Paradoks Ayam Pembawa Keberuntungan
Jika ingin mengatakan sifat kuat dan petarung, kita memilih idiom ayam jago. Sebaliknya jika mengejek seseorang yang lemah dan pecundang, kita memilih ungkapan ayam sayur. Cara kita memandang ayam hampir selalu paradoks.
Cara kita memandang ayam hampir selalu paradoks. Jika ingin mengatakan sifat-sifat kuat, macho, petarung dan selalu jadi pemenang, kita memilih idiom ayam jago. Sebaliknya, jika mengejek seseorang yang lemah, lembek, dan selalu jadi pecundang, maka kita memilih ungkapan ayam sayur. Salah-salah seperti kata orang Inggris, kau bisa disepelekan dengan ejekan “chicken shit”…
Lukisan-lukisan Affandi tentang sabung ayam atau ayam tarung hampir selalu memperlihatkan “kejagoan” dua ekor ayam yang sedang baku-hantam. Tradisi sabung ayam di kawasan Asia Tenggara, selain bernuansa judi, selalu menyisipkan nilai-nilai “kejagoan” di antara para lelaki pelakunya. Tradisi tajen (sabung ayam) di Bali, juga sebagian besar digeluti oleh para lelaki.
Bahkan dalam kepustakaan lokal ada sebuah lontar bernama Pengayam Ayaman, yang berisi jenis-jenis ayam jago dilihat dari bulu dan ciri-ciri khusus pada bagian tubuhnya. Tak sekadar itu, pada lontar ini juga diberi petunjuk, saran, dan pantangan dalam mengadu ayam.
Cara kita memandang ayam hampir selalu paradoks.
“Kalau mau menang, ikuti saran dalam lontar itu. Ayam jenis apa yang dijadikan musuh dan kapan harus pergi ke tajen,” kata seorang sepupu yang dulu penjudi sabung ayam.
Sejak menjadi wakil rakyat, sepupuku itu, memang menghentikan kegemarannya menjadi pesabung ayam. Dulu, katanya, ia mendapatkan lontar Pengayam Ayaman dari kakek kami. Bedanya, aku hampir terperosok jadi penjudi, sebelum “diselamatkan” seorang teman, yang “menculikku” menjadi seorang wartawan sampai kini.
Setidaknya, aku sedikit paham seperti apa aura di arena judi sabung ayam. Kalau seekor ayam menjadi pemenang, sering kali disebut melik, pembawa keberuntungan bagi pemiliknya. Gengsi dan harga diri pemiliknya pun turut naik di arena persabungan. Sebaliknya, jika seekor ayam kalah dalam pertarungan biasanya disebut cundang, atau bahkan distigma dengan nada “merendahkan” sebagai be cundang (lauk ayam pecundang).
Sebutan itu melekat sejak seekor ayam (jago) kalah dalam pertarungan, walaupun ia belum benar-benar mati. Di sini sering kali ada bagian paling horor dari arena sabung ayam. Ketika diberi cap cundang, karena kalah dalam pertarungan, walaupun belum benar-benar mati, seorang petugas khusus akan memotong bagian kakinya di mana taji diikat. Potongan bagian kaki itu menjadi hak dari pemilik taji. Itulah sebagian dari be cundang tadi…
Kisah-kisah berikut mungkin berkebalikan dari yang kita kenal selama ini. Barangkali pula ia lebih dekat dengan kisah-kisah inspiratif sebagaimana termuat dalam seri buku Chicken Soup for The Soul yang dikumpulkan oleh Jack Canfield dan Mark Victor Hansen.
Ungkapan chicken soup yang digunakan Jack dan Mark, alih-alih sangat berkebalikan dengan ungkapan ayam sayur di negeri ini. Jika chicken soup memberi kehangatan dengan ringan, kerja keras, terkadang ada keajaiban, dan segala sesuatu yang berkarakter positif seperti rasa sup ayam. Sementara ayam sayur bermakna sebaliknya. Seseorang yang disebut ayam sayur, berarti dia sungguh-sungguh lemah, tak berdaya, bermental lembek, dan selalu jadi pecundang dalam seluruh hidupnya.
Baca juga: Vaksin, dari Sapi Sampai Jokowi
Pasangan I Nyoman Suratna dan Ni Wayan Rarud sekitar awal tahun 1970-an, bekerja sebagai buruh pengaspal jalan. Mereka dipertemukan oleh jalanan untuk kemudian mengikat janji sebagai pasangan suami-istri. Setelah bekerja mengaspal jalan di kawasan Kintamani, Bangli, keduanya kemudian berpindah lokasi ke Bali barat, masih juga sebagai buruh. Tekad yang kuat untuk memperbaiki hidup, membuat Suratna dan Rarud memutuskan untuk berdagang.
“Istri saya jualan buah di Pelabuhan Ketapang (Jawa), sedang saya di Gilimanuk (Bali), tetapi kami menetap di Gilimanuk,” kata Suratna suatu hari. Rupanya berjualan buah bukan jalan keberuntungan pasangan ini. Hidup mereka hampir selalu dibayang-bayangi kekurangan.
Tahun 1978, Rarud mencoba memasak lima ekor ayam berdasarkan resepnya sendiri dan kemudian ditawarkannya kepada para sopir bus di kawasan Terminal Gilimanuk. Setelah itu, Suratna dan Rarud coba-coba membuat warung gedek agar tidak perlu mengasong setiap ekor ayam yang mereka masak.
Sejak itu, karena setiap hari pekerjaan Rarud mengupas bawang di depan sebuah tampah besar, para supir bus menjulukinya sebagai Men Tempeh (Ibu Tempeh). Sebutan “tempeh” itu berasosiasi pada tampah besar yang digunakan Rarud sebagai wadah segala jenis bumbu di warungnya. Secara kebetulan (mohon maaf), tubuh Rarud memang gempal dengan bentuk wajahnya yang cenderung melebar. “Cocok dengan istri saya,” kata Suratna.
Sejak itulah sebutan ayam betutu menjadi populer. Perlahan tetapi pasti, ayam betutu Men Tempeh di Gilimanuk menjadi jenis menu masakan Bali yang generik. Sejak tahun 1990-an, di kawasan Pelabuhan Gilimanuk menjamur puluhan warung ayam betutu yang “meniru” cara memasak Men Tempeh.
Kini, kau bisa pastikan banyak warung dan restoran ayam betutu di Denpasar, termasuk di kisaran Bandara Ngurah Rai, mengklaim sebagai ayam betutu gilimanuk. Bahkan pernah pula ada yang menggunakan nama Men Tempeh sebagai merek dagang.
Baca juga: Penanggalan yang Tersayat Menyambut Matahari Baru
Sejak ayam betutu Men Tempeh diburu oleh para wisatawan pecinta kuliner, pamor ayam betutu Bali meledak di mana-mana. Dunia perpelancongan di Bali seolah memasuki fase baru, di mana kuliner termasuk berbagai jenis masakan ayam betutu, menjadi magnet penarik wisatawan. Kini kau bisa intip di berbagai super market sudah pula terdapat ayam betutu beku, tentu dengan cita rasa yang berbeda.
Sekarang hanya dari dapur Men Tempeh, lebih dari 200 ekor ayam betutu disikat setiap harinya oleh para pembeli yang keranjingan. “Itu belum puluhan warung sekitar sini,” kata Suratna. Asal tahu, sebagian besar warung-warung ayam betutu di sekitar terminal lama Gilimanuk memiliki hubungan erat dengan Men Tempeh. “Ada anak, keponakan, dan bekas karyawan, semua buka warung ayam betutu,” tambah Suratna.
Kisah yang mirip sebenarnya terjadi pada ayam goreng Kalasan yang dimulai dari tangan Mbok Berek. Nini Ronodikromo, nama asli Mbok Berek, merintis masakan ayam goreng sejak masa penjajahan Jepang. Konon resep masakan “asli” dari Dusun Bendan, Desa Tirtomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini diturunkan oleh seorang kakek berpakaian ungu.
Suatu hari, Mbok Berek sedang menjaga warungnya, tiba-tiba seorang kakek datang untuk meminta air minum sembari menanyakan apa yang dijual di warung itu. Ketika Mbok Berek menyatakan bahwa ia sudah lama menjual ayam goreng, kakek berbaju ungu itu membisikkan resep ayam goreng.
Resep ayam goreng kalasan itulah yang terus diwariskan dari generasi ke generasi di Dusun Bendan. Tidak kurang dari 60 usaha ayam goreng kini tumbuh di sana, semuanya berdasarkan resep Mbok Berek. Mereka sebagian besar merupakan keturunan dan para karyawan yang pernah bekerja di warung Mbok Berek.
Konon, Bung Karno pada tahun 1960-an, setiap kali berkunjung ke Yogyakarta selalu menyantap ayam goreng kalasan. Presiden RI pertama itu, keranjingan ayam kalasan, karena keempukan dan cita rasa rempahnya yang menonjol, serta tentu saja kremesnya yang kriuk itu…
Baca juga: Isyarat Hujan di Bulan Desember
Kau tahu, ayam goreng Ny Suharti yang kini terkenal itu, juga bercikal-bakal dari ayam goreng Mbok Berek. Suharti pernah bekerja sebagai karyawan di warung Mbok Berek setelah dikelola oleh putra pertamanya Samidjo Mangundimedjo, yang tak lain adalah kakak ipar Suharti. Meski begitu, tahun 1960-an, Suharti memulai jualan ayam goreng dengan mengasong ke sana-kemari. Ia tak segan-segan mengantarkan pesanan ayam gorengnya dengan sepeda motor sampai ke desa-desa.
Sekarang, kau sendiri bisa melihat faktanya, kalau berkunjung ke Yogyakarta selalu ada kuliner yang membuat kangen, yakni ayam goreng Mbok Berek atau Ny Suharti. Sudah barang tentu kini ada berjenis-jenis varian cara memasak ayam.
Sebut saja ayam ingkung Mbah Cempluk di Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Mbah Cempluk mengangkat citra ayam “ndeso”, yang tadinya cuma dikhususkan sebagai persembahan ritual bersih desa, menjadi citraan ayam gurih tanpa digoreng yang memberi impresi sehat bagi tubuh.
Baiklah. Dalam dunia per-ayaman ini, tentulah tidak lengkap kalau tidak menyebut jasa Harland Sanders dalam memperkenalkan ayam goreng. Pada awal tahun 1950-an, Sanders mulai menjual ayam goreng di jalanan Corbin, Kentucky, Amerika Serikat.
Saat itu ia tahu pasti, konsep restoran cepat saji didominasi oleh hamburger. Ia harus berjualan melawan arus ketika orang-orang Amerika “mabuk” hamburger, sebagai makanan cepat saji yang menjanjikan kecepatan sekaligus kenikmatan.
Banyak dari generasi Amerika saat itu, tidak mengerti bagaimana cara makan ayam goreng untuk mememuhi “standar” karbohidrat yang dibutuhkan tubuh. Sanders lalu memadukan ayam goreng racikannya dengan kentang goreng, yang kemudian seolah menjadi pasangan sehidup semati. Cuma di kawasan Asia kemudian, kentang goreng didampingi nasi putih, agar sesuai dengan kebutuhan sehari-hari warga lokal.
Baca juga: Makanan Terindah Oh Masa Lalu
Sanders tak bekerja satu dua hari. Restoran yang ia dirikan di Kentucky terancam bangkrut karena perubahan tata kota tahun 1953. Lelaki kelahiran, Henryville, 9 September 1890 itu, tak menyerah.
