Lawar Penawar Rasa Lapar
Kalau kau nanti sempat mengonsumsi lawar klungah, kunyah perlahan dan kenangkanlah segala penderitaan rakyat saat-saat ”melawan” dalam ketakberdayaan yang sungguh menyayat. Niscaya kau akan ikhlas berbagi dan mencintai.
Aku masih ingin mengajakmu ke masa lalu. Masa laluku adalah kampung halaman dengan segala pahit getir dan suka cita kenangan di dalamnya. Ada kisah luka dan penderitaan rakyat yang hari ini ingin kubagi kepadamu.
Belum begitu lama, tetapi setidaknya sudah berlangsung sekitar 80 tahun yang lalu. Saat itu pasukan Jepang mulai menguasai Indonesia, mereka berkedok sebagai ”saudara tua” yang ingin membebaskan Asia dari penjajahan bangsa Eropa.
Sebagai ”saudara tua” yang sedang berperang, maka segala kebutuhan logistik untuk memenangkan peperangan di Asia Timur Raya ”ditanggung” bersama. Sederhananya, jika negeri seperti Hindia Belanda (Indonesia) ingin bebas dari penjajahan, maka harus turut membiayai perlawanan Jepang terhadap Amerika dan para sekutunya, seperti Belanda dan Inggris.
”Jadi padi-padi kami semua diambil tentara Jepang, katanya untuk mendukung perang,” kata Pekak Mokoh. Kau masih ingat kan dengan Pekak Mokoh, kakeknya Putu Gede itu, yang sudah kuceritakan pekan lalu?
Sekarang kau bisa bayangkan, bagaimana manusia harus berebut dengan hewan untuk mengonsumsi bonggol pisang.
Ia memang salah satu orang tertua di kampungku yang sering kali bercerita tentang masa lalunya. Pekak Mokoh suka membandingkan penderitaan saat dijajah Belanda dengan situasi saat penjajahan Jepang. ”Jepang sebentar, tapi rakyat melarat, semua orang tak bisa makan,” katanya.
Tak hanya itu, sebagian besar rakyat menggunakan baju dari karung goni karena tak ada kain. Baju karung goni mudah kutuan dan itu membuat rakyat semakin jatuh ke jurang penderitaan terdalam. Hampir seluruh tubuh penggunanya gatal-gatal dan kudisan.
”Selalu ada cara untuk bertahan,” kata Pekak Mokoh.
Orang tua ini memang dikenal optimistik. Rakyat di Bali belahan barat berusaha mencari sumber-sumber pangan setelah padi dirampas tentara Jepang. Saat umbi-umbian, seperti singkong, ketela, gadung, dan talas, habis, rakyat mengonsumsi pisang muda, pisang batu, bungkil pisang, dan klungah.
Jadi kalau sekarang kau mengenal berbagai jenis lawar ”aneh” dari daerah Jembrana, seperti lawar klungah, lawar biu batu, atau lawar bungkil, itu tak lain ”dilahirkan” dari kecamuk penderitaan. Lawar bungkil, misalnya, diciptakan dari bonggol pisang batu yang diserut dan kemudian diramu dengan base genep (bumbu lengkap).
Baca juga: Teman Kecil di Pusaran Kebiadaban
Tahun 1970-an, aku ingat, ketika kakekku, I Ketut Nada, meninggal, warga banjar membuat lawar bungkil. Pamanku, I Ketut Wentra, yang kebetulan tukang kayu, bertugas sebagai penyerut bonggol pisang. Serutannya mirip lembaran kayu, tipis-tipis tetapi lembut dan berair.
Sekarang kau bisa bayangkan, bagaimana manusia harus berebut dengan hewan untuk mengonsumsi bonggol pisang.Bungkil tak lain sisa dari pohon pisang yang sehari-hari ”hanya” dikonsumsi oleh sapi atau babi.
Pada masa pendudukan Jepang, makanan hewan itu pun akhirnya dimakan pula oleh rakyat yang kelaparan. Ah, aku jadi ingat tembang ”Genjer-genjer” yang diciptakan M Arief (1943) dan dinyanyikan secara merdu-mengiris oleh Lilis Suryani tahun 1960-an.
Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat bahwa lagu ini sama sekali tidak berkaitan dengan komunisme. ”Genjer-genjer” benar-benar tercetus dari relung penderitaan rakyat yang terjadi pada masa pendudukan Jepang. Coba kita simak sebait dari syairnya:
//Genjer-genjer nong kedokan pating keleler/Genjer-genjer nong kedokan pating keleler/Emake thulik teka-teka mbubuti genjer/Emake thulik teka-teka mbubuti genjer/Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih/Genjer-genjer saiki wis digawa mulih…//
(Genjer-genjer di selokan berhamparan/Genjer-genjer di selokan berhamparan/Ibu si bocah datang mencabuti genjer/Ibu si bocah datang mencabuti genjer/Dapat sebakul dia berpaling tanpa melihat/Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang…//
Syair lagu ini hanya menceritakan ibu seorang bocah yang memetik genjer-genjer di sebuah selokan, lalu menjualnya ke pasar berjejer-jejer. Seorang ibu lain membelinya dan menaruhnya di wadah dari bambu. Cuma genjer-genjer itulah yang dijadikan lauk-pauk untuk menemani nasi. Ya cuma itu!
Secara tersirat lagu yang berasal dari tembang dolanan di daerah Banyuwangi ini mengungkapkan penderitaan yang harus ditanggung rakyat ketika Jepang menjajah Indonesia. Rakyat melawan dalam kemiskinan yang mencekam; mencoba bertahan walau kelaparan pun menyayat setiap saat.
Baca juga: Puisi Amanda Gorman, Mesin Pencuci Daki dan Tirani
Kau tahu, genjer-genjer (Limnocharis flava L) di kampungku disebut dengan biah-biah, sejenis gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Gulma jenis ini selalu disingkirkan dengan cara ditenggelamkan ke dasar lumpur atau dibuang ke selokan.
Tetapi begitulah, gulma selalu punya cara untuk tumbuh kembali. Saat panen usai dan petani bersiap kembali mengolah tanah untuk menanam padi, genjer-genjer hidup lebih dahulu.
Ia liat untuk terus bertahan dalam situasi yang tidak menguntungkan sekali pun. Bukankah itu pula makna tersirat dari lagu ini? Meski menjadi gulma, suatu hari hidup itu sungguh berguna pula!
Selain dicampakkan, para petani di kampungku biasanya mencabuti genjer-genjer untuk kemudian diolah sebagai makanan babi. Niscaya babi-babi peliharaan akan dengan lahap mencaploknya sehingga berat badannya cepat bertambah.
Baca juga: Paradoks Ayam Pembawa Keberuntungan
Kira-kira kenyataan pahit semacam itulah yang kemudian melahirkan lawar bungkil dan lawar klungah. Jikalau bungkil sekarang jarang diolah lagi, itu jelas karena makanan jenis ini kurang menjanjikan sensasi rasa dan gizi yang memadai. Walaupun sudah diserut dan direbus, rasa bungkil pisang tetap anyep dan perak.
Selain itu, bungkil sangat boros bumbu. Oleh sebab itu, lawar bungkil kini sering kali dicap ”nista” oleh kebanyakan warga, bahkan dianggap menjatuhkan harga diri keluarga di tengah-tengah masyarakat.
Lawar klungah menjadi pangan alternatif ketika buah kelapa (tua) sudah habis dikonsumsi karena desakan kelaparan. ”Tinggal kelapa yang masih muda, maka tempurungnya yang kita makan,” kata Pekak Mokoh. Rasa lawar klungah jauh lebih sensasional. Irisan klungah yang telah direbus dan diperas memiliki tekstur mirip daging.
Ketika gigimu memotongnya, samar-samar kau akan membayangkan sensasi potongan daging. Rasa nyes itu mirip daging sapi yang dipotong tipis-tipis. Tekstur ”daging” klungah yang melayangkan fantasi itu kemudian perlahan ditimpa base genep yang pedas dan asin. Rasa kuliner Bali yang otentik pada akhirnya menjadi ingatan terakhir pada lidahmu.
Menurut almarhum kakekku dari Ibu, I Nyoman Wila, penderitaan memaksa rakyat mencari jalan keluar untuk meneruskan hidupnya. Kebetulan, kata kakek suatu hari, di daerah Bali barat menghampar pohon kelapa di kebun-kebun milik petani. ”Karena kelapanya sudah habis, maka batoknya yang dimakan,” tutur kakek.
Tahun 1960-an, tambah kakek, lawar klungah mulai disajikan sebagai bagian dari sajen tepat di hari raya Kuningan. Pada mulanya, sajen itu dimaksudkan sebagai penghormatan kepada para leluhur yang telah memberikan ”ilmu” lawar yang unik, sebagai cara generasi manusia meneruskan hidup. Sebelumnya, dalam tatanan ritual, klungah hanya diambil airnya sebagai simbolisasi dari air suci, air yang dihasilkan oleh semesta melalui pohon kelapa.
”Tempurungnya kemudian dipungut dan dijadikan lawar. Itulah yang dianggap sebagai persembahan paling mewah pada saat kita melarat. Maka, yang terbaiklah yang kita berikan kepada leluhur,” kata kakek.
