Cara Keluar dari Saham ”Nyangkut”
Jika karena saham sedang merugi sedikit tetapi sudah menyebabkan sulit tidur nyenyak, ada baiknya batasi kerugian 3 persen saja. Ada lima strategi untuk membebaskan saham yang "nyangkut".
Pertengahan tahun lalu, harga saham naik terus setelah terpuruk pada pertengahan Maret 2020. Ketika itu, investor dan trader yang membeli saham menikmati keuntungan tanpa perlu banyak bekerja keras.
Pasar saham memang tidak selamanya naik dan tidak selamanya turun. Ketika bursa naik dan harga saham sudah tinggi, para investor akan memetik keuntungan dengan cara menjual sahamnya. Akibatnya, harga kemudian turun.
Selain itu ada pemeo yang mengatakan, buy on rumour, sell on news. Beberapa saham yang digerakkan oleh isu, harganya malah melorot ketika isu tersebut sudah terkonfirmasi.
Akibatnya, ada investor atau trader yang ”nyangkut”, merugi cukup lumayan karena harga beli saham lebih tinggi daripada harga di pasar saat ini. Ada beberapa pendapat mengenai definisi ”nyangkut” ini.
Baca juga : Memilih Saham demi Portofolio yang Sehat
Ukuran ”nyangkut” setiap orang berbeda, it depens on you. Ada yang kuat menanggung kerugian 4 persen atau 5 persen saja. Tetapi, ada juga yang sampai 8 persen, bahkan lebih.
Jika karena saham sedang merugi sedikit tetapi sudah menyebabkan sulit tidur nyenyak, ada baiknya batasi kerugian 3 persen saja. Sebaliknya, jika merugi sampai 10 persen masih tetap dapat tidur pulas, bisa memasang patokan di kisaran tersebut.
Rata-rata para investor dan trader mematok saham dengan kerugian 5-8 persen sebagai saham ”nyangkut”. Salah satu ukurannya adalah fraksi harga. Misal, untuk saham dengan harga Rp 5.000 per lembar, patokan batas kerugian berkisar 3-5 persen.
Untuk harga di bawah Rp 5.000, penurunan 8-10 persen dapat disebut ”nyangkut”dan ada kecenderungan saham akan turun terus. Berapa pun patokannya, hal yang lebih penting adalah bagaimana bisa keluar dari situasi ”nyangkut”tersebut.
Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan saham ”nyangkut”. Di antaranya, kondisi perekonomian yang sedang krisis. Tahun lalu, ketika pandemi merebak, ketidakpastian melanda bursa saham.
Menghadapi ketidakpastian ini, investor bereaksi dengan melepaskan saham-sahamnya, baik saham lapis ketiga maupun saham lapis pertama. Karena dalam situasi seperti ini, saham dengan fundamental baik dan berkapitalisasi besar pun tetap dapat melorot. Misalnya, saham Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang turun dari Rp 32.000-an pada 4 Februari 2020 menjadi Rp 21.000-an pada 20 Maret 2020.
Baca juga: Laporan Investasi di Pasar Modal dalam SPT
Penyebab lain saham ”nyangkut”adalah harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ketika berinvestasi, tentu saja investor dan trader berharap sahamnya akan naik. Tetapi, karena pengaruh berbagai faktor, harga saham bisa turun. Ini juga yang membuat saham ”nyangkut”.
Belakangan, banyak sekali unggahan di media sosial tentang saham. Ketika investor dan trader tidak dapat melakukan analisis mandiri untuk menentukan saham apa yang akan dibeli, lalu ikut-ikutan beli saham yang sedang hype di media sosial, maka potensi terjadinya ”nyangkut” akan besar sekali.
Ada beberapa cara untuk keluar dari saham yang nyangkut.
Tidak melakukan apa-apa
Strategi ini dapat dilakukan jika saham yang dimiliki merupakan emiten berkinerja dan memiliki fundamental yang bagus. Pasar tidak selamanya turun. Ketika saham sudah mencapai titik nadir, harganya akan berbalik menguat. Seperti terlihat pada perjalanan saham Bank Central Asia tadi.
Pada pertengahan Januari 2020, harga saham BBCA sempat berada di kisaran Rp 35.000 per lembar saham. Tidak sampai dua bulan kemudian, harganya jatuh hingga 40 persen menjadi Rp 21.000. Setelah itu, perlahan harganya berbalik naik dan pada pertengahan Januari 2021 telah mencapai Rp 36.000-an.
Investor atau trader yang membeli pada Januari 2020, merugi pada Maret 2020, lalu tidak melakukan apa-apa hingga Januari 2021, masih dapat mengantongi keuntungan karena saham BBCA bisa naik hingga Rp 36.000, di atas harga pembelian pada Januari 2020. Anggap saja kesabaran yang membuahkan hasil.
Cara ini dapat dilakukan untuk saham-saham blue chip lainnya. Namun, skenario ini sulit diterapkan untuk saham-saham yang sudah menyentuh harga Rp 50-an. Meski demikian, strategi ini memberi kerugian berupa dana yang mandek dan tidak dapat diputarkan untuk mencari keuntungan dengan membeli saham lain yang tengah menguat.
Melakukan jual rugi atau cut loss
Cara ini dapat diambil ketika saham bergerak turun. Investor atau trader yang tidak ingin kerugiannya membesar bisa menjual rugi sahamnya sepanjang kerugian masih dalam kisaran wajar dalam portofolio.
