Bencana hidrometeorologi yang datang tiap tahun semestinya menjadi pembelajaran yang kita tekuni duduk soalnya. Tak kalah pentingnya, kita tidak lupa merampungkan pekerjaan rumah yang ada, seperti pengerukan sungai.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Jangan salahkan hujan. Kita garis bawahi judul berita di harian ini, Kamis (25/2/2021). Meski, kita tahu, hujan lebat penyebab berbagai bencana hidrometeorologi.
Bencana itu, seperti banjir, bendungan jebol, tanah longsor, dan jalan tol ambles, beberapa hari terakhir ini terjadi di Tanah Air. Kita apresiasi peringatan yang sebelumnya dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), misalnya untuk cuaca ekstrem pada 17-20 Februari 2021, juga untuk periode 23 Februari 2021 hingga beberapa hari ke depan.
Didukung instrumen pengamatan yang kian canggih, kita mendapatkan prakiraan cuaca yang akurat. Semua tentu tidak harus berhenti sebagai informasi, tetapi harus menjadi pijakan aksi untuk mengurangi potensi dampak.
Hal ini kita tegaskan mengingat belum ada aksi signifikan dari negara di dunia ini untuk mengerem laju pemanasan global, yang memicu cuaca ekstrem. Karena itu, setidaknya sejak pertengahan dekade lalu, kita membaca berita terjadinya tahun terpanas pada tahun yang baru lewat dalam dekade, atau bahkan seabad terakhir.
Efek pemanasan global mewujud dalam fenomena ekstrem pada siklon, tornado, kenaikan suhu permukaan bumi yang kian menyengat, curah hujan sangat tinggi, atau kekeringan parah. Terkait prakiraan hujan lebat pada 24 Februari lalu, yang diramalkan akan mengguyur sejumlah wilayah, termasuk Jakarta dan sekitarnya, setidaknya hingga menjelang tengah hari tidak terjadi. Hal ini banyak dikaitkan dengan upaya TNI Angkatan Udara serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang mengalihkan awan kumulonimbus pembawa hujan dari daerah yang semula diramalkan terancam ke laut.
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) melibatkan pesawat CN-295 dan C-212 yang menebarkan garam tidak kurang dari 4 ton untuk pemindahan awan yang bisa mengancam kawasan Ibu Kota dan sekitarnya. Kita menilai langkah yang beberapa kali dilakukan ini inovatif dan bermanfaat untuk pencegahan banjir yang menyusahkan banyak warga.
Namun, TMC bukan solusi permanen. Harus ada perbaikan lingkungan di kawasan hulu yang dilaporkan rusak karena penggundulan, selain normalisasi sungai, penguatan sistem drainase perkotaan, dan pengelolaan tata kota yang baik.
Hanya dengan pendekatan komprehensif, disertai mitigasi dan pemonitoran yang teratur, upaya menanggulangi bencana hidrometeorologi, juga bencana lain, lebih sebagai upaya antisipatif daripada reaktif.
Boleh jadi di masa pandemi, bencana menjadi masalah tambahan yang memerlukan perhatian ekstra, selain menambah kompleksitas penanggulangan. Namun, solidaritas membuat upaya pertolongan terasa ringan.
Di luar itu, bencana hidrometeorologi yang datang setiap tahun semestinya menjadi pembelajaran yang seharusnya kita tekuni duduk soalnya. Tidak kalah pentingnya, kita tidak lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang ada, seperti pengerukan sungai atau pembesaran gorong-gorong. Semestinya hal itu kita lakukan jauh hari sebelum musim hujan tiba.
Hujan niscaya datang setiap tahun, dan kita yakin akan kian hebat. Fakta ini pasti menuntut upaya lebih dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya.