Bahaya Laten Korupsi
Sudah saatnya negara kita menetapkan korupsi sebagai bahaya laten yang dapat mengganggu terwujudnya tujuan negara, seperti yang disampaikan Ketua KPK pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia.
Acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2020 yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (16/12/2020), terasa sepi. Presiden Joko Widodo hadir secara virtual didampingi Menko Polhukam Mahfud MD (Kompas, 17/12/2020). Pada acara tersebut dicanangkan Aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi 2021-2022.
Padahal, saat ini merupakan momentum pemberantasan korupsi, saat ada dua menteri yang berturut-turut menjadi tersangka KPK. Jadi, seharusnya acara peringatan ini dihadiri semua menteri dan juga pemimpin lembaga, meski secara virtual, sebagai komitmen antikorupsi. Apalagi acara bertema ”Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Antikorupsi”.
Masih segar dalam ingatan, ketua umum partai politik tempat Menteri Kelautan dan Perikanan bernaung pernah mengatakan, dirinya akan mengantar sendiri kadernya ke penjara jika ketahuan korupsi. Presiden juga mengatakan agar jangan mengorupsi dana penanganan Covid-19 ketika berpidato di hadapan para menteri.
Kenyataannya, kedua menteri tidak mengindahkan. Menteri Sosial dalam suatu tayangan wawancara yang sempat viral juga menegaskan bahwa dirinya dan anak buahnya tidak akan korupsi. Pimpinan KPK pun sudah pernah mengingatkan Menteri Sosial agar berhati-hati dalam pelaksanaan bantuan sosial (Kompas, 7/12/2020).
Alangkah geram dan muak ketika melihat kedua menteri itu tetap korupsi. Keduanya sudah mengkhianati negara dan rakyat, layak dihukum seberat-beratnya.
Negara kita secara prinsip sangat antikorupsi, perangkat hukum melalui UU tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, lembaga khusus lengkap tersedia untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Untuk memberikan efek jera, KPK mengenakan rompi khusus dan memborgol tersangka, tetapi perilaku koruptif masih berlangsung masif. Seakan tidak ada lagi perasaan malu bahkan terhadap keluarga. Apakah ini akibat sifat bangsa ini yang terlalu mudah melupakan?
Sudah saatnya negara kita menetapkan korupsi sebagai bahaya laten yang dapat mengganggu terwujudnya tujuan negara, seperti yang disampaikan Ketua KPK pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tersebut.
Sebaiknya peringatan Hari Antikorupsi diwajibkan di semua kementerian ataupun lembaga, dari pusat sampai daerah. Demi membangun budaya antikorupsi.
Pangeran Toba Hasibuan
Sei Bengawan, Medan, Sumatera Utara 20121
Dua Anak Yogya
Yogyakarta ternyata punya dua anak. Seorang bernama Yogya Istimewa dan saudaranya Yogya ”tidak” Istimewa.
Yogya Istimewa adalah sebutan untuk Tugu Yogya. Area yang selalu direnovasi atau direvitalisasi, yang menurut hemat saya pekerjaan bongkar-pasang tersebut tidak pernah ada kata akhir. Entah berapa besar biaya untuk make over si anak emas.
Lalu, siapakah yang bernama Yogya ”tidak” Istimewa? Itu sebutan untuk Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan. Jika kita tanya mbah Google, TPST Piyungan sering ngambek karena tidak diperhatikan.
Kalau dia sudah ngambek, semua warga Yogya akan mencium bau sampah. Yang menumpuk di pojok-pojok pasar, tepi-tepi jalan, dan tanah-tanah kosong.
Solusinya? Tidak perlu studi banding jauh-jauh ke luar negeri. Cukup ke tetangga sebelah, yaitu Malang. Temui Pak Supadi, angkat menjadi konsultan TPST Piyungan.
Pak Supadi adalah perintis, Direktur dan CEO dari Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Mulyoagung-DAU, Malang. Bahkan, orang-orang dari luar negeri datang untuk belajar manajemen persampahan.
TPST ini sukses dalam mengelola sampah. Menjadikan sampah produk-produk yang mempunyai nilai jual, seperti pupuk, pakan lele, kardus bekas, dan botol plastik.
Selanjutnya adalah peraturan daerah yang mengatur pemilahan sampah, mulai dari rumah tangga hingga tempat usaha. Jika nantinya sudah menjadi budaya, penanganan sampah akan semakin mudah, terbentuk jaringan perekonomian baru persampahan.