Ia memutuskan berkeliling selama dua tahun untuk menawarkan waralaba racikan ayam goreng kepada ribuan restoran. Tak jarang Sanders harus tidur di dalam mobil, karena uangnya tak cukup untuk membayar sewa hotel. Perlu dicatat, saat itu usia Sanders sudah melewati 60 tahun.
Selama dua tahun berkeliling di kota-kota sekitar Kentucky, ia telah mendapatkan penolakan ribuan restoran, dan hanya lima restoran yang bersedia membeli resep ayam goreng kegemaran Sanders.
Konon, resep itu diracik dari 11 jenis rempah, yang disukai Sanders sejak kecil. Setelah perjuangan tak kenal lelah itu, Sanders baru boleh dikata mencapai sukses menjual ayam goreng ketika ia sudah berumur 70 tahun!
Kini kau tahu, Kentucky Fried Chiken telah berada di 22.621 lokasi yang tersebar di 150 negara. Miliaran ayam telah “mengorbankan diri” dan menjadi berkah bagi pemenuhan protein tubuh manusia, termasuk mungkin tubuhmu, bukan?
Kisah sukses ini sudah barang tentu hanya sebagian kecil dari kisah orang-orang yang bekerja keras menekuni dunia per-ayaman, dan sudah seharusnya menjadi inspirasi bagi usaha-usaha serupa. Begitu kau dan aku lahir, ayam nyaris selalu jadi bagian hidup kita sehari-hari.
Baca juga: Maudy Berbicara kepada Pohon
Kata yang pertama kali diucapkan secara lengkap oleh anak pertamaku, Angelina Arcana, adalah “ayam” dan bukan “ayah”. Mungkin sekali karena ia senantiasa melihat ayam berkeliaran di sekitar halaman rumah kami dahulu di kampung.
Ngomong-ngomong soal ayam, semoga kau tak tergoda menanyakan pertanyaan klasik tetapi absurd ini: mana lebih dulu telur atau ayam? Pertanyaan “sederhana” ini telah dimulai saat Aristoteles membahas tentang asal mula penciptaan dunia. Pertanyaan ini pernah pula mengguncang dunia karena para filsuf Kristen memberi jawaban berdasarkan dalil-dalil dalam kitab suci.
Filsuf Italia Ulisse Aldrovandi memberi jawaban begini: ”Saya selesaikan perdebatan usang yang hanya bikin penasaran. Dalam kitab suci jelas kalau ayam ada lebih dulu. Kitab itu juga mengajarkan kalau binatang diciptakan pada permulaan dunia. Maka saat itu, ayam tidak lahir dari telur, tetapi dari ketiadaan.”
Jadi apakah pentingnya memperdebatkan asal-usul telur dan ayam, ketika kita mendapati orang-orang seperti Sanders, Suratna, Mbok Berek, dan Ny Suharti telah memberi sumbangan besar bagi dunia per-ayaman? Setidaknya, harapanku, kita mulai menumbuhkan kesadaran, selain dituding sebagai cikal-bakal “kepengecutan” ayam lebih sering membawa keberuntungan.
Ayam bahkan selalu dipersembahkan sebagai “penawar” kekotoran dunia saat-saat gelaran upacara pecaruan di Bali. Ia selalu dikorbankan untuk tujuan-tujuan memuliakan takdir hidup manusia. Sebuah kuil di Pantai Pattaya, Thailand, memasang patung ayam besar-besar, karena itulah simbol kerja keras dan keberuntungan.
Ayam selalu menggunakan cekernya untuk mengais-ngais makanan, sebagaimana juga manusia mengais-ngais rezeki dengan selalu bekerja. Semoga Anda semua menjadi bagian orang beruntung setelah membaca tulisanku ini….Amin.