Teluk-teluk di Ujung Tanduk
Sejumlah ibu kota provinsi di kawasan timur Indonesia berdiri dan tumbuh di sekeliling teluk. Namun, perkembangan kota membuat bentang alam penting itu rusak oleh sedimentasi, sampah, hingga reklamasi.
KENDARI, KOMPAS – Sejumlah ibu kota provinsi di kawasan timur Indonesia berdiri dan tumbuh di sekeliling teluk. Namun, perkembangan kota membuat bentang alam penting itu rusak oleh sedimentasi, sampah, hingga reklamasi. Kondisi itu berdampak pada terganggunya aktivitas nelayan, pelayaran, hingga bencana.
Dari penelusuran Kompas selama tiga pekan terakhir, teluk-teluk di ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, hingga Papua kondisinya memprihatinkan. Teluk-teluk itu adalah Teluk Kendari di Kota Kendari, Teluk Palu di Kota Palu, Teluk Manado di Kota Manado, Teluk Ambon di Kota Ambon, serta Teluk Youtefa dan Teluk Yos Sudarso (Humboldt) di Kota Jayapura.
Kondisi Teluk Kendari yang kritis terlihat terutama saat air sedang surut. Sungai Wanggu, sungai terbesar yang bermuara ke teluk ini, membawa sedimentasi tebal setiap hari. Air berwarna cokelat terlihat kontras dengan air laut.
Pembangunan di sekeliling teluk juga masif. Rumah makan berjejer di sepanjang teluk, bahkan mengokupansi lahan bakau. Penimbunan lahan baru yang dulunya tambak atau habitat bakau terlihat marak, utamanya di Jalan Madusila, Andonohu. Jalan ini terbentang di sepanjang sisi selatan teluk. Di jalan ini juga berdiri kantor DPRD Kendari yang tepat menghadap teluk.
“Kondisi Teluk Kendari sekarang sudah di fase sangat kritis. Hitungan saya, berdasarkan variabel perubahan lingkungan, dalam empat dekade terakhir total sedimentasi mencapai 66 juta meter kubik. Laju sedimentasi terus meningkat hingga 1,1 juta meter kubik dalam satu tahun,” ujar La Ode Alwi, pengajar ilmu lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari yang aktif meneliti Teluk Kendari.
Alwi menerangkan, sedimentasi parah yang dialami Teluk Kendari mayoritas disumbang dari Sungai Wanggu, yakni mencapai 65 persen dari total sedimentasi. Selebihnya adalah sedimentasi dari 12 sungai dan anak sungai yang bermuara ke teluk ini. Hal ini berimbas pada kedalaman teluk yang menyusut. Pada medio 1970-an, kedalaman mencapai 23 meter. Saat ini, kedalaman ditaksir hanya 6-7 meter.
Akibatnya, biota laut yang dulunya berkembang di teluk hilang atau migrasi. Terumbu karang dan lamun hampir tidak ditemukan lagi. Ikan kerapu, kakap, dan ikan bernilai tinggi lainnya juga lenyap. Daerah yang dulunya menjadi tempat nelayan bagan mencari cakalang kini hanya sekadar menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal.
Baca juga: Sedimentasi Masif di Teluk Kendari Tak Tertangani, Risiko Tinggi Mengintai
Hasil penelitian Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara menyebutkan, dalam 13 tahun terakhir, terjadi pendangkalan di Teluk Kendari seluas 101,8 hektar dan kedalaman laut 9-10 meter. Luasan wilayah teluk pun menyusut dari semula 1.186,2 hektar menjadi 1.084,4 hektar pada tahun 2000. Dalam kurun 20 tahun terakhir, ukuran teluk hanya tersisa 900 hektar. Kepala BPDAS Sampara Azis Ahsoni menjelaskan, jika tidak ada penanganan, endapan dipastikan terus mengalir dan memenuhi teluk.
Sedimentasi masif di Teluk Kendari juga berimbas pada aktivitas pelayaran dan bongkar-muat di pelabuhan. Kedalaman teluk yang terus berkurang menjadi salah satu alasan dipindahnya pelabuhan peti kemas Kendari, dari semula di dalam teluk menjadi di mulut teluk yang perairannya masih dalam.
Senior Manager PT Pelindo IV Makassar Debby Duakaju menerangkan, kedalaman teluk yang berkisar enam meter memang menjadi salah satu alasan pemindahan pelabuhan peti kemas New Port Kendari yang mulai dibangun sejak 2017 lalu di Bungkutoko. Dengan kedalaman tersebut, kapal berkapasitas besar sulit untuk masuk dan berlabuh.
“Salah satu alasannya memang terkait kedalaman teluk. Tapi yang utama itu terkait pembangunan jembatan Teluk Kendari yang hanya menyisakan tinggi sekitar 19 meter. Kapal kargo akan sulit masuk dengan ketinggian tersebut,” terang Debby yang juga mantan General Manager PT Pelindo IV Kendari selama tiga tahun terakhir.
Baca juga: Mangrove Hilang dan Sedimentasi Meluas, Ekosistem Teluk Ambon Kian Rusak
Di Teluk Ambon, sedimentasi juga menyebabkan pendangkalan di jalur sempit yang memisahkan teluk bagian dalam dan luar. Beberapa titik dekat kaki Jembatan Merah Putih, yang menjadi titik terparah sedimentasi, telah dipasang penanda agar kapal tidak melintas karena dapat membahayakan pelayaran.
Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, pada tahun 1994, citra satelit merekam luas sedimentasi Teluk Ambon 102,56 hektar. Tahun 2007, citra yang sama menunjukkan sedimentasi menjadi 168,13 hektar. Artinya, selama 13 tahun, rata-rata sedimentasi bertambah 5,43 hektar per tahun.
