Meski berseteru di sejumlah front persaingan, AS-China menjalin komitmen sama dalam upaya menangani perubahan iklim. Pemimpin kedua negara akan bertemu dalam KTT Perubahan Iklim secara virtual yang digelar oleh AS.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
BEIJING, RABU — Presiden China Xi Jinping akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atas undangan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Kamis (22/4/2021) waktu AS. Acara virtual ini bakal menjadi pertemuan pertama kedua kepala negara tersebut sejak Biden dilantik menjadi Presiden AS, Januari lalu, sekaligus ajang yang mempertemukan kedua negara dalam kepentingan bersama.
Biden telah mengundang 40 kepala negara, termasuk Xi dan Presiden Rusia Vladimir Putin, untuk menghadiri KTT Iklim. Pertemuan virtual ini digelar bertepatan dengan Hari Bumi. Di bawah pemerintahan Biden, AS kembali bergabung dalam Kesepakatan Paris 2015 untuk menurunkan emisi karbon global. Washington sempat keluar dari kesepakatan itu pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump.
Menurut Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Xi, menurut rencana bergabung dalam KTT tersebut melalui video dan bakal menyampaikan pidato ”penting”.
Selama ini, Beijing dan Washington telah berselisih dalam banyak isu, mulai dari tuduhan pelanggaran hak asasi manusia hingga pengaruh ekonomi China terhadap negara lain. Bulan lalu, di Alaska, AS, para pejabat AS dan China menggelar pertemuan langsung yang tidak menghasilkan terobosan diplomatik apa pun.
Akan tetapi, kedua negara yang merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia itu telah menemukan kepentingan bersama, yaitu menghadapi perubahan iklim.
Pekan lalu, Utusan Khusus AS untuk Perubahan Iklim John Kerry melakukan kunjungan ke Shanghai guna bertemu dengan Utusan China untuk Perubahan Iklim Xie Zhenhua. Ini sekaligus menjadi kunjungan resmi pertama pejabat teras pemerintahan Biden ke China. Dari kunjungan itu, kedua negara menyepakati aksi nyata untuk mengurangi emisi ”pada tahun 2020-an”.
Kerry dan Xie mengatakan, mereka ”berkomitmen bekerja sama” menghadapi krisis iklim meski ketegangan kedua negara dalam berbagai bidang tetap tinggi.
Pembicaraan tersebut juga menandai dimulainya kembali dialog iklim yang terhenti pada era pemerintahan Presiden Donald Trump yang justru menarik diri dari Kesepakatan Paris. Tidak akan ada solusi global menghadapi perubahan iklim tanpa melibatkan AS dan China karena kombinasi kedua raksasa ekonomi ini menyumbang hampir separuh emisi karbon dunia.
Biden telah menjadikan langkah menghadapi perubahan iklim sebagai salah satu prioritas utama kebijakannya. Ia berkomitmen menahan kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat celsius dibandingkan dengan masa praindustri dengan kembali bergabung dalam Kesepakatan Paris 2015. Keputusan Biden membalikkan langkah Presiden Trump yang dekat dengan kalangan industri bahan bakar fosil dan membawa AS keluar dari kesepakatan itu.
Sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, China juga telah berjanji untuk mencapai puncak emisi pada 2030 sebelum kemudian menurunkan emisi karbonnya dan menjadi negara netral karbon 30 tahun kemudian.
Kesepakatan UE
Sementara itu, Uni Eropa mencapai kesepakatan iklim sementara yang akan menjadikan 27 negara anggotanya netral karbon pada 2050. ”Komitmen politik kami untuk menjadi benua netral karbon pertama tahun 2050 juga menjadi komitmen legal. Undang-undang iklim membawa UE ke dalam jalur hijau bagi generasi yang akan datang,” kata Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Rabu (21/4).
Melalui kesepakatan itu, UE juga dalam jangka menengah berkomitmen memangkas emisi gas rumah kaca minimal 55 persen pada tahun 2030 dibandingkan dengan kondisi 1990.
”Ini adalah waktu yang tepat karena Eropa harus menunjukkan sikapnya, mengingat perkembangan yang positif di AS dan China,” kata anggota Parlemen Eropa, Peter Liese.
Target penurunan emisi karbon tahun 2030 sebenarnya adalah 40 persen. Namun, dengan adanya tekanan bukti-bukti perubahan iklim dan pemilih Eropa yang lebih sadar lingkungan, Parlemen Eropa ingin target penurunan emisi karbon sebesar 60 persen.
Untuk mencapai target yang disepakati—dan disebut-sebut sebagai ”pengubah situasi sulit (game changer)”—itu, para pemimpin negara-negara UE dihadapkan tantangan tidak mudah. Salah satunya adalah reformasi legislasi dalam banyak hal, mulai dari transportasi hingga pajak energi, agar dapat mencerminkan pergeseran menuju masa depan ramah iklim.
Sebelumnya, pada awal pekan ini, BBC melaporkan, Inggris juga mengumumkan rencana radikalnya untuk menurunkan emisi karbon 78 persen pada 2035 meski para aktivis lingkungan memperingatkan bahwa Pemerintah Inggris terus gagal mencapai target sebelumnya yang ditetapkan oleh Komite Perubahan Iklim (CCC) yang independen.
Untuk mencapai target itu, akan dibutuhkan lebih banyak mobil listrik, pemanas rendah karbon, listrik terbarukan, serta langkah banyak orang mengurangi konsumsi daging dan produk susu. Selain itu, untuk pertama kalinya, undang-undang itu akan berlaku juga bagi penerbangan dan pelayaran internasional. (REUTERS/AFP/AP)