Di Balik Istilah Polisi Tidur
Tak jelas kapan istilah polisi tidur muncul pertama kali. Polisi tidur atau ”sleeping policeman” menurut ”Cambridge Dictionary” bukan polisi yang rebahan. Polisi tidur adalah alat pengendali dan pengaman pengguna jalan.
Kala berkendara, saat mengemudi, atau sekadar duduk manis sebagai penumpang, kita sering menikmati sensasi, maaf, pantat sedikit terangkat apabila bersua ”gundukan” panjang melintang di tengah jalan. Polisi tidur, demikian orang menyebut namanya.
Terlahir menjelang akhir era Generasi X dan kebetulan berada dalam pusaran gairah untuk memuaskan rasa ingin tahu, penulis pun mengamini polisi tidur sebatas bentuknya: gundukan (tentunya yang melintang panjang di tengah jalan).
Soal fungsi atau mengapa dinamai polisi tidur, penulis tidak ambil pusing. Pokoknya, itu barang memang terasa mengganggu sekali.
Baca Juga: Pewaris Versus Ahli Waris
Namun, seiring waktu ditambah makin kuatnya kreativitas yang melahirkan variasi bentuk gundukan di berbagai kelas jalan, mulai dari yang tipis-tipis sampai yang tingginya ekstrem macam tanggul, godaan mengulik asal-usul istilah polisi tidur pun menari manja di benak.
Penulis tidak sedang ingin menjadi spesialis polisi tidur dalam tulisan pendek ini karena itu bukan keahlian penulis. Penulis hanyalah orang biasa yang sering bertemu bermacam model gundukan di jalanan.
Akan tetapi, bicara soal istilah polisi tidur, mau tidak mau penulis akan menyinggung sedikit soal jenis, fungsi, dan aturan yang menyertainya. Sedikit itu tidak banyak dan banyak itu relatif. Jadi, ya, tidak semuanya.
Nah, baru pada masa era Gen Z, iGeneration, atau Generasi Akrab Digital ini penulis tahu bahwa pembuatan polisi tidur itu tidak boleh seenak udelnya sendiri. Ada aturannya.
Efek gangguan dari polisi tidur yang dibuat sak karepe dewe (semaunya sendiri/tidak taat aturan) membuat penasaran. Penulis pun berselancar di jagat maya karena ingin segera mengeliminasi gangguan-gangguan yang dimunculkannya.
Baca Juga: Kalimat Sejajar dan Tidak Sejajar
Mengapa penulis katakan gangguan? Sebab, pembuatan polisi tidur yang tidak memenuhi aturan yang telah ditetapkan pemerintah sangatlah membahayakan pengguna jalan.
Alih-alih menjadi alat pengendali dan pengaman pengendara dalam berlalu lintas, justru sejumlah efek negatif dapat ditimbulkannya. Mulai dari pengaruhnya terhadap kesehatan badan hingga kecelakaan yang bisa saja mengancam nyawa.
Tentang pengaruhnya terhadap kesehatan, silakan Anda membacanya di berbagai rujukan yang tersedia berlimpah. Cukup dengan mengetikkan kata kuncinya di kotak pencarian.
Adapun tentang kecelakaan, pernah seorang anak ”terbang” dari jok motor yang dikemudikan ayahnya. Ia lalu mendarat ”mesra” di aspal karena sang bapak tidak melihat gundukan yang melintang di depannya akibat ketiadaan markah polisi tidur. Peristiwa itu terekam hingga kini karena terjadi tepat di depan mata pada sebuah sore yang mendung.
Tentang aturan
Balik ke polisi tidur. Setelah mentok sana mentok sini, ternyata, di negara kita tercinta ini, ketentuan tentang polisi tidur diatur menggunakan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 3 Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan.
Secara singkat, keputusan menteri itu mengatur sejumlah kriteria pembuatan polisi tidur, mulai dari ketentuan teknis, seperti sudut kemiringan gundukan sebesar 15 derajat dengan tinggi maksimum tidak lebih dari 120 milimeter, hingga kelas jalan dan di lokasi mana saja gundukan itu boleh ”direbahkan”.
Jadi, agar tidak menyiksa badan dan justru membahayakan pengguna jalan, patuhilah aturan itu saat bekerja bakti membuat polisi tidur.
Ragam gundukan
Nah, entah karena perkembangan teknologi, ketidaktahuan tentang adanya peraturan tersebut, atau karena adanya keinginan untuk keluar dari bentuk-bentuk pakem tradisional yang dianggap membosankan, banyak warga memunculkan polisi tidur versi mereka dengan cita rasa yang lebih ”menggemaskan”.
