Sinergi kebijakan moneter dan fiskal yang komprehensif selama pandemi mampu menahan ekonomi dari kontraksi yang terlalu dalam pada tiga triwulan terakhir 2020.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang 2020, sebanyak 386.877 pekerja terkena PHK. Angka ini 20 kali lipat dibandingkan dengan 2019 (Kompas, 10/3/2021).
Lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19 menyebabkan pengangguran dan kemiskinan juga meningkat tajam. Beban fiskal, terutama anggaran untuk perlindungan sosial, membengkak ke angka yang belum pernah ada presedennya. Situasi ini juga memicu kebutuhan masif stimulus untuk meringankan beban dunia usaha guna meredam PHK.
Kita melihat, sinergi kebijakan moneter dan fiskal yang komprehensif selama pandemi mampu menahan ekonomi dari kontraksi yang terlalu dalam di tiga triwulan terakhir 2020, tetapi belum kuat untuk menstimulasi pemulihan ekonomi seperti diharapkan mulai awal 2021. Kekhawatiran yang muncul adalah pertumbuhan ekonomi yang minus masih terjadi pada triwulan I-2021. Masih tingginya kasus positif Covid-19 membuat pemerintah memberlakukan buka tutup kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), yang berdampak ke sektor riil dan memukul sejumlah sektor.
Dari survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Tenaga Kerja, pandemi Covid-19 tak hanya berdampak kepada 29,12 juta (14,28 persen) penduduk usia kerja, tetapi juga 88 persen perusahaan. Hal ini tecermin dari kerugian opera- sional perusahaan, menurunnya penjualan, pengurangan produksi, dan angka PHK. Survei sejumlah lembaga menunjukkan, tekanan pada dunia usaha dan tren PHK masih terjadi di 2021, termasuk di usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang adalah fokus gelontoran stimulus pada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 dan 2021.
Pengangguran juga bertambah dengan 2,6 juta tambahan angkatan kerja baru yang juga tak terserap. Sejumlah ekonom mengingatkan untuk mewaspadai efek lain dari transformasi pascapandemi terhadap lapangan kerja. Salah satunya, percepatan digitalisasi yang membuat kemampuan serap tenaga kerja oleh sektor riil juga menurun.
Seberapa cepat dan kuat pemulihan ekonomi terjadi akan bergantung pada kemampuan kita mengatasi pandemi. Kian lama keluar dari krisis kesehatan, makin lambat kita pulih. Vaksinasi yang mulai digeber pemerintah memberikan harapan, tetapi tak secepat diinginkan karena kendala ketersediaan vaksin. Bayang-bayang ancaman mutasi virus yang sudah masuk ke sejumlah provinsi bisa membuat pemerintah sewaktu-waktu memperketat kembali mobilitas masyarakat.
Situasi ini membuat gambaran ketenagakerjaan dan sektor riil masih berat ke depan. Implikasinya, selain perlindungan sosial untuk meningkatkan daya beli dan menggerakkan konsumsi rumah tangga, stimulus untuk pelaku usaha juga masih harus menjadi komponen penting dalam PEN 2021. Dunia usaha berharap program stimulus dilanjutkan dalam fase pemulihan ekonomi ini, termasuk stimulus perpajakan, pembiayaan, dan perpanjangan waktu program jaminan kredit ke korporasi.
Tak ada pilihan selain menggenjot pemulihan ekonomi lebih cepat. Harapan besar digantungkan dunia usaha pada UU Cipta Kerja yang diyakini bisa memacu investasi pada 2021. Tantangannya di tingkat pelaksanaan. Tugas kabinet untuk memastikan ini berjalan optimal, termasuk mengatasi kendala birokrasi dan struktural yang ada.