Menjaga Tata Kelola Pemerintahan
Dalam zaman di mana gagasan makin terdesak kepentingan, tata kelola mesti terus dijaga dari kesewenangan kuasa. Karena, ia adalah batu penjuru mewujudkan cita-cita bangsa.
Di tengah upaya melawan Covid-19 dan menumbuhkan harapan menghadapi ketidakpastian, di awal 2021, dua indeks tata kelola kita jeblok. Kedua indeks tata kelola yakni Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Demokrasi.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) melorot dari 40 pada 2019 menjadi 37 di 2020, membuat ranking Indonesia anjlok dari urutan ke-85 menjadi ke-102 dari 180 negara. Sementara Indeks Demokrasi menunjukkan titik terendah sejak 14 tahun ini, dengan skor 6,3 dan menempatkan Indonesia pada ranking ke-64 dari 167 negara.
Kalau IPK menyejajarkan Indonesia dengan Gambia, Indeks Demokrasi mengkategorikan kita sebagai flawed democracy –demokrasi yang cacat.
Mungkin terkait, mungkin juga tidak, Istana bereaksi.
Baca juga: Darurat Korupsi
Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah, sementara pemerintah diminta meningkatkan kualitas pelayanan publik (Kompas.com, 8/2/2021). Sekretaris Kabinet juga menegaskan bahwa pemerintah perlu dikritik dengan ‘keras dan pedas’ (Kompas.com, 9/2/2021).
Tentu saja, atas indikasi soal korupsi dan menurunnya kualitas demokrasi, mudah untuk berkelit, mencari alasan, ataupun pembenaran. Tetapi akan jauh lebih bermanfaat untuk menatap masa depan, jika kedua indeks ini dijadikan peringatan untuk makin waspada atas persoalan tatakelola pemerintahan.
Gagasan merujuk pada cita-cita ideal.
Antara gagasan dan kepentingan
Rupanya, kunci memahami berbagai persoalan, termasuk soal tata kelola, adalah memahami tegangan antara gagasan dan kepentingan.
Gagasan merujuk pada cita-cita ideal. Karenanya, ia sebangun dengan ideologi. Ia memandu imajinasi dan budi tentang apa yang ‘baik’ untuk diri sendiri maupun orang lain. Gagasan terkait dengan nilai dan keutamaan seperti keterbukaan, transparansi, demokrasi, keadilan, dan sebagainya.
Baca juga: Menghidupkan Demokrasi
Sedangkan kepentingan terkait dengan apa yang baik dan nyaman untuk diri atau kelompok sendiri dan usaha mempertahankannya. Kalau gagasan dekat dengan urusan kriteria dan etika, kepentingan sebentuk-seiring dengan kinerja sumber daya dan kuasa.
Tentu saja, dalam hidup nyata, tidak ada yang sepenuhnya gagasan, atau sepenuhnya kepentingan. Selalu tarik-menarik dan saling memengaruhi. Dalam situasi sehat, upaya mengejar kepentingan diimbangi dengan perdebatan gagasan, dan sebaliknya.
Namun, dalam situasi tak sehat, gagasan dipaksakan hingga tiada ruang untuk kepentingan pribadi atau kelompok; atau sebaliknya, kepentingan mendominasi lewat berbagai transaksi hingga tak menyisakan ruang untuk ideologi.
Dalam refleksi, nampaknya di negeri ini, hal kedua lah yang lebih sering terjadi. Hidup sosial-politik kita hari-hari ini makin kental diwarnai kepentingan, bukan perdebatan ideologi atau gagasan.
Barangkali, akarnya terletak pada sistem politik kita. Praktis, tidak ada partai atau kelompok politik yang sungguh-sungguh ideologis. Hampir semua bergerak karena kepentingan. Faktanya jelas: selain berbagai koalisi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) menunjukkan absennya ideologi, hanya di negeri ini rival politik dalam pemilu ditarik masuk ke dalam kabinet.
Baca juga: Pertaruhan Demokrasi di Tengah Pandemi Covid-19
Akibatnya, tak ada oposisi. Pemerintah bisa melakukan apa saja, mulai dari kebijakan-kebijakan strategis hingga hal-hal teknis, nyaris tanpa penolakan dari parlemen.
Lepas dari substansi, ini bisa kita lihat mulai dari pengesahan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, hingga pembubaran FPI, dan lain-lain.
Kalaupun ada yang berseberangan, itu bukan karena gagasan, melainkan semata tarik-ulur kepentingan.
Kalaupun ada yang berseberangan, itu bukan karena gagasan, melainkan semata tarik-ulur kepentingan. Tak ada kontrol, apalagi koreksi, kecuali dari segelintir organisasi masyarakat sipil yang sayangnya secara umum juga menderita persoalan yang kurang-lebih sama.
Dalam situasi ini, perdebatan gagasan –apalagi kritik terhadap kebijakan—akan mudah dilabeli sebagai sikap ‘anti’ pada pemerintah. Padahal, keduanya jelas berbeda. Persoalannya, begitu label ‘anti’ disematkan, bukan hanya aparatur yang mungkin segera bertindak, kebanyakan pendukung yang sebenarnya hanya menciptakan kebisingan (buzz) akan ikut main hakim sendiri.