Hal ini akan lebih bergaung apabila ada kolaborasi dengan perguruan tinggi. Semoga Yogya istimewa kembali.
Djoko Madurianto
Jalan Pugeran Barat, Yogyakarta, 55141
Tanggapan KLHK 1
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate adalah pedoman regulasi penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate.
Food estate adalah program strategis nasional untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dalam konteks kebutuhan lahan dari kawasan hutan, mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan, seperti perubahan peruntukan kawasan hutan atau penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP).
Permohonan pemanfaatan kawasan hutan hanya dapat diajukan oleh pemerintah. Dalam hal ini menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota atau kepala badan otorita yang ditugaskan.
Perubahan peruntukan untuk pembangunan food estate dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Syaratnya harus melewati kajian tim terpadu, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), menyelesaikan upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL), dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) untuk melindungi lingkungan. Areal yang siap dapat diredistribusi kepada masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
KHKP merupakan kawasan hutan khusus untuk ketahanan pangan. Penetapan KHKP bisa di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Khusus pada kawasan hutan lindung (HL), syaratnya adalah sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan HL yang terbuka, terdegradasi, atau sudah tidak ada tegakan hutan.
Kawasan HL yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung harapannya bisa dipulihkan dengan food estate. Caranya dengan pola kombinasi tanaman hutan (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak (sylvopasture), atau kombinasi tanaman hutan dengan perikanan (sylvofishery).
Tanaman hutan dengan ketiga pola kombinasi di atas akan berperan memperbaiki dan meningkatkan fungsi hutan lindung.
Dalam perspektif pembangunan daerah, pembangunan food estate adalah wilayah perencanaan untuk land use (tata guna lahan) dengan pola pengelolaan multiguna.
Pembangunan food estate terintegrasi karena mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Ini disertai intervensi teknologi (benih, pemupukan, tata air, mekanisasi, pemasaran, dan lain-lain), dengan pola kerja hutan sosial.
Sebelum implementasi food estate ada penyusunan master plan yang memuat rencana pengelolaan KHKP dan menyusun detail engineering design (DED). Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan food estate dan lingkungan.
Tujuan utama pengembangan food estate adalah menjamin ketahanan ekologi sekaligus mencapai target ketahanan pangan nasional.
Nunu Anugrah
Kepala Biro Humas KLHK
Tanggapan KLHK 2
Menanggapi opini berjudul ”Meluruskan Green Economy” (Kompas, 15/12/2020), kami sampaikan ulasan ini.
Undang-Undang Cipta Kerja tidak menggantikan pasal-pasal keseluruhan undang-undang lama, hanya pasal-pasal tertentu. Ini untuk pengaturan dengan kemudahan, perlindungan, pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis.
Tidak semua pasal berubah. Misalnya, di UU No 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 2 tidak berubah. Intinya penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, keterbukaan, keterpaduan. Artinya, ruh UU mengenai kelestarian tidak berubah.
Tujuan pengaturan tentang kehutanan juga tidak berubah. Ini sesuai Pasal 3 UU No 41/1999 bahwa tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Pasal 18, di mana luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran proporsional dipertahankan. UU Cipta Kerja hanya memberi kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengatur luas kawasan hutan dan tutupan hutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Rancangan peraturan pemerintah (RPP) dimuat dalam portal resmi UU Cipta Kerja-Informasi seputar UU Cipta Kerja (uu-ciptakerja.go.id).
Terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), memang ada perampingan dan dilakukan hanya pada masyarakat terdampak langsung. Menyangkut peraturan green economy secara luas, yang disempurnakan hanya instrumen terkait perizinan, seperti amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup, upaya pemantauan lingkungan hidup, dan izin lingkungan.
Instrumen green economy lain, seperti inventarisasi sumber daya alam (SDA), rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH), ekoregion, daya dukung dan daya tampung, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), dan instrumen ekonomi lingkungan tetap mengacu pada UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengaturan green economy terkait instrumen ekonomi lingkungan tidak diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja, kecuali dana penjaminan pemulihan lingkungan. Instrumen ekonomi lingkungan tetap mengacu pada UU No 32/2009.
Terkait keterlibatan masyarakat luar diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Cipta Kerja, sebenarnya hanya pengaturan pelibatan masyarakat yang terkena dampak langsung pada sebagian proses amdal. Unsur masyarakat lain, seperti pemerhati lingkungan dan LSM, tetap dilibatkan dalam proses penilaian amdal.
Sigit Hardwinarto
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Hidup KLHK