Stimulus dan Investasi Tekan PHK
Pemerintah perlu lebih cepat dan tepat dalam melindungi usaha formal, antara lain, dengan mendorong investasi agar dapat menyerap kembali angkatan kerja yang menganggur.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 sejak 2020 menyebabkan tingkat pemutusan hubungan kerja, yang berkontribusi pada angka pengangguran, mencapai tingkat ekstrem dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah pun perlu lebih cepat dan tepat dalam melindungi usaha formal, antara lain, dengan mendorong investasi agar dapat menyerap kembali angkatan kerja yang menganggur.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang 2020, tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 386.877 orang. Angka ini melonjak drastis dibanding 18.911 orang yang di-PHK di 2019 dan 27.687 orang di 2018.
Direktur Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Retno Pratiwi, dalam diskusi daring bersama Asosiasi Jurnalis Indonesia, Selasa (9/3/2021), menyebut, data inkrah yang masuk dari daerah ataupun data yang diambil dari klaim Jaminan Hari Tua (JHT) tersebut terbilang ekstrem.
”Padahal, dari tahun ke tahun tren PHK sudah semakin menurun, terakhir sampai di 2019. Namun, begitu pandemi Covid-19 terjadi di tahun 2020, angkanya menjadi lumayan ekstrem karena jauh di atas rata-rata,” ujarnya.
Tenaga kerja yang terkena PHK juga ikut menyumbang angka pengangguran di 2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020, terdapat 29,12 juta orang atau 14,28 persen penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19. Angka ini terdiri dari pengangguran karena Covid-19 sebanyak 2,56 juta orang, yang terjadi akibat berhenti bekerja dan usaha terhenti.
Kemudian, bukan angkatan kerja (BAK) karena Covid-19 sebanyak 0,76 juta, tidak bekerja karena Covid-19 sebanyak 1,77 juta orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 sebesar 24,03 juta orang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani memperkirakan jumlah tenaga kerja yang di-PHK lebih sedikit dari karyawan yang dirumahkan, dipaksa cuti di luar tanggungan pemberi kerja (unpaid leave), dan diputus kontrak. Hal ini disebabkan banyak perusahaan tidak mampu membayar pesangon.
Sementara itu, perusahaan berpotensi kehilangan banyak pekerja karena kebijakan di luar PHK. Ia mencontohkan industri pariwisata yang paling terdampak pandemi. Ia memperkirakan, 80 persen perusahaan terpaksa melakukan efisiensi. Efisiensi juga membuat tenaga kerja harus melakukan banyak pekerjaan.
Dengan adanya potensi pemulihan ekonomi pada 2021, Hariyadi menilai, situasi ini akan direspons pemberi kerja dengan menarik kembali tenaga kerja. Di sisi lain, tren efisiensi akan mengurangi kebutuhan tenaga kerja 10-30 persen dari kondisi sebelum pandemi.
”Jadi, kapasitas pekerja formal akan terkoreksi karena banyak pemberi kerja selama setahun ini dipaksa efisien karyawan. Lantas, jadi kebiasaan. Nah, 10-30 persen tenaga kerja yang hilang ini akan lari ke investasi baru,” kata Hariyadi kepada Kompas.
Investasi, menurut dia, penting untuk mengompensasi berkurangnya lapangan pekerjaan formal. Tren investasi pun cenderung positif sejak 2020. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, total realisasi investasi pada 2020 sebesar Rp 826,3 triliun. Angka ini melampaui target yang ditetapkan Rp 817,2 triliun. Ini juga lebih besar dari realisasi 2019 sebesar Rp 809,6 triliun.
Baca juga : Tak Jadi PHK, Malah Tambah Tenaga Kerja karena Digitalisasi
Hariyadi juga menyebut, angka penyerapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi tumbuh dari 1.277 tenaga kerja di 2019 menjadi sekitar 1.400 tenaga kerja di 2020. Sementara itu, implementasi Undang-Undang Cipta Kerja juga dinilai akan meningkatkan investasi.
”Diharapkan ini akan simultan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua atau ketiga tahun ini yang akan lebih baik dari tahun lalu,” ujarnya.
Pemerintah juga diharapkan tetap membantu mengintervensi keuangan pelaku usaha formal dengan memberi modal kerja dan restrukturisasi utang supaya lebih fleksibel.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal, yang dihubungi terpisah, berpendapat, selain investasi, stimulus dunia usaha juga tetap perlu jadi perhatian pemerintah di masa pemulihan ekonomi. Stimulus di dunia usaha diperlukan untuk mengurangi arus PHK dan mengurangi beban biaya operasional perusahaan.
”Subsidi gaji seperti yang dikeluarkan pemerintah tahun lalu juga bisa membantu. Namun, subsidi ini lebih diarahkan ke pelaku usaha yang paling terdampak sektor usahanya,” ujarnya.
Pemerintah juga diharapkan tetap ikut mendukung perbaikan iklim usaha di sektor informal yang dipastikan akan menyerap lebih banyak angkatan kerja yang menganggur. ”Bantuan usaha mikro lewat dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) jadi bagian untuk menjaga daya tahan pelaku usaha informal, yang umumnya tidak punya status badan usaha,” pungkasnya.
Laporan BPS Agustus 2020 mencatat, jumlah pekerja informal bertambah 4,59 persen poin menjadi 60,47 persen dibanding periode yang sama pada 2019 yang hanya sebesar 55,88 persen.
Sementara itu, pada periode sama, pekerja formal menurun hingga 4,59 persen poin dari 44,12 persen pada Agustus 2019 menjadi 39,53 persen pada Agustus 2020. Penurunan terutama terjadi pada kategori buruh, karyawan, dan pegawai. Penyusutannya mencapai 4,28 persen poin menjadi 46,7 juta orang.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Untuk mengantisipasi tenaga kerja kehilangan hak finansial saat di-PHK, pemerintah mengembangkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan adanya UU Cipta Kerja. Program yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) tersebut akan membantu pekerja mendapatkan jaminan uang, pelatihan kerja, hingga akses informasi ke lapangan pekerjaan.
Retno Pratiwi memastikan, pekerja dengan semua bentuk perjanjian kerja bisa mendapat manfaat JKP. Pada 2021, pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 6 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jaminan itu juga didapat dari rekomposisi iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Baca juga : Manfaat Tak Diterima Segera oleh Pekerja yang Di-PHK
”Program ini sudah jalan 2 Februari 2021. Kami harap kita bisa sama-sama mengawasi ini dan mendukung terlaksananya program ini dengan mendaftarkan lebih banyak pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan,” katanya.
Sampai 2020, kepesertaan BP Jamsostek baru mencapai 51,75 juta pekerja. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja per Agustus 2020 mencapai 128,45 juta orang.
Peserta program JKP di BP Jamsostek akan mendapatkan manfaat selama enam bulan jika terkena PHK. Besaran manfaat yang akan diterima sebesar 45 persen dari upah selama 3 bulan setelah di-PHK dan 25 persen pada bulan berikutnya.
”Selain manfaat uang tunai, pekerja yang di-PHK juga akan dapat akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja berbasis kompetensi sehingga bisa mengantongi sertifikasi,” kata Retno.
Dinna Prapto Raharja selaku Co-Founder Synergy Policies mengapresiasi inisiatif pemerintah tersebut. Kendati JKP berbeda dengan konsep asuransi pengangguran yang diciptakan Organisasi Buruh Internasional (ILO), ia menilai, pemerintah Indonesia memang harus dibiasakan mengalokasikan anggaran untuk jaminan sosial.