Dunia menanti hasil KTT Perubahan Iklim yang berlangsung pada 22-23 April 2021. Hal yang ditunggu terutama adalah langkah konkret Amerika Serikat dan China, dua negara penyumbang terbesar emisi karbon dunia.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Harapan baru untuk menahan laju perubahan iklim berembus dari Amerika Serikat. Di bawah pemerintahan Joe Biden, AS kembali bergabung dalam Kesepakatan Paris 2015 untuk menurunkan emisi karbon global.
AS juga berkomitmen bersama China melakukan upaya nyata menghadapi krisis iklim. China merupakan negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, disusul AS. Dua negara raksasa tersebut menyumbang hampir separuh emisi karbon dunia.
Tahun 2017, di masa Donald Trump, AS sempat menarik diri dari kesepakatan internasional itu. Trump yang mendukung industri batubara beranggapan, kesepakatan untuk menekan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri dan membatasi peningkatan suhu pada 1,5 derajat celsius merugikan ekonomi AS.
Perubahan iklim dipicu oleh aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak dan batubara. Hal ini meningkatkan gas rumah kaca yang memerangkap panas di atmosfer bumi sehingga terjadi pemanasan global. Pada Desember 2020, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan, suhu bumi sudah naik 1,2 derajat celsius dibandingkan era pra-industri.
Perubahan iklim serta pemanasan global meningkatkan badai, curah hujan, banjir, kemarau panjang dan kekeringan, kebakaran hutan, dan pencairan es.
Temuan dari penelitian cuaca ekstrem tahun 2018 yang dipublikasikan di Bulletin of the American Meteorological Society menunjukkan peningkatan intensitas dan frekuensi gelombang panas di Asia timur laut serta Eropa Selatan pada tahun itu. Sebaliknya, terjadi cuaca dingin ekstrem di bagian bumi lain, seperti di Inggris. Perubahan iklim serta pemanasan global juga meningkatkan badai, curah hujan, banjir, kemarau panjang dan kekeringan, kebakaran hutan, sdan pencairan es yang pada gilirannya menambah tinggi muka laut sehingga menenggelamkan pulau-pulau kecil dan daratan yang rendah.
Untuk mencegah kerusakan bumi lebih jauh, ditetapkan target penurunan emisi karbon tahun 2030 sebesar 40 persen. Sejumlah negara, terutama di Eropa, menetapkan target lebih ambisius, 60 persen.
Menilik hal itu, target penurunan emisi karbon Indonesia yang 29 persen pada 2030 terasa rendah. Untuk mencapai itu pun Indonesia harus berjuang sangat keras mencegah deforestasi dan kebakaran hutan serta lahan.
Indonesia juga masih bergantung pada minyak dan batubara untuk memenuhi kebutuhan energi. Pengembangan energi terbarukan masih jauh dari harapan. Penggunaan batubara masih sangat jamak, limbahnya sangat mengganggu penduduk di sekitar pembangkit listrik tenaga uap. Karena itu, Indonesia harus mempercepat transisi menuju pembangunan rendah karbon. Hal itu penting dan mendesak untuk mencegah berbagai bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor, dan kekeringan) serta kebakaran hutan yang terus mendera.
Presiden AS Joe Biden telah mengundang 40 kepala negara, termasuk Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim, 22-23 April 2021. Pertemuan virtual yang diselenggarakan pada Hari Bumi itu juga akan dihadiri Presiden RI Joko Widodo. Dunia berharap KTT bisa menghasilkan langkah lebih konkret untuk mencapai target penurunan emisi karbon dan melindungi bumi, tempat kita hidup bersama.