Jangan Salahkan Hujan, Perkuat Mitigasi
Hujan ekstrem semakin sering terjadi seiring laju pemanasan global sehingga meningkatkan ancaman bencana. Namun, banjir hanya terjadi jika kita gagal memitigasi dan mengelola lingkungan.
Dalam lima tahun terakhir, kita semakin sering menyaksikan pecahnya rekor hujan ekstrem di berbagai daerah. Perubahan iklim yang telah hadir berisiko memicu perubahan pola hujan, dengan salah satu cirinya meningkatnya frekuensi dan curah hujan harian. Namun banjir adalah soal tata kelola.
Peneliti perubahan iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto terkejut saat malam itu menyaksikan perubahan tiba-tiba citra radar di atas wilayah Jakarta pada Jumat (19/2/2021). Hanya dalam kurun satu jam, atmosfer Jakarta yang semula cerah mulai tertutup awan dan turun hujan lebat.
Berikutnya, pukul 12.00 WIB, sel awan makin banyak bergerombol hingga menjadi kluster awan multisel yang sangat besar dan memicu hujan lebat yang merata. Hujan ekstrem kemudian terjadi hingga Sabtu (20/2/2021) dini hari dan bertahan hingga sekitar pukul 05.30 WIB.
Fenomena ini, menurut Siswanto, disebut sebagai meso-scale convective system (MCS). ”Malam itu, langit Jakarta seperti ditumpahi dengan cat. Karena malam tidak kelihatan mendungnya, tetapi di radar jelas sekali terlihat perubahan tiba-tiba itu,” katanya.
Baca juga: Indonesia Waspadai Potensi Hujan Lebat Selama Sepekan Ke Depan
Catatan BMKG menunjukkan, setidaknya ada lima daerah di Jakarta yang mengalami hujan ekstrem pada hari itu, dengan kriteria di atas 150 milimeter (mm) per hari. Di pos hujan Pasar Minggu, intensitasnya mencapai 226 mm per hari, merupakan rekor tertinggi di daerah ini sejak 2008. Di Sunter Hulu intensitasnya 197 mm per hari, urutan ke-2 tertinggi sejak 2008.
Malam itu, langit Jakarta seperti ditumpahi dengan cat. Karena malam tidak kelihatan mendungnya, tetapi di radar jelas sekali terlihat perubahan tiba-tiba itu.
Sementara di Halim, intensitasnya 176 mm merupakan urutan ke-5 tertinggi sejak tahun 2000, Lebak Bulus 154 mm merupakan ranking ke-2 sejak 2008, dan Ragunan 150 mm merupakan ranking ke-3 sejak 2008.
Intensitas hujan ini memang tak seekstrem tahun sebelumnya. Menurut data BMKG, intensitas hujan tertinggi pada 1 Januari 2020 tercatat di Halim sebesar 377 mm, merupakan rekor sepanjang 150 tahun pencatatan hujan di Jakarta. Intensitas hujan di Jakarta ini merupakan rekor tertinggi kedua di Indonesia.
Tak hanya di Jakarta, data BMKG juga merekam lima tahun terakhir, rekor hujan tertinggi telah pecah di sejumlah daerah. Sejauh ini, rekor hujan tertinggi di Indonesia terjadi di Minangkabau 384,1 mm pada 17 Juni 2016. Berikutnya, rekor hujan tertinggi ketiga terjadi di Yogyakarta, yaitu 364,1 mm pada 29 November 2017, Paloh di Kalimantan Barat sebesar 327,5 mm pada 7 Desember 2019, dan di Kalimantan Selatan 270 mm pada 14 Februari 2021.
”Pola hujan memang berubah. Kalau catatan 100 tahun lalu, hujan di Jakarta itu bisa berlangsung berhari-hari, tapi intensitasnya sedang. Sekarang, hujan cenderung sangat lebat dengan durasi 3 jam atau kurang,” kata Siswanto, yang menulis disertasi tentang perubahan iklim dan pengaruhnya pada pola hujan di Jakarta. Untuk Jakarta, kalau hujannya terjadi pada dini hari hingga pagi hari, maka peluangnya menjadi ekstrem perlu diwaspadai.
Intensitas dan durasi
Kajian Siswanto di jurnal Royal Meteorological Society (2015) menyebutkan, pada 1866-2010, jumlah hari hujan di Jakarta berkurang, tetapi proporsi curah hujan lebat melebihi 50 mm per hari dan 100 mm per hari pada total hujan tahunan, naik signifikan. Jadi, meski total curah hujan tahunan menurun, frekuensi hujan ekstrem skala jam atau harian meningkat.
