Sedimentasi di Teluk Ambon menimbulkan kerusakan ekologis dan bencana rob yang kini datang secara rutin. Sedimentasi dimaksud sebagian besar disebabkan adanya proyek reklamasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Laju sedimentasi di Teluk Ambon, Kota Ambon, Maluku, diperkirakan lebih dari 5 hektar setiap tahunnya. Sedimentasi itu sebagian besar disebabkan proyek reklamasi. Selain rusaknya ekosistem perairan di teluk, masyarakat pesisir kini menghadapi bencana baru, yakni banjir rob yang semakin sering terjadi.
Menurut data Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), luas Teluk Ambon 28.292,8 hektar dengan panjang garis pantai 102,7 kilometer. Teluk Ambon terbagi dalam dua bagian, yakni teluk bagian dalam dan teluk bagian luar. Penanda dua bagian teluk itu adalah Tanjung Poka dan Tanjung Galala, yang kini dilewati Jembatan Merah Putih.
Masih menurut data LIPI, pada 1994, citra satelit merekam luas sedimentasi di Teluk Ambon sebesar 102,56 hektar. Tahun 2007, citra satelit kembali merekam, dan hasilnya sedimentasi meluas menjadi 168,13 hektar. Artinya, selama 13 tahun, rata-rata sedimentasi bertambah 5,43 hektar per tahun. Data citra satelit 2007 itu merupakan data terakhir yang dimiliki LIPI.
Pantauan Kompas pada Sabtu (27/3/2021), hampir semua sedimentasi disebabkan oleh proyek reklamasi dari berbagai pembangunan banguna pemerintahan ataupun publik. Tanah dan material yang dipakai untuk menimbun laut melimpah ke badan teluk.
Sedimentasi menyebabkan pendangkalan. Beberapa titik dekat kaki Jembatan Merah Putih yang menjadi titik terparah telah dipasang penanda agar kapal tidak melintas karena dapat membahayakan pelayaran. Pendangkalan yang terus melaju dari dua arah berlawanan di dekat jembatan itu dikhawatirkan suatu ketika membuat jalur itu tersambung oleh daratan sehingga teluk bagian dalam menjadi danau, terpisah total dengan teluk bagian luar.
Akibat pendangkalan itu, air laut bergerak mencari titik terendah. Perkampungan dekat jembatan seperti Hative Kecil, Kecamatan Sirimau, semakin sering dilanda banjir rob. ”Dulu biasanya saat musim barat (Desember sampai Februari). Sekarang setiap kali air laut pasang, pasti rob,” kata Aksa Noya, warga Hative Kecil.
Di permukiman itu, air laut merangsek ke darat hingga sekitar 50 meter. Di sana terdapat lebih kurang 40 rumah dengan 200 jiwa tinggal di dalamnya. Setiap kali air pasang, warga sibuk memindahkan barang ke tempat aman. Jika air laut pasang pada malam hari, warga dipastikan tidak tidur sampai pagi.
Ahli Perekayasa Madya Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Daniel Pelasula memperkirakan, ke depan, semakin banyak wilayah di pesisir Teluk Ambon yang terendam banjir rob. Selain tekanan sedimentasi, kondisi itu semakin diperparah dengan naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global.
Menurut Daniel, pemerintah menutup mata atas dampak buruk dari izin reklamasi yang belakangan mendapat kritik dari publik itu. Atas nama pembangunan, kawasan di pesisir dihancurkan. Padahal, masih banyak lokasi kosong yang bisa dijadikan tempat membangun. Di Ambon, Kecamatan Sirimau, menjadi wilayah terpadat dibandingkan empat kecamatan lain.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Roy Siauta mengakui, sedimentasi di Teluk Ambon terus meluas sehingga mengganggu ekologi perairan tersebut. Namun, bagi dia, proyek reklamasi itu sudah sesuai dengan hasil kajian. Dalam tata ruang wilayah, lokasi reklamasi dimaksud sudah diperuntukkan bagi pembangunan.
Ia juga menyatakan tidak setuju jika ada anggapan bahwa banjir rob terjadi lantaran proses reklamasi. Pasalnya, banjir rob juga terjadi di beberapa titik di Pulau Ambon dan pulau lainnya di Maluku, yang tidak ada proyek reklamasi sama sekali. ”Rob itu karena musim gelombang tinggi,” ucapnya.