Pengadilan jalanan kini terjadi bukan hanya di jalan-jalan atau lapangan tak bertuan, tetapi juga di media sosial; bukan hanya oleh oknum aparat, tapi juga oleh para buzzer.
Baca juga: Jejak Polarisasi Politik Masih Terasa
Akibatnya polarisasi jadi makin tajam antara mereka yang dianggap ‘pro’ dan ‘anti’ pemerintah. Padahal, perbedaan ini bukan ideologis, melainkan beda kepentingan dan cara semata.
Maka tak heran kalau dalam Indeks Demokrasi, kita jeblok dalam komponen kultur politik (nilai 4,38) dan kebebasan sipil (nilai 5,59). Memang, pemilu kita dianggap relatif bebas, budaya sipil dipandang beragam, dan kinerja pemerintahan dinilai lumayan. Namun kultur politik kita makin jauh dari keadaban publik, dan kebebasan sipil kita makin tergerus.
Politik makin transaksional, jauh dari mengejar cita-cita ideal, sementara warga makin ragu, jika bukan takut, menyuarakan perbedaan pendapat, apalagi kritik pada pemerintah.
Survei Indikator Politik Indonesia sudah menengarai ini sejak tahun lalu: mayoritas publik (79,6 persen) cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat (25/10/2020). Sementara survei terbarunya menunjukkan kepuasan publik pada demokrasi hanya 53 persen dan kepada Presiden 62,9 persen – terendah sejak 2016 (8/2/2021).
Dengan pemahaman yang sama, bagaimana gagasan tererosi besar-besaran oleh kepentingan, mudah juga kita mencerna mengapa IPK kita anjlok. Dari seluruh komponen yang diukur, hasilnya menunjuk bahwa rapor merah disebabkan dua dimensi korupsi.
Baca juga: Korupsi Masih Masif, Terus...
Pertama, korupsi yang lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha. Ini termasuk berbagai pembayaran khusus, suap ekspor-impor, dan hubungan mencurigakan antara politikus-pebisnis.
Kedua, korupsi politik yang terjadi secara mendalam dalam sistem politik baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini juga mencakup korupsi di birokrasi, besar atupun kecil, yang memengaruhi kebijakan publik.
Dengan segera akan kelihatan, bahwa sebenarnya tak ada yang baru dari situ. Kondisi sosial-politik yang makin miskin gagasan namun penuh transaksi kepentingan memang lahan subur bagi korupsi yang menggerogoti kualitas politik dan kebijakan kita. Lantas apa yang mesti dilakukan?
Memang rata-rata kualitas demokrasi tengah menurun di seluruh dunia.
Menjaga nalar kuasa
Majalah The Economist (28/3/2020) menulis, “Respons terhadap pandemi ini menghasilkan perluasan kekuasaan pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya,” menimbulkan kekhawatiran bahwa “…negara akan enggan menyerahkan kekuasaan itu setelah krisis berakhir, seperti yang sering terjadi dalam sejarah.”
Memang rata-rata kualitas demokrasi tengah menurun di seluruh dunia. Satu sebabnya adalah karena penanganan Covid-19 mengakibatkan pemerintah menjadi lebih represif, menekan berbagai dimensi kebebasan sipil.
Baca juga: Resesi Demokrasi
Di banyak negara, bukan hanya pergerakan fisik yang dibatasi lewat social atau physical distancing atau lockdown, tetapi juga protes dan kritik publik atas penanganan pandemi.
Imperatif peringatan ini serius: jangan sampai dinamika politik dan respons terhadap pandemi ini menghasilkan perluasan kekuasaan pemerintah – dan mereka yang mendukungnya— dan muncul keengganan mengembalikan pada proses demokratis setelah krisis berakhir.
Kalau sungguh kita renungkan dinamika sosial-politik yang makin defisit gagasan namun penuh kepentingan ini, makin jelaslah bahwa imperatif itu menyangkut masa depan demokrasi kita.
Karena itu, mutlak menjaga nalar atas kuasa –baik kuasa pemerintah membuat kebijakan, maupun kuasa ekonomi-politik mereka yang menggerakkan sumber daya—setidaknya lewat tiga cara.
Pertama, meski ruang kebebasan sipil menyempit, kita mesti memberanikan diri menata upaya untuk selalu mengingatkan pemerintah tentang gagasan kunci: keutamaan kepentingan luas, bukan hanya elite pemegang kekuasaan.
Kedua, mendorong pendidikan politik untuk publik agar makin berdaya menyuarakan pentingnya kontrol atas praktik kekuasaan pemerintah, baik lewat parlemen maupun masyarakat sipil.
Ketiga, menjembatani polarisasi yang makin dalam membelah antara yang dianggap ‘pro’ dan ‘anti’ pemerintah: bahwa memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah bukanlah selalu sikap anti pemerintah.
Dalam zaman di mana gagasan makin terdesak kepentingan, tata kelola mesti terus dijaga dari kesewenangan kuasa. Karena, ia adalah batu penjuru mewujudkan cita-cita bangsa.
Yanuar Nugroho, Penasihat di Centre for Innovation Policy & Governance, Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Visiting Senior Fellow, ISEAS Singapura.