Selain intensitasnya, perubahan juga terjadi dengan durasinya. Hujan lebat berdurasi pendek (1-3 jam) di Jakarta meningkat signifikan secara statistik. ”Adapun hujan berdurasi menengah (4-6 jam), dan durasi lama (lebih dari 6 jam) juga meningkat meski belum terlalu tinggi,” katanya.
Kajian oleh Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim BMKG Supari dipublikasikan di International Journal of Climatology (2016) menunjukkan, dalam tiga dekade terakhir, peningkatan curah hujan tahunan terjadi di sisi utara khatulistiwa (Sumatera bagian tengah dan utara, Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian tengah dan utara). Sementara di sisi selatan khatulistiwa justru menurun jika dilihat rata-rata tahunannya.
”Berdasarkan studi iklim jangka panjang yang pernah saya lakukan, seharusnya perubahan iklim akan membuat wilayah Indonesia di selatan ekuator, termasuk Jawa cenderung lebih kering. Demikian sebaliknya wilayah di utara ekuator lebih basah,” ungkapnya.
Baca juga: Banjir di Keerom Semakin Meluas
Namun, kajian ini belum memasukkan variabel intensitas hujan dalam skala musiman atau harian, yang ternyata bisa lebih ekstrem. ”Jadi, sekalipun ada faktor perubahan iklim yang berdurasi panjang, setiap hujan ekstrem selalu ada latar belakang meteorologi berbeda,” ungkapnya.
Sebagai contoh, hujan ekstrem di Kalimantan Selatan pertengahan Januari lalu dipicu adanya zona konvergensi antartropis (inter tropical convergence zone/ ITCZ) berbarengan dengan puncak musim hujan di wilayah ini.
Zona konvergensi ini bergeser perlahan ke arah selatan lalu memicu hujan ekstrem di atas Jawa di awal Februari 2021, dan berangsur bergeser ke bagian selatan. Sementara hujan ekstrem di Jakarta beberapa hari lalu disebabkan fenomena arus lintas ekuator berbarengan dengan penguatan munson.
Peningkatan suhu
Sejumlah kajian menunjukkan, perubahan pola hujan telah terjadi di berbagai belahan dunia, dan ini tidak bisa dilepaskan dengan peningkatan suhu dan kelembaban. Dengan menganalisis data satelit dan data stasiun seluruh dunia, Lau dan Wu (2007) mencatat pergeseran signifikan distribusi fungsi probabilitas hujan tropis pada 1979-2003. Terdapat kenaikan kejadian hujan kategori lebat (10 persen curah tertinggi) dan hujan ringan (5 persen curah hujan terendah).
Sementara itu, kajian G Lenderink dari Royal Netherlands Meteorological Institute dan tim di Hydrology and Earth System Sciences (2011) menemukan peningkatan hujan ekstrem seabad terakhir di De Bilt, Belanda, dan Hong Kong. Itu dipengaruhi perubahan kelembaban udara di dekat permukaan.
Sesuai teori Clausius-Clapeyron, setiap peningkatan suhu 1 derajat celsius akan meningkatkan kelembaban udara permukaan dan hujan ekstrem per jam sebesar 7 persen. Namun, di Hongkong dan De Bilt, terjadi anomali dengan kenaikan 14 persen.
”Ternyata kajian saya di Jakarta juga menemukan, kenaikan suhu di Jakarta telah memicu peningkatan hujan ekstrem per jam sebesar 14 persen atau dua kali lipat dibandingkan hubungan Clausius-Clapeyron. Perlu dicatat, kenaikan suhu di Indonesia sudah mencapai 1,6 derajat celsius dibandingkan periode tahun 1850-an,” kata Siswanto.
Baca juga: Laju Perubahan Iklim Kian Cepat, Dampaknya Menguat
Kegagalan kita mengerem laju pemanasan global berarti meningkatkan potensi hujan ekstrem. Namun, risiko bencana selain dipengaruhi skala ancamannya, terutama ditentukan kapasitas kita dalam melakukan mitigasi. Bahkan seandainya ancamannya tak meningkat, tetapi kapasitas manusia dan daya dukung lingkungan menurun, risiko bencana meningkat.
Dengan tren meningkatnya hujan ekstrem ini, daya dukung lingkungan seharusnya diperbaiki. Hujan akan menjadi banjir tergantung bagaimana kondisi permukaannya. Jika area resapan air kurang dan terjadi penurunan muka daratan, seperti terjadi di Jakarta dan Semarang, risiko banjir pasti meningkat.