Data adalah komoditas yang banyak dicari. Data dapat digunakan untuk banyak hal, seperti sebagai bahan mengambil keputusan politik, ekonomi, hingga tindak kejahatan.
Oleh
redaksi
·3 menit baca
Minyak baru, demikian data sering disebut saat ini. Data dapat dipakai untuk banyak hal, seperti bahan mengambil keputusan politik, ekonomi, hingga kejahatan.
Keadaan ini membuat data menjadi komoditas yang banyak dicari. Munculnya kabar soal adanya data pengguna aplikasi jual-beli daring, atau data pemilih pemilu yang diperjualbelikan di dark web, atau secara tradisional dari orang ke orang, mengindikasikan adanya data sejumlah lembaga, swasta ataupun pemerintah yang bocor, dicuri, atau disalahgunakan.
Di tingkat masyarakat, hal itu dapat dirasakan, misalnya, dengan adanya warga yang mengeluh karena mendapat penawaran tertentu lewat surat elektronik (surel) atau telepon. Padahal, mereka tak pernah memberikan data kepada pemberi penawaran.
Badan Siber dan Sandi Negara mencatat, sepanjang tahun 2020 terdapat 2.549 kasus pencurian informasi melalui surel dengan tujuan kejahatan. Selain itu, ada 79.439 akun yang datanya dibobol (Kompas, 22/3/2021).
Pencurian atau penyalahgunaan data, khususnya yang bersifat pribadi, merupakan pelanggaran terhadap hak privasi.
Pencurian atau penyalahgunaan data, khususnya yang bersifat pribadi, merupakan pelanggaran terhadap hak privasi. Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 antara lain menyatakan, tak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya. Sementara di dalam Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, yang dalam hal ini termasuk data pribadinya.
Perlindungan data pribadi di Tanah Air saat ini termasuk lemah. Berdasarkan National Cyber Security Index 2020 yang disusun E-Governance Academy Foundation, perlindungan data pribadi di Tanah Air dapat skor 1 dari maksimal 4 poin.
Dalam konteks ini, upaya pemerintah dan DPR untuk lebih melindungi data pribadi melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi patut diapresiasi. Di ASEAN sudah ada empat negara yang memiliki UU ini, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
Dalam RUU itu, antara lain, diatur bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik harus memiliki data protection officer (DPO) yang bertanggung jawab terhadap perlindungan data pribadi pengguna. Di RUU itu juga disebutkan, data pribadi yang wajib dilindungi adalah yang bersifat umum (misalnya nama, jenis kelamin, dan kewarganegaraan) ataupun yang bersifat spesifik (misalnya informasi kesehatan, pandangan politik, dan data keuangan).
Sejumlah ketentuan di RUU itu memang masih perlu diperjelas, misalnya terkait pengawasan penggunaan data pribadi dan pengelolaan data pribadi yang dikecualikan. Di saat yang sama, pembahasan RUU yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas pada Januari 2020 itu juga perlu dipercepat agar pada tahun ini dapat disahkan menjadi UU.
Di saat yang sama, peningkatan kesadaran warga atas hak privasi juga mesti terus dilakukan. Dengan kesadaran itu, warga akan mengetahui data apa yang perlu diberikan dan kepada siapa serta apa dampak dari pemberian data tersebut. Kesadaran warga ini menjadi benteng utama dalam menjaga hak privasi mereka.