Mengharapkan hasil akhir berupa denuklirisasi total Semenanjung Korea mungkin berlebihan. Namun, hal itu bisa dicapai sedikit demi sedikit melalui kepercayaan yang dibangun secara bertahap.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
”Panas” di Semenanjung Korea tak kunjung mereda. Peluncuran rudal Korea Utara menunjukkan ancaman nyata terhadap Amerika Serikat dan sekutunya masih ada.
Korea Utara pada Kamis (25/3/2021) meluncurkan dua rudal yang ditembakkan ke arah timur, ke laut di luar perairan teritorial Jepang. Setelah sekitar setahun tidak ada peluncuran rudal balistik, Korut kini melakukannya lagi. Peluncuran ini melanggar larangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tentang uji coba rudal balistik oleh Korut.
Beberapa hal patut menjadi catatan. Pertama, rudal balistik berbahan bakar padat itu diperkirakan hasil modifikasi rudal berbahan bakar serupa yang dites sejak 2019. Peluncuran rudal balistik pada Kamis menunjukkan Korut tak berhenti mengembangkan persenjataan.
Kedua, rudal balistik diluncurkan saat pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden baru merampungkan pendekatan terhadap sekutunya di Asia Timur, Korsel, dan Jepang. Peluncuran rudal hasil pengembangan terbaru Korut memberikan peringatan kepada Biden bahwa ada urusan yang belum selesai antara Washington dan Pyongyang.
Sebelumnya, Minggu (21/3/2021), Korut juga meluncurkan rudal, tetapi bertipe rudal jelajah. Peluncuran rudal jelajah ini tak menimbulkan respons besar ketimbang rudal balistik karena tidak melanggar larangan Dewan Keamanan PBB. Potensi ancaman bahaya yang ditimbulkan rudal balistik dinilai lebih besar ketimbang rudal jelajah.
Semenanjung Korea kembali panas. Biden dituntut merumuskan pendekatan baru terhadap Korut. Pendekatan yang dilakukan Presiden Donald Trump untuk meredam pengembangan senjata Korut tak berlanjut. Saat itu, Pemimpin Korut Kim Jong Un menghendaki AS mencabut seluruh sanksi atas negaranya setelah ia menghentikan pengembangan senjata. Trump menolak, karena penghentian pengembangan senjata baru sebagian, belum menyeluruh. Korut bisa meninggalkan kesepakatan dan kembali mengembangkan senjata.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam merumuskan pendekatan terhadap Korut ialah memastikan apa yang diinginkan Kim. Ia menginginkan sanksi ekonomi, larangan ekspor, dan sebagainya segera dicabut guna menyelamatkan perekonomian negara, apalagi di tengah tekanan pandemi Covid-19. Di sisi lain, mencabut sanksi ekonomi berarti memberikan peluang bagi Pyongyang untuk lebih cepat mengembangkan persenjataan. Hal ini akan memberikan ancaman bagi AS dan sekutunya, Jepang serta Korsel.
Negosiasi terbatas dapat ditempuh Washington. Sanksi dicabut sebagian dengan syarat sebagian aspek pengembangan persenjataan juga dihentikan. Jika Kim menyetujui model kesepakatan ini, tantangan berikutnya ialah pengawasan kesepakatan. Tentu bukan hal mudah membangun kepercayaan sehingga Korut mau bersikap transparan terhadap AS.
Diplomasi nan pelik harus ditempuh AS bersama sekutunya, selain diperlukan dukungan China. Mengharapkan hasil akhir berupa denuklirisasi total Semenanjung Korea mungkin berlebihan. Namun, hal itu bisa dicapai sedikit demi sedikit melalui kepercayaan yang dibangun secara bertahap.