Pembukaan sekolah di masa pandemi menjadi solusi untuk mencegah kerugian pembelajaran yang lebih besar. Namun, langkah ini juga harus mempertimbangkan risiko kesehatan, terutama jika kasus di masyarakat masih tinggi.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Tahun kedua pandemi ini merupakan titik kritis bagi pendidikan, penutupan sekolah untuk mencegah penyebaran Covid-19 semakin berdampak buruk pada pembelajaran siswa. Tak sedikit upaya untuk memaksimalkan pembelajaran jarak jauh, namun tidak ada yang bisa menggantikan menggantikan interaksi langsung guru dan siswa.
Sejumlah studi menunjukkan, penutupan sekolah telah berdampak pada hilang pembelajaran (learning loss), kemiskinan belajar (learning poverty), anak putus sekolah, hingga ketimpangan pendidikan yang semakin lebar. Ancaman kekerasan terhadap anak juga meningkat karena bagi sejumlah anak sekolah juga merupakan tempat perlindungan.
Studi terbaru UNESCO menunjukkan, hilang pembelajaran menyebabkan 100 juta anak gagal menguasai keterampilan dasar membaca. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia, di Kota Cimahi, Jawa Barat misalnya, 15 persen anak yang naik kelas dua sekolah dasar belum bisa membaca dan menulis.
Semakin lama sekolah ditutup, dampaknya akan semakin besar. Berdasar pemodelan UNESCO Institute for Statistic, setiap satu bulan kehilangan waktu sekolah, siswa kehilangan pembelajaran selama dua bulan. Secara global, hingga 11 November 2020 atau delapan bulan pandemi, siswa telah kehilangan rata-rata 54 persen waktu sekolah dalam satu tahun ajaran atau sekitar 25 minggu.
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar, sejumlah negara pun mulai membuka sekolah. Beberapa di antaranya telah membuka sekolah secara nasional, pun Indonesia mulai Juli 2021. Pembukaan sekolah di masa pandemi, di mana pun, selalu menimbulkan perdebatan tentang bagaimana menyeimbangkan risiko pembelajaran dan risiko kesehatan. Apakah sekolah aman jika dibuka kembali, bagaimana potensi penularan kasus di sekolah dan di masyarakat.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 memang menunjukkan kasus positif Covid-19 di Indonesia terus turun. Meskipun begitu, rasio positif (positivity rate) Covid-19 masih sekitar 12 persen, jauh di bawah standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan positivity rate minimal 5 persen.
Kondisi tersebut, ditambah cakupan vaksinasi di masyarakat yang masih rendah, dan tes Covid-19 yang belum optimal, menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan, masih akan membahayakan anak. Meskipun para guru dan tenaga kependidikan telah divaksinasi, bukan berarti mereka tidak bisa menularkan Covid-19.
“Anak juga belum tentu tahan, transmisi antar anak bisa terjadi. Di rumah ada balita (anak berusia di bawah lima tahun) atau lansia (lanjut usia) apa tidak, orangtua sudah divaksin atau belum. Butuh banyak kajian untuk ini,” kata Aman, Selasa (30/3/2021).
Tak bisa ditawar
Bukan berarti sekolah tidak bisa dibuka pada masa pandemi, tetapi persyaratan untuk itu sangat banyak dan tidak bisa ditawar. Keselamatan anak, kata Aman, harus menjadi pertimbangan utama karena kasus positif Covid-19 pada anak di Indonesia termasuk tinggi, sekitar 9-10 persen dengan tingkat kematian 3 persen.
Menurut Aman, seharusnya ada uji coba pembukaan sekolah di daerah-daerah dengan rasio positif Covid-19 di bawah 5 persen. Ini untuk melihat bagaimana kesiapan dan penerapan protokol kesehatan di sekolah, termasuk perilaku warga sekolah sekolah. Bagaimana standar prosedur di sekolah jika ada anak menunjukkan gejala Covid-19. Bagaimana pula komitmen pemerintah daerah, Satgas Covid-9 setempat, komite sekolah, juga orangtua.
“Sebelum masuk, guru juga harus dites dulu, idealnya PCR (reaksi rantai polimerase). Kalau semua persyaratan tadi bisa dilaksanakan, baru bisa dilihat kesiapan sekolah. Tapi bagi kami, terlalu dini kalau Juli (sekolah) dibuka,” kata Aman.
Kajian dan pemantauan Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya terhadap pelaksanaan pembelajaran tatap muka di Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menunjukkan, kesiapan sekolah maupun pemerintah daerah masih kurang. Fungsi pengawasan para pemangku kepentingan pendidikan di daerah terhadap pelaksanaan pembelajaran tatap muka di sekolah juga lemah.
Sebelum masuk, guru juga harus dites dulu, idealnya PCR. Kalau semua persyaratan tadi bisa dilaksanakan, baru bisa dilihat kesiapan sekolah. Tapi bagi kami, terlalu dini kalau Juli (sekolah) dibuka.
Izin pembukaan sekolah tidak berdasarkan kajian yang memadai, baik terkait kesiapan sekolah maupun rasio kasus di masyarakat. Pelaksanaan protokol kesehatan di sekolah juga longgar. “Ada sekolah memperbolehkan anak-anak berolahraga di sekolah tanpa melakukan protokol kesehatan,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho, Senin (29/3).
Pantauan Lapor Covid-19, persiapan pembukaan sekolah lebih mengedepankan upaya mengatasi dampak buruk penutupan sekolah. Menurut Relawan Lapor Covid-19 Amanda Tan, masih ada kekosongan kebijakan ini terkait kesehatan siswa. Sebagian besar orangtua mungkin akan mengizinkan anaknya ke sekolah. Namun harus pula dilihat, banyak yang belum paham risiko Covid-19, terutama pada anak, juga dalam melaksanakan protokol kesehatan.
Membudayakan perilaku 3M (mencuci tangan pakai sabun, memakai masker, menjaga jarak) baik di sekolah maupun di luar sekolah untuk menjaga kesehatan warga sekolah menjadi tantangan utama. Karena itu, kata Kepala SMK Negeri 9 Kota Bandung Anne Sukmawati Kurniadewi, sejak Juli 2020 pihaknya terus menyosialisasikan 3M ini kepada siswa dan orangtua menggunakan berbagai media.
“Ini terus kami evaluasi. Kalau sekolah dibuka nanti, juga bertahap, 10 persen siswa dulu dalam sebulan. Setelah itu dievaluasi dan tidak ada masalah, baru sepertiga siswa masuk sekolah. Semua harus dipersiapkan secara detail karena saya mempunyai tanggung jawab moral untuk menjamin keselamatan siswa, guru, dan tenaga kependidikan,” kata Anne ketika dihubungi Senin.
Bagi Anne, semua risiko harus dihitung dan diantisipasi ketika akan membuka sekolah kembali. Sekolah harus benar-benar aman ketika dibuka, keselamatan warga sekolah juga harus terjamin. Pembelajaraannya pun harus direncanakan dan dipersiapkan dengan baik agar lebih efektif, dengan melaksanakan pembelajaran tatap muka sekaligus pembelajaran daring.