Penegakan Hukum di Era Pandemi
Selain penegakan hukum atas kasus korupsi dan pelanggaran protokol kesehatan, tahun 2021 juga akan diwarnai penegakan hukum gugatan pelanggaran pilkada dan pengawasan ketat terhadap narapidana yang menjadi tahanan rumah.
”In casu extremae necessitates omnia sunt communia”: dalam keadaan darurat, tindakan yang diambil dipandang perlu. Postulat ini menggambarkan kondisi dunia tidak terkecuali Indonesia, sepanjang 2020 sejak merebaknya Covid-19.
Dampak yang amat sangat signifikan terjadi di berbagai bidang kehidupan. Presiden Joko Widodo kemudian menetapkan Covid-19 sebagai bencana non-alam yang bersifat nasional. Pemerintah lalu mengambil sejumlah kebijakan untuk menyesuaikan dengan situasi pandemi Covid-19.
Baca juga: Memahami Situasi Krisis Bencana Covid-19
Demikian pula dalam penegakan hukum secara keseluruhan, harus menyesuaikan dengan situasi pandemi, termasuk bekerjanya sistem peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana
Secara sederhana, sistem peradilan pidana diartikan proses bekerjanya berbagai institusi dalam penegakan hukum pidana yang dalam hal ini adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, termasuk lembaga pemasyarakatan (lapas) dan penasihat hukum.
Berbagai kebijakan di awal pandemi ditempuh, mulai dari program ”merumahkan” sekian puluh ribu narapidana, meskipun dalam masa asimilasi, termasuk pembebasan bersyarat yang dipercepat, penangguhan dan pengalihan penahanan bagi para tersangka, sampai pada persidangan secara daring terhadap para terdakwa yang sudah hampir selesai masa penahanannya.
Kendatipun menimbulkan kontroversi, kebijakan tersebut cukup rasional.
Kendatipun menimbulkan kontroversi, kebijakan tersebut cukup rasional. Sudah merupakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa terjadi kelebihan kapasitas di lapas sehingga tidak mungkin menerapkan pembatasan sosial.
Di satu sisi, narapidana yang menjalani asimilasi seharusnya tetap tinggal di lapas, tetapi di sisi lain ada kepentingan untuk mencegah kian meluasnya Covid-19 dengan melakukan pembatasan sosial sehingga para narapidana tersebut ”dirumahkan”.
Baca juga: Menkumham: Asimilasi dan Integrasi Diapresiasi oleh Warga Binaan
Demikian pula pembebasan bersyarat yang dipercepat. Meskipun narapidana tidak lagi menghuni lapas, tetapi tetap dalam pengawasan. Kebijakan yang sama juga ditempuh Polri yang melakukan pembatasan sosial dengan melakukan penangguhan penahanan atau mengalihkan penahanan dari tahanan di rumah tahanan (rutan) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota.
Terhadap para terdakwa yang berada pada tahap persidangan, Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan pelaksanaan sidang secara daring. Peraturan tersebut perlu diapresiasi. Terdakwa yang berada di rutan tetap dihadirkan secara virtual, sementara majelis hakim, penuntut umum dan penasihat hukum tetap bersidang di pengadilan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Demikian pula para saksi dan ahli yang didengarkan keterangