Perkembangan sejumlah ibu kota provinsi di kawasan timur Indonesia membuat teluk sebagai bentang alam tempat tumbuhnya kota-kota itu rusak parah.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Penelusuran tim Kompas sejak akhir Maret hingga pertengahan April 2021 mengungkap fakta kerusakan teluk-teluk tersebut akibat sedimentasi, timbunan sampah, hingga reklamasi. Kerusakan teluk itu berdampak terhadap terganggunya aktivitas nelayan, pelayaran, hingga penanganan bencana.
Teluk-teluk dengan kondisi memprihatinkan itu meliputi Teluk Kendari di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Teluk Palu di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Teluk Manado di Kota Manado, Sulawesi Utara, Teluk Ambon di Kota Ambon, Maluku, serta Teluk Youtefa dan Teluk Yos Sudarso (Humboldt) di Kota Jayapura, Papua.
Selain kerusakan ekosistem perairan di teluk, warga pesisir kini menghadapi bencana baru, yakni banjir rob yang makin sering terjadi.
Sebagai contoh, laju sedimentasi di Teluk Ambon diperkirakan lebih dari 5 hektar setiap tahun. Sedimentasi itu mayoritas disebabkan proyek reklamasi. Selain kerusakan ekosistem perairan di teluk, warga pesisir kini menghadapi bencana baru, yakni banjir rob yang makin sering terjadi.
Menurut data LIPI pada 1994, citra satelit merekam luas sedimentasi di Teluk Ambon seluas 102,56 hektar. Tahun 2007, citra satelit merekam lagi dan tercatat sedimentasi meluas jadi 168,13 hektar. Artinya, selama 13 tahun, rata-rata sedimentasi bertambah 5,43 hektar per tahun. Data 2007 itu yang terakhir dimiliki LIPI (Kompas, 12/4/2021).
Dampak lingkungan yang terjadi, banyak biota laut hilang atau bermigrasi. Para nelayan pun menjadi semakin jauh mencari ikan karena di area teluk yang dulunya banyak ikan, kini makin langka ikan. Selain itu, air laut bergerak mencari titik terendah. Tak pelak, perkampungan di pesisir pantai makin sering dilanda banjir rob. Selain karena tekanan sedimentasi, banjir rob juga diperparah kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global.
Fenomena serupa sudah lebih parah dialami beberapa area di Jawa, sebut saja Teluk Jakarta dan kawasan pesisir Semarang. Tak heran, kawasan Jakarta Utara dan Semarang Utara menjadi langganan banjir rob.
Seputar reklamasi yang disebut sebagai biang masalah, selalu memunculkan pro dan kontra. Pihak yang pro memandang reklamasi juga memacu pertumbuhan ekonomi, seperti yang terjadi pada Singapura dan Dubai, Uni Emirat Arab. Yang kontra, berpendapat reklamasi memperparah sedimentasi, menyebabkan teluk makin dangkal, dan mengganggu keseimbangan lingkungan.
Pemerintah perlu segera memikirkan solusi komprehensif terhadap masalah ini. Sedimentasi selama ini tidak pernah berupaya dicegah, dan terbukti, ketika sudah terjadi puluhan tahun lamanya, tak pernah berusaha diatasi dengan serius.
Pemerintah kota bersama pemerintah provinsi harus secepatnya menggagas pembenahan daya dukung lingkungan teluk, sebagai bentang alam tempat berdiri dan tumbuhnya kota-kota. Kerusakan teluk yang makin menjadi, ke depan bakal terus berkonsekuensi ekonomi biaya tinggi, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, terutama nelayan.
Selain, konsekuensi gangguan ekosistem lingkungan hidup di teluk, yang berdampak terhadap penurunan kualitas kehidupan puluhan tahun ke depan.