Sekadar kau tahu, kakekku ini ahli dalam ilmu wariga, pawukon, dan perbintangan tradisional. Bapak juga belajar darinya dalam menentukan hari-hari baik untuk melaksanakan upacara.
Oh ya maaf, aku belum memberi tahumu tentang lawar. Lawar tak lain berupa racikan daging cincang dan sayuran yang dibumbui dengan bumbu lengkap alias base genep. Sayuran dalam lawar bisa berupa nangka muda, kacang panjang, parutan kelapa, daun belimbing, atau varian lain. Lawar bungkil dan lawar klungah menjadi istimewa karena lahir dari rahim penderitaan rakyat.
Dalam lontar Dharma Caruban, kitab pedoman memasak untuk tujuan ritual, secara jelas disebutkan bahwa lawar adalah salah satu jenis kuliner yang dibuat untuk kepentingan persembahan. Kitab ini bahkan menyebutkan tentang makna dari bumbu-bumbu yang digunakan untuk meramu lawar.
Warna merah pada bawang, misalnya, perlambang Dewa Brahma, putih pada bawang putih perlambang Dewa Siwa, dan hitam pada terasi perlambang Dewa Wisnu. Tentu banyak bumbu lain, seperti kencur, laos, kunyit, cabai, dan sereh, yang juga menjadi perlambang kekuatan para dewata.
Pertemuan unsur-unsur alam semesta, seperti daging, sayuran, dan base genep, secara seutuhnya menjadi perlambang keharmonisan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
”Lawar itu lambang keharmonisan alam semesta dan segala isinya. Jadi ini makanan para dewa,” kata kakek. Ia terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang melengkung terbungkuk-bungkuk.
”Mengapa tertawa?” kataku mencari tahu.
”Sekarang orang berebut menyantapnya.”
”Karena ingin dapat berkat dari dewa?”
”Mungkin begitu,” jawab kakek santai.
Aku baru saja berpikir bahwa lawar klungah telah menjadi penyelamat rakyat Jembrana dari bencana kelaparan. Dewata telah memberi berkat melalui pohon kelapa dan para leluhur. Sudah sepantasnya sampai kini lawar klungah selalu disajikan saat-saat perayaan hari istimewa seperti Kuningan.
Hari yang menurut perhitungan pawukon jatuh pada Saniscara (Sabtu), Kliwon, Kuningan dalam enam bulan sekali ini, menjadi hari istimewa di mana para dewa dan leluhur turun ke dunia memberi berkah. Oleh sebab itulah, ”mereka” harus dijamu dengan masakan yang paling istimewa.
Harap jangan berpikir bahwa lawar klungah di masa penjajahan Jepang diselipi dengan daging cincang. Jangankan punya daging, karena babi-babi telah dirampas serdadu Jepang, sayuran pun seperti ”hilang tumbuh patah berganti”. Artinya, sudah tandas sampai ke pucuk-pucukya karena dikonsumsi rakyat sebelum benar-benar tumbuh kembali.
Sebenarnya, jika kau bisa menyantap lawar klungah di beberapa rumah makan di Denpasar, kau tak hanya mengenangkan penderitaan rakyat, tetapi juga memperoleh berkat dari para dewata. Sambil mengunyah potongan-potongan ”daging” tempurung kemelaratan itu, samar-samar pula kita ingat kekejaman tentara Jepang.
Lumbung-lumbung rakyat yang menjadi harapan terakhir di masa gagal panen dikuras habis. ”Siapa yang nolak bisa ditembak…,” kata Pekak Mokoh.
Sebenarnya, jika kau bisa menyantap lawar klungah di beberapa rumah makan di Denpasar, kau tak hanya mengenangkan penderitaan rakyat, tetapi juga memperoleh berkat dari para dewata.
Ia ingat, lumbung kakekku yang berisi beberapa ikat padi dirampas secara paksa. Ketika kakek berusaha menjelaskan bahwa padi itu besar artinya bagi keluarganya, punggung kakek dipopor senapan. Jika saat-saat terakhir aku mengenal kakek bertubuh bongkok, tahun 1990-an ketika ia sudah berumur lebih dari 90 tahun, itu disebabkan hantaman dari popor senapan serdadu Jepang.
Kalau kau nanti sempat mengonsumsi lawar klungah, kunyah perlahan dan kenangkanlah segala penderitaan rakyat saat-saat ”melawan” dalam ketakberdayaan yang sungguh menyayat. Niscaya kau akan ikhlas berbagi dan mencintai segala hal yang pantas dicatat tebal-tebal dalam ingatan kita masing-masing.