Misalnya, investor atau trader mengalami sahamnya turun hingga 10 persen senilai Rp 1 juta. Jika modalnya dalam portofolio sebesar Rp 100 juta, total nilai kerugian itu setara dengan 1 persen modal. Sementara toleransi kerugian yang dapat ditanggung sang investor/trader itu sebesar 2 persen dari total modal atau sebesar Rp 2 juta.
Dengan begitu, saham ”nyangkut” dapat dijual rugi karena masih dalam batas toleransi risiko. Kerugian jual rugi saham ini nantinya dapat ditutup oleh kenaikan saham lainnya yang dimiliki. Hanya saja, ketika kerugian sudah terlalu dalam, misal 30 persen, cara ini agak sulit diterapkan.
Menukar saham
Cara lain untuk keluar dari saham ”nyangkut” adalah dengan menukar saham yang turun dengan saham B yang sedang naik. Misalnya, saham A turun 9 persen, lalu ada saham B yang sedang naik. Kedua saham itu dapat ”ditukar”, dalam arti investor menjual rugi saham A untuk kemudian ganti membeli saham B yang tengah naik.
Kerugian dari penurunan saham A dikompensasikan dengan kenaikan harga saham B. Memang tidak bisa selalu sama nilainya antara penurunan dengan kenaikan. Misal, saham A turun 9 persen, sedangkan saham B naiknya hanya 5 persen saja. Tetapi, setidaknya tindakan menukar saham sudah mengurangi kerugian.
Menjual saham yang nyangkut lalu beli kembali pada harga yang lebih rendah.
Ada beberapa persyaratan untuk melakukan strategi ini. Pembelian kembali saham tidak boleh dilakukan asal-asalan. Pastikan pembelian dilakukan ketika saham sudah memantul.
Saham dapat dibeli kembali ketika harganya telah memantul naik. Untuk mengetahui kapan kira-kira harga saham akan memantul, dapat digunakan perhitungan dengan Fibonacci retracement.
Biasanya ketika garis Fibo berada pada garis 50% dan sudah memberikan sinyal memantul, pada saat inilah saham dapat dibeli lagi. Pastikan pembelian saham dilakukan setelah terkonfirmasi terjadi pantulan. Saham dapat dijual lagi ketika sudah naik.
Misalnya, seorang investor membeli saham B pada harga Rp 4.230 sebanyak 100 lot atau senilai Rp 42.300.000. Dia kemudian merugi 8 persen senilai Rp 3,4 juta karena harga sahamnya turun menjadi Rp 3.890. Dia kemudian menjual semua sahamnya di harga rugi tersebut.
Lalu, investor tersebut membeli kembali saham yang sama pada harga Rp 3.760 sebanyak 100 lot. Harga saham itu naik dan kemudian dijual di harga Rp 4.070. Keuntungannya yang diperoleh sebesar Rp 3,1 juta.
Dari nilai kerugian dan keuntungan tersebut, total sang investor hanya mengalami kerugian senilai Rp 300.000 belum termasuk biaya transaksi. Jauh lebih baik ketimbang ia membiarkan kerugiannya semakin besar atau jual rugi tanpa membeli kembali.
Melakukan averaging down
Langkah ini memerlukan perhitungan yang sangat teliti dan rinci agar tidak terjebak lebih dalam lagi. Keterampilan yang diperlukan adalah menarik garis Fibonacci dan melakukan transaksi dengan strategi swing atau mengayun.
Prasyarat lainnya, masih memiliki modal yang cukup sekaligus cermat dalam melakukan averaging atau menambah pembelian saham, setidaknya dua kali lipat dari modal yang sedang ”nyangkut”. Pembelian saham dilakukan maksimal dua kali pada saat saham mulai mengayun naik untuk pertama kalinya setelah ayunan turun selesai.
Baca juga: Bursa Naik tetapi Belum Untung?
Contoh, Ibu A membeli saham dan untung tetapi tidak juga menjual sahamnya dengan harapan saham terus naik. Namun, ternyata saham itu kemudian turun. Ibu A membeli saham X seharga Rp 900 per lembar sebanyak 100 lot dengan nilai Rp 9 juta. Harga sahamnya kemudian turun menjadi Rp 350 mencapai titik terendahnya.
Dengan strategi averaging down, Ibu A membeli lagi saham A ketika saham itu mulai mengayun naik (swing) di harga Rp 360. Ia membeli sejumlah dua kali lipat modalnya yang ”nyangkut” atau senilai Rp 18 juta. Kini, Ibu A memiliki tambahan 500 lot saham yang sama.
Harga rerata saham kini menjadi Rp 450. Dilihat dari garis Fibonacci, retracement 50 persen berada pada harga Rp 530. Ketika dijual pada harga tersebut, Ibu A sudah mengantongi keuntungan. Pastikan bahwa harga rerata saham setelah dibeli kembali berada di bawah harga target Fibonacci retracement 50 persen.
Skenario dengan keuntungan tersebut terjadi jika harga bergerak naik. Jika harga bergerak turun, yang dapat dilakukan adalah kembali melakukan jual rugi atau cut loss dengan kerugian yang sudah menipis. Tidak disarankan untuk melakukan averaging down lagi.