Pandemi Covid-19 belum selesai. Penanganannya tak cukup dengan pembatasan lalu lintas internasional serta penerapan ketat protokol kesehatan. Faktor vaksin turut memegang peran yang krusial.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Vaksin menjadi salah satu komponen penting dalam penanganan pandemi Covid-19. Keberadaannya dinilai mampu menggerakkan perekonomian.
Pandemi Covid-19 memukul perekonomian, antara lain karena aktivitas warga harus dibatasi guna menekan penularannya. Penyebarluasan Covid-19 yang tak terkendali terbukti membuat layanan kesehatan ambruk dan berujung pada meningkatnya angka kematian. Kasus di India menjadi contoh jelas. Saat protokol kesehatan diabaikan dalam kegiatan politik dan keagamaan, penularan pun tak terkendali.
Meski tak menjamin tidak terjadi penularan, pemberian vaksin dilihat dapat menekan tingkat keparahan pada orang yang terinfeksi. Selain itu, tentu dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, vaksin meningkatkan kepercayaan warga beraktivitas sehingga mendorong kembali perekonomian.
Kesadaran ini pula yang kini menghinggapi pemimpin politik dan bisnis di Taiwan, wilayah yang oleh Beijing ditegaskan sebagai bagian dari China. Dilaporkan Kompas edisi 27 Mei 2021, Taiwan menghadapi lonjakan kasus positif Covid-19 setelah tahun lalu dipandang berhasil menangani pandemi. Hanya dalam empat pekan terakhir terjadi tambahan 4.918 kasus penularan lokal. Menurut worldometers, pada 27 Mei ada 5.569 kasus aktif di Taiwan. Padahal, pada tahun lalu, jumlah kasus aktif terbanyak ialah 311.
Dilaporkan Nikkei Asia, para pemimpin perusahaan elektronik Taiwan berupaya mendatangkan vaksin. Mereka akan mengambil 10 persen dari vaksin yang diperoleh itu untuk karyawan dan sisanya, 90 persen, bagi warga umum. Namun, ini tak mudah karena vaksin harus didatangkan otoritas pusat dengan pengawasan ketat. Para pemimpin perusahaan di Taiwan tampak cemas karena jumlah kasus yang meningkat tajam dikhawatirkan membuat ekonomi melambat.
Pemimpin politik di Taiwan juga berupaya mendatangkan vaksin, antara lain lewat perusahaan Pfizer-BioNTech. Namun, upaya mendatangkannya secara langsung dari perusahaan itu gagal. Presiden Tsai Ing-wen lantas menuduh China berada di balik kegagalan ini. Taiwan memang enggan mengambil vaksin Pfizer-BioNTech lewat perpanjangan tangan perusahaan itu—Shanghai Fosun Pharmaceutical Group yang berbasis di China—dengan pertimbangan keamanan. Niat China memberikan bantuan vaksin kepada Taiwan juga ditolak Taipei.
Meski unggul dalam aspek lainnya, Taiwan tergolong terlambat dalam vaksinasi. Menurut Bloomberg, per 27 Mei, baru 325.000 dosis diberikan di Taiwan (cukup untuk 0,7 persen populasi), sementara di AS sebanyak 291 juta dosis (45,3 persen), di China 567 juta dosis (20,2 persen), dan di Indonesia 26,3 juta dosis (4,9 persen). Di tengah keterbatasan suplai vaksin global dan praktik mengutamakan vaksin bagi dalam negeri, tak mudah bagi Taiwan untuk memenuhi kebutuhan vaksin.
Pandemi belum selesai. Penanganannya terbukti tak cukup dengan pembatasan lalu lintas internasional serta penerapan ketat protokol kesehatan. Faktor vaksin memegang peran yang krusial, terutama untuk memulihkan perekonomian.