Menulis Rasa Syukur
Bersyukur menjadi salah satu karakteristik yang berhubungan paling kuat dengan kesehatan mental dan kepuasan hidup, lebih daripada optimisme dan harapan.
Dalam situasi hidup yang sulit seperti sekarang, ada yang mungkin skeptis, masih mungkinkah kita bersyukur? Bagaimana dapat bersyukur ketika anggota keluarga sakit, bisnis tidak berjalan, dan kita sulit membiayai keluarga?
Apakah pada saat berada dalam saat situasi sulit, bersyukur justru menjadi hal yang tetap dapat dan lebih penting lagi untuk dilakukan?
Dalam kehidupan sehari-hari, bersyukur muncul ketika dalam pergaulan dengan sesama, kita (merasa) memperoleh sesuatu hal berharga dari orang lain. Apalagi ketika hal itu tidak secara sengaja kita cari atau minta, ketika kita merasa sesungguhnya kita tidak patut memperolehnya, dan kita dapat memperolehnya karena niat baik dari orang lain.
Sisi baik dari hidup
Hadirnya rasa syukur membuat kita menyadari adanya hal-hal baik dalam hidup, dan memahami bahwa sumber dari kebaikan itu, setidaknya sebagiannya, ada di luar diri. Mengingat kita tidak bertumpu hanya pada diri, tetapi juga pada kekuatan dari luar diri, kita jadi memahami bahwa kebersyukuran sering juga terkait dengan hal-hal yang transendental atau spiritual.
Sisi spiritual dari bersyukur sekaligus menjelaskan konsep bersyukur yang fokusnya melampaui sekadar kepentingan diri sendiri. Sebagai manusia, kita seperti merasa terhubung dengan orang-orang lain dan makhluk hidup lain sedemikian rupa, dalam cara yang tidak dapat dijelaskan secara murni rasional.
Memang kita tidak dapat menumbuhkan sikap bersyukur secara cepat atau instan. Ini mengingat bersyukur bukan sekadar emosi sementara, melainkan merupakan suatu sikap atau keutamaan hidup. Jika sedari kecil kita memperoleh penerimaan dan kasih sayang dari orang dewasa, diberi contoh dan dilatih untuk dapat bersyukur, akan lebih mudah untuk memiliki sikap hidup demikian di masa dewasa.
Walau demikian, bersyukur tetap dapat dilatihkan. Robert Emmons dan Robin Stern (2013) menjelaskan, telah cukup banyak pendekatan terapeutik yang dikembangkan untuk menghadirkan kebersyukuran bagi mereka yang mengalami masalah kesehatan fisik ataupun persoalan psikologis. Pendekatan ini diintegrasikan dengan berbagai teknik, seperti meditasi, relaksasi progresif, atau refleksi melalui citra visual.
Psikoterapi yang dikembangkan di Jepang, terapi Naikan misalnya, menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan kesadaran diri mengenai hubungan dengan orang lain yang sekaligus memiliki dimensi moral. Misalnya, menghindari perilaku buruk yang akan menyakiti, pentingnya memberi dan menerima, yang kesemuanya sekaligus menumbuhkan kebersyukuran.
Mengingat untuk bersyukur
Penelitian dan intervensi mengenai bersyukur umumnya meminta partisipan untuk mencoba mengingat lagi peristiwa-peristiwa di masa lalu yang dapat memunculkan rasa terima kasih. Cara lain, secara sederhana meminta individu setiap akhir hari menuliskan hal-hal yang membuatnya berterima kasih atau merasa bersyukur, terkait yang paling sederhana sekalipun yang dialaminya di hari itu.
Misalnya, dalam keadaan sehat, dapat membayar sewa rumah, anak mengikuti PJJ tanpa rewel, suami-istri saling membantu mengurus rumah, masih dapat menabung, dan sebagainya.
Penelitian yang ada membuktikan bahwa bersyukur dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis. Bersyukur dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan fungsi imun, serta mengurangi gangguan tidur, depresi, kecemasan, dan gangguan penyalahgunaan zat.
Bersyukur menjadi salah satu karakteristik yang berhubungan paling kuat dengan kesehatan mental dan kepuasan hidup, lebih daripada optimisme dan harapan. Jika bersyukur menjadi sikap hidup yang terus dipraktikkan, dorongan-dorongan yang bersifat destruktif, seperti iri, rasa tidak terima, sikap rakus, kebiasaan mengeluh, atau perspektif yang pahit dalam menjalani hidup, dapat diminimalkan.
Lebih lanjut lagi, yang dapat menghayati kebersyukuran akan dapat menghadapi tekanan hidup secara lebih efektif, menunjukkan ketangguhan yang lebih besar, dapat pulih lebih cepat dari sakit, dan secara umum lebih merasa sehat.
Menarik bahwa temuan di atas bukan hanya dari laporan si individu, melainkan juga dari orang-orang lain di sekitarnya yang melihatnya lebih santai, bahagia, lebih mudah menolong, lebih optimistis, dan dapat dipercaya. Hadirnya perasaan sejahtera dan bahagia akibat bersyukur tampaknya lebih lanjut memunculkan kesediaan menolong, berbuat baik, dan bekerja sama.
Tugas menulis dalam intervensi membuat individu mengingat kembali secara lebih utuh, mengorganisasi pikiran, membantu individu menerima pengalamannya dan memahaminya dalam konteks. Pengalaman negatif, atau hal-hal yang sebelumnya dirasakan menyakitkan, dapat dimaknai dengan cara berbeda, diintegrasikan pula dengan pengalaman positif. Hal ini membuka pemahaman baru mengenai cara menyelesaikan masalah.
Beberapa yang disampaikan klien setelah diminta menulis secara berkelanjutan rasa syukurnya antara lain: ”Ketika saya hampir tenggelam dan terjebak dalam masalah, tugas itu membuat saya mampu mengapung kembali ke permukaan”.
Contoh lain, ”Membuat saya terhubung kembali dengan realitas daripada sibuk terus-menerus dengan penyimpulan negatif”, ”Saya jadi ingat ada orang-orang lain yang telah berjasa yang harusnya saya merasa berterima kasih”, dan ”Saya berhenti bersikap menuntut dan mulai mengambil tanggung jawab atas diri sendiri”.
Laporan penanganan kasus menunjukkan bahwa dalam situasi yang amat mengejutkan dan amat sulit sekalipun, hadirnya rasa syukur dapat membantu diperolehnya kembali kesejahteraan psikologis.
Lebih lanjut lagi, kemampuan bersyukur membuat kita sadar bahwa dalam peristiwa yang menyakitkan atau tantangan yang sangat sulit, ada pembelajaran yang dapat diambil untuk kehidupan yang lebih baik.
Jadi, menjawab pertanyaan yang mengawali tulisan ini: dalam situasi sulit, bersyukur tetap dapat dilakukan. Kehadirannya penting untuk membantu kita menjernihkan pikiran, menemukan titik-titik terang dalam mengatasi masalah, dan mempertahankan jiwa yang sehat.