasinya secara sehat, sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini, dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya saya ingin mengingatkan diri sendiri dan kita semua bahwa tetap ada orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap internet. Atau tetap ada masalah-masalah sangat serius dan darurat yang tidak dapat ditangani lewat pertemuan Zoom.
Semoga kondisi sekarang tidak membuat kita ”mager” (malas bergerak) dan tetap ada program-program kesehatan mental yang sifatnya tatap muka langsung bagi mereka yang sungguh memerlukan.