Akibat pendangkalan itu, perkampungan dekat jembatan seperti Hative Kecil, Kecamatan Sirimau, semakin sering dilanda banjir rob. "Dulu biasanya saat musim barat (Desember-Februari). Sekarang setiap kali air laut pasang, pasti rob," kata Aksa Noya, warga Hative Kecil.
Di permukiman itu air laut merangsek ke darat hingga sekitar 50 meter. Di sana terdapat lebih kurang 40 rumah dengan penduduk 200 jiwa. Setiap kali air pasang, warga sibuk memindahkan barang ke tempat aman.
Ahli Perekayasa Madya Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Daniel Pelasula memperkirakan, ke depan, semakin banyak wilayah di pesisir Teluk Ambon yang terendam banjir rob. Selain tekanan sedimentasi, kondisi itu semakin diperparah dengan naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global.
Di Kota Jayapura, pendangkalan teluk terjadi akibat tumpukan sampah rumah tangga dan sedimentasi lumpur. Terdapat dua teluk di Perairan Jayapura, yakni Teluk Humboldt atau biasa juga disebut Teluk Yos Sudarso, dan Teluk Youtefa.
Pendangkalan di Teluk Humboldt salah satunya terlihat di Jalan Sam Ratulangi. Air berwarna keruh dan sampah plastik menumpuk. Sampah dan lumpur berasal dari Sungai Anafre yang bermuara di perairan tersebut. Berdasarkan kesaksian nelayan setempat, pendangkalan terjadi di area tersebut hingga sekitar 300 meter dari bibir pantai.
Di Dermaga Abesau, yang melayani pelayaran tradisional di Teluk Youtefa, pendangkalan terjadi hingga 500 meter dari bibir pantai. Di lokasi perahu motor berlabuh, kedalaman air turun dari 4 meter menjadi 1,5 meter saja. Air berwarna kecokelatan dan sampah plastik menumpuk di perairan tersebut. Sampah dan lumpur berasal dari Sungai Acai yang bermuara di Teluk Youtefa.
Ketua Lembaga DAS dan Pesisir Papua Yehuda Hamokwaron mengatakan, pendangkalan di kedua teluk ini terjadi sejak tahun 2001. Hal ini dipicu pembangunan masif di kawasan penyangga Cagar Alam Cycloop dan pinggiran daerah sungai yang bermuara di Teluk Yos Sudarso dan Teluk Youtefa.
Kondisi ini mengakibatkan ekosistem padang lamun dan terumbu karang di teluk terganggu karena tertutup lumpur dan sampah.
Yehuda mengungkapkan, penyebab pendangkalan akibat erosi tanah lempung dari kawasan penyangga Cycloop yang mencapai 3 ton per hektar per tahun dan sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai. "Kondisi ini mengakibatkan ekosistem padang lamun dan terumbu karang di teluk terganggu karena tertutup lumpur dan sampah. Padahal, dua ekosistem itu tempat ikan bertelur," ucapnya.
Baigo Hamuna, dosen Jurusan Kelautan dan Perikanan Fakultas MIPA Universitas Cenderawasih menambahkan, pihaknya menemukan fenomena akresi atau penambahan luas garis pantai akibat proses sedimentasi mencapai 6,28 meter per tahun di wilayah Perairan Jayapura. "Kami mengambil data dari tahun 2003 hingga 2017. Kondisi ini akan berdampak besar bagi biota laut," ujar Baigo.
Sedimentasi juga menjadi masalah bagi nelayan di Teluk Palu dan Teluk Manado. Basri Badong (47), nelayan di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, menyatakan, sejak sekitar tahun 2000, air teluk makin keruh dan lumpur kian tebal di pinggir-pinggir laut.
Akibat kondisi itu, populasi ikan di teluk menurun. “Kalau pada 1990-an saya masih bisa dapat sampai dua boks ikan layur hanya di pinggir teluk, sekarang ini sampai sekitar 5 kilometer dari muara saya hanya dapat satu boks,” ujar Basri.
Arham (52), nelayan Kelurahan Lere, Kecamatan Mantikulore, malah telah beralih melaut ke perairan Donggala utara sejak 2017. “Lebih baik keluar ongkos besar, tetapi tangkapan juga banyak daripada keluar ongkos, tapi dapat ikan sedikit saja di teluk,” katanya.
Sedimentasi juga mengakibatkan kerusakan terumbu karang di Teluk Manado, yang keadaannya selama ini sudah buruk akibat reklamasi. Ferdy Tuilan (47), sekretaris kelompok nelayan Tandipang Sindulang 2 mengatakan, para nelayan harus melaut sejauh 8-9 mil laut untuk mendapatkan ikan. “Kadang-kadang kami juga sampai ke belakang Pulau Manado Tua (26,6 kilometer). Tapi, jarak makin jauh, tangkapan makin sedikit,” ujarnya.
Baca juga: Sedimentasi Sungai Mundurkan Garis Pantai Teluk Manado
Pengajar Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Sam Ratulangi Rignolda Djamaluddin mengatakan, Sungai Malalayang membawa sedimen dari hulunya di wilayah bukit Winangun dan Pineleng ke Teluk Manado. Wilayah itu telah berubah dari daerah tangkapan air menjadi perumahan.
Menurut Rignolda, sedimentasi di Teluk Manado memang tidak akan langsung menyebabkan pendangkalan karena perairan di barat ibu kota Sulut itu cukup dalam. Namun, dampaknya bagi ekosistem bahari akan sangat buruk. Karena itu, diperlukan upaya pembangunan pengontrol sedimen dan perencanaan tata kota yang lebih baik.