Kita wajib mewaspadai semua kejadian ikutan pasca-vaksinasi, tetapi tetap dengan sikap kritis, ”check and recheck” terhadap setiap informasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Setelah vaksinasi pencegahan Covid-19 berlangsung di sejumlah daerah, kita memasuki tahap baru: mewaspadai kejadian yang mungkin muncul pasca-vaksinasi.
Kenyataannya, kejadian yang akan dikaji secara ilmiah berkejaran dengan informasi di media sosial. Info terakhir, misalnya, adalah meninggalnya Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Tamalatea, Makassar, Dr Eha Soemantri, SKM, MKes, Jumat (19/2/2021). Ia dikabarkan meninggal karena Covid-19, padahal sudah dua kali divaksinasi.
Kita turut berdukacita atas berpulangnya Eha Sumantri. Namun, dengan segala hormat, kabar ini perlu diluruskan. Menurut Humas RS Wahidin Sudirohusodo, hasil pemeriksaan terakhir, almarhumah negatif Covid-19 sehingga bisa dibawa pulang keluarganya (Kompas.id, 22/2/2021).
Dalam situasi pandemi yang membutuhkan harapan, pemberitaan semacam itu memang memprihatinkan. Data Komnas Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) menunjukkan, berdasarkan laporan 22 provinsi, ada 5 dari 10.000 kejadian ikutan pasca-imunisasi kategori ringan dan 42 dari 1 juta kasus dalam kategori serius. Namun, tidak ada kasus yang memicu kematian (Kompas, 23/2/2021).
Kita tahu, sejak cara yang disebut vaksinasi atau imunisasi dipublikasikan Edward Jenner 1797—tiga perempat abad kemudian mengilhami Louis Pasteur membuat vaksin pencegah antraks dan Robert Koch untuk tuberkulosis—upaya ini menjadi cara paling mudah, murah, dan efektif untuk mencegah penyakit menular.
Vaksinasi metode Jenner menggunakan materi cacar pada sapi, sementara Pasteur dan Koch menggunakan bakteri yang dilemahkan. Dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, vaksin Covid-19 juga dibuat melalui rekayasa genetika.
Dr Katherine O’Brien dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjamin, semua komponen dalam vaksin sudah melalui uji ketat. Setelah menjadi vaksin pun, masih melalui uji pada binatang dan uji klinis yang melibatkan puluhan ribu sukarelawan.
Meski demikian, memang ada beberapa reaksi ringan yang mungkin muncul pasca-vaksinasi. Di Inggris, kemungkinan reaksi yang muncul adalah demam, sedikit bengkak di bekas suntikan, menggigil, pusing, rasa lelah, dan lemas. Sebenarnya ini tidak jauh beda dengan anak-anak yang menerima imunisasi dasar saat bayi dan usia balita. Namun, pembuatan vaksin yang dikebut—biasanya minimal sembilan tahun sekarang hanya setahun—bisa menjadi pemicu kekhawatiran.
Pertanyaan sejauh mana kekebalan dihasilkan, apakah bisa bertahan seumur hidup atau hanya seumur jagung, juga belum bisa dijawab. Yang ada adalah upaya mengikuti mereka yang telah menerima vaksinasi dan mencatat perkembangannya.
Pada akhirnya, kita harus percaya bahwa otoritas kesehatan sudah melakukan tugasnya sesuai prosedur dan tata cara yang baik dan benar. Kita tentu saja wajib mewaspadai semua kejadian ikutan pasca-vaksinasi, tetapi tetap dengan sikap kritis, check and recheck terhadap setiap informasi.