Sebagai contoh, dari bentuk dan posisinya, polisi tidur ada yang dibangun melintang dengan sedikit miring, ada yang zig-zag berjarak, ada yang jaraknya berdekatan, dan ada pula yang memiliki tinggi di atas rata-rata, seolah pematang.
Adapun dari bahannya, ada yang menggunakan aspal, potongan bekas ban, semen, besi, bahkan ada yang terbuat dari kayu yang langsung dipaku ke aspal jalan. Jujur saja, masih banyak kreativitas yang kurang sejalan dengan aturan, bahkan melanggar.
Selain itu, kini hadir juga polisi tidur dinamis, yang memang lebih berteknologi dibandingkan dengan model konvensional yang statis. Dalam situs Wikipedia.org disebutkan, polisi tidur jenis ini dapat mendeteksi kecepatan kendaraan yang melintasinya.
Apabila sebuah kendaraan melaju di bawah batas kecepatan, katup tekanan yang ada dalam polisi tidur itu akan terbuka dan gundukan menjadi datar saat kendaraan melintas di atasnya. Sebaliknya, katup akan tetap tertutup jika kendaraan melaju melebihi batas kecepatan yang ditentukan.
Teknologi yang ditanamkan di dalamnya juga memungkinkan kendaraan berat, seperti mobil pemadam, bus, dan ambulans, lewat dengan kecepatan tinggi.
Fungsi
Jika merujuk pada beragam pengertian yang ada tentang polisi tidur, secara garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi polisi tidur adalah untuk menghambat laju kendaraan, menurunkan kecepatannya, sehingga menjadikan pengemudi lebih waspada ketika melewati lingkungan tertentu, seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah.
Soal istilah
Kembali kepada istilah polisi tidur, di Indonesia sebenarnya tidak jelas kapan istilah ini muncul atau dipergunakan untuk pertama kali. Akan tetapi, masih menurut Wikipedia.org, istilah polisi tidur di negeri ini ternyata telah tersua jauh sebelum peraturannya dibuat, yakni di Kamus Idiom Bahasa Indonesia (1984), dengan Abdul Chaer sebagai pencatatnya.
Adapun dalam Kamus Indonesia-Inggris Edisi Ketiga (1989), Hassan Shadily dan John M Echols memadankan istilah polisi tidur dengan traffic bump. Istilah ini akhirnya masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2001). Sementara pada 2002, A Teeuw menggunakan kata verkeersdrempel sebagai padanan polisi tidur dalam Kamus Indonesia-Belanda.
Sesuai fungsinya, dalam KBBI V, polisi tidur memiliki makna: bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan. Nah, jauh sebelum tahun-tahun yang disebut di atas, istilah yang tercipta untuk gundukan panjang melintang di jalan ini ternyata pernah menimbulkan keriuhan.
Peristiwa itu terekam dalam pemberitaan harian Kompas yang terbit pada 22 September 1976 dengan judul ”Pemerintahan DKI akan Buat Peraturan tentang ’Polisi Tidur’”. Dalam berita itu dituliskan, ”polisi tidur ini adalah istilah yang diberikan kepada gundukan tanah atau aspal yang melintang di jalan, terutama di daerah perbaikan kampung, untuk menghindari kebut-kebutan”.
Hebohnya, sehari setelahnya, 23 September 1976, di harian ini juga, muncul berita dengan judul ”Istilah ’Polisi Tidur’ Tidak Benar”. Berita ini memuat pernyataan Kadispendak Metro Jaya Letkol (Pol) RA Tonang yang mengatakan bahwa istilah polisi tidur itu tidak benar.
Baca Juga: Paska, Pasca, Sesudah, atau Setelah?
Menurut Kadispendak, kepala humas DKI menyatakan bahwa istilah itu berasal dari wartawan. Apabila demikian, mungkinkah wartawan yang memopulerkan istilah polisi tidur?
Sepertinya jelas sudah mengapa gundukan itu dinamai polisi tidur. Dalam pandangan penulis, itu karena terbatasnya tenaga dan jumlah personel polisi. Jadi, tidak mungkin ada pengawasan terus-menerus 24 jam sehari 7 hari seminggu hanya untuk mengurusi kebut-kebutan dan perilaku urakan dalam berkendara. Maka, dibuatlah polisi tidur yang fungsinya untuk ”menggantikan” tugas polisi (yang sebenarnya tak tergantikan) dalam menjaga ketertiban berlalu lintas di jalan raya.
Jadi, polisi tidur, atau sleeping policeman menurut Cambridge Dictionary, itu bukan polisi yang rebahan. Polisi tidur adalah alat pengendali dan pengaman pengguna jalan.
Ah, andai kita bisa menjadi ”polisi” bagi diri kita masing-masing, pasti polisi tidur akan lebih jarang tersua.
Teguh Candra, Penyelaras Bahasa Kompas