Pemimpin organisasi perlu memahami bahwa kesejahteraan psikologis semua pekerja adalah hal penting dan organisasi perlu menghadirkan ruang keseimbangan itu.
Oleh
Kristi Poerwandari
·4 menit baca
Ketika berbicara mengenai kerja dan aspek kehidupan lainnya, apakah kita berbicara mengenai work and life balance, ataukah work and life blend? Mengingat sebelum pandemi, secara normatif ada tempat dan waktu kerja khusus, yakni bekerja di kantor dan pada saat jam kerja, konsep yang selama ini dikembangkan adalah work and life balance.
Untuk dapat sehat mental, kita menyeimbangkan kerja dan aspek kehidupan lainnya. Bekerja, ya, di kantor, pada saat jam kerja. Untuk yang bekerja penuh waktu berarti Senin hingga Jumat atau Sabtu, sekitar 8 hingga 10 jam sehari. Bila diperlukan boleh saja kadang bekerja lembur, tetapi sebaiknya tidak terlalu sering.
Saat di tempat dan jam kerja, kita seyogianya mampu mencurahkan konsentrasi pada kegiatan kerja. Sebaliknya ketika ada di rumah dan di luar jam kerja, kita diharapkan dapat memberikan perhatian pada keluarga dan orang-orang dekat. Memiliki waktu untuk bersosialisasi, menekuni hal lain di luar pekerjaan, serta dapat menyediakan waktu untuk beristirahat juga.
Perpaduan
Menarik bahwa ternyata bahkan sebelum pandemi, telah ada beberapa tulisan yang menawarkan konsep work and life blend, bukan work and life balance. Yang menulis tidak mengantisipasi adanya pandemi. Mereka hanya mengamati betapa teknologi dan internet sudah demikian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, dan bagaimanapun mengubah pola perilaku kerja maupun perilaku berelasi dan bersosialisasi.
Pandemi sangat mempercepat pemindahan dari konsep ”keseimbangan” menuju blend. Dalam bahasa Indonesia mungkin dapat kita terjemahkan bukan sekadar ”percampuran” melainkan ”perpaduan” atau ”pembauran”.
Di awal-awal pandemi, banyak terjadi masalah karena kita tidak siap menghadapi perubahan demikian mendadak. Bekerja dari rumah menyebabkan kekacauan karena kita sulit membagi konsentrasi dan waktu. Ada berbagai keterbatasan sarana dan infrastruktur kerja, dan anggota-anggota keluarga atau yang tinggal dalam satu rumah harus berbagi yang serba terbatas itu.
Situasi tidak nyaman dalam rumah dapat memengaruhi efektivitas kerja. Di lain pihak, ketegangan kerja juga terbawa dalam kehidupan pribadi. Bila sebagian orang merasa senang karena waktu untuk diri sendiri menjadi lebih banyak, sebagian yang lain justru mengeluh karena jam kerja bahkan menjadi tak terbatas, rapat-rapat daring dapat diselenggarakan hingga jauh malam dan di akhir minggu.
Tampaknya dengan berjalannya waktu, cukup banyak orang telah lebih dapat menyesuaikan diri. Perusahaan dan pekerja, juga para pelaku pendidikan, melihat ada sisi-sisi positif dari aktivitas yang dilaksanakan daring. Saya pribadi merasa cukup tercengang, bahwa secara umum mahasiswa tampaknya lebih aktif bertanya dan mengemukakan pendapatnya bila kelas dilaksanakan daring. Penguasaan mereka akan materi juga tidak terganggu.
Terpadu dan seimbang
Satu keuntungan dari dilaksanakannya berbagai aktivitas secara daring adalah bahwa biaya yang dikeluarkan menjadi jauh lebih sedikit. Tidak diperlukan biaya transpor yang tinggi, konsumsi bersama saat rapat, dan sarana prasarana seperti ruang besar untuk berkumpul bersama.
Akibat dari sangat drastis menurunnya biaya, mungkin ada lembaga pendidikan yang tergoda untuk memaksimalkan saja kelas-kelas dan model pendidikan daring. Walau demikian, berbagai penelitian psikologi menyarankan bahwa sebaiknya yang dilaksanakan adalah yang campuran antara tatap muka dan daring.
Melaksanakan pendidikan secara sepenuhnya daring dapat menghadirkan masalah-masalah psikologis dan kesehatan mental baru. Dalam hubungan antarmanusia, perjumpaan langsung dan tatap muka tetap sangat diperlukan, dan maknanya tidak tergantikan.
Dalam keterpaduan tetap diperlukan keseimbangan. Saat ini, yang mulai banyak dibahas adalah bagaimana dapat memadukan kerja dan aspek kehidupan lainnya, serta aktivitas daring dengan aktivitas tatap muka secara maksimal. Diperlukan perpaduan yang menghadirkan manfaat paling besar dari sisi psikologis maupun dari sisi efektivitas dan efisiensi kerja.
Pemimpin organisasi perlu memahami bahwa kesejahteraan psikologis semua pekerja adalah hal penting, dan organisasi perlu menghadirkan ruang keseimbangan itu. Bila ada perencanaan yang baik, rapat hingga jauh malam atau pada hari-hari libur dapat diminimalkan.
Mungkin ada ide-ide baru yang akan dibagikan dan kita sangat antusias untuk segera membagikannya. Bila demikian halnya, kita dapat menyusun draf surat elektroniknya kapan pun, tetapi mengirimkannya kemudian di hari dan jam kerja.
Akan baik jika perusahaan menciptakan mekanisme yang memungkinkan adanya keseimbangan. Lembaga-lembaga yang justru waktu berbisnis utamanya adalah di luar umumnya jam kerja dan pada hari libur (misalnya bisnis jual beli secara daring atau tempat hiburan), dapat memberlakukan waktu kerja dan libur yang berbeda daripada yang umum.
Pemimpin yang dapat memberikan contoh memadukan aktivitas kerja dan kehidupan pribadi dengan baik akan meminimalkan stres para pekerjanya. Pemimpin demikian akan menginspirasi para pekerjanya untuk juga mengupayakan hal sama. Selain itu, hal ini juga menyumbang pada upaya menghadirkan masyarakat yang sejahtera secara psikologis.
Tampaknya manusia sedang berproses untuk mencari dan menemukan keseimbangan-keseimbangan baru. Bagaimanapun kita perlu menyadari, bahwa yang kita bicarakan ini adalah perspektif kelas menengah.
Kita belum lagi berbicara mengenai sebagian dari kita yang mata pencariannya hilang karena perubahan pola kerja. Atau yang lahan mencari nafkahnya adalah justru dengan mengisi lubang-lubang yang diciptakan oleh mekanisme kerja yang baru. Kesejahteraan ekonomi dan psikologis mereka juga hal penting untuk dibahas dalam kesempatan berikutnya.