Pembukaan sekolah di masa pandemi berisiko tinggi bagi siswa jika tidak dipersiapkan dengan benar. Pengendalian kasus Covid-19 di masyarakat harus menjadi pertimbangan utama, selain kesiapan sekolah dan masyarakat.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Penutupan sekolah yang berdampak negatif pada pembelajaran mendorong negara-negara di dunia mulai membuka sekolah secara penuh di masa pandemi Covid-19 ini, tak terkecuali Indonesia.
Pemerintah menargetkan membuka sekolah secara penuh mulai Juli 2021, dengan pembelajaran tatap muka terbatas dan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Bahkan, sekolah yang semua guru dan tenaga kependidikannya telah divaksinasi Covid-19 wajib segera dibuka.
Sejak November 2020 pun sekolah di semua zona boleh dibuka dengan syarat menerapkan protokol kesehatan dan mendapat izin pemerintah daerah. Hingga 23 Maret 2021, 22 persen sekolah sudah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka terbatas.
Sekolah-sekolah tersebut dibuka setelah dinilai memenuhi daftar periksa pelaksanaan protokol kesehatan sebagaimana diatur dalam surat kesepakatan bersama empat menteri. Namun, munculnya kluster penularan Covid-19 di sejumlah sekolah berasrama (Kompas, 1/4/2021) menunjukkan pembukaan sekolah masih berisiko tinggi bagi siswa.
Berdasarkan temuan Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya terhadap pembukaan sekolah di Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kesiapan sekolah ataupun pemerintah daerah masih kurang. Pelaksanaan protokol kesehatan kendur serta fungsi pengawasan juga lemah.
Di banyak negara, sekolah dibuka kembali ketika kasus Covid-19 di masyarakat telah menurun, bahkan tingkat kepositifan (positivity rate) Covid-19 mendekati nol. Tes rutin untuk guru dan siswa menjadi keharusan. Kasus Covid-19 di Indonesia memang menurun, tetapi tingkat kepositifan Covid-19 masih sekitar 12 persen, tes di masyarakat pun belum optimal. Pandemi belum terkendali.
Langkah pemerintah memprioritaskan vaksinasi untuk guru dan tenaga kependidikan patut diapresiasi. Namun, dengan rasio guru/tenaga kependidikan dan siswa yang sekitar 1:10, tak mungkin tercapai kekebalan komunitas di sekolah karena siswa belum divaksinasi. Vaksinasi juga bukan jaminan aman dari Covid-19, guru masih bisa tertular dan menularkan.
Dengan pandemi belum terkendali, mengirimkan anak ke sekolah akan meningkatkan risiko keamanan mereka dari paparan virus korona baru. Kasus Covid-19 pada anak memang umumnya bergejala ringan, bahkan tidak bergejala, tetapi bukan berarti tidak berbahaya.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan mengatakan, Covid-19 pada anak bisa berefek jangka panjang, bahkan dapat berakibat fatal. Tingkat kematiannya mencapai 3 persen, dari angka kasus pada anak yang mencapai 9-10 persen. Angka yang amat tinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain yang bahkan nyaris tidak ada kasus kematian akibat Covid-19 pada anak.
Memang idealnya pembukaan sekolah menjadi prioritas dalam upaya pemulihan dampak pandemi ini. Namun, pengendalian kasus Covid-19 di masyarakat tetap harus menjadi pertimbangan utama ketika sekolah akan dibuka kembali. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pembukaan sekolah dilakukan jika tingkat kepositifan Covid-19 kurang dari 5 persen.
Fungsi pengawasan serta komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan harus diperkuat untuk menyiapkan sekolah aman ketika dibuka kembali. Dukungan masyarakat, dengan disiplin melaksanakan protokol kesehatan, juga akan membantu anak-anak kembali ke sekolah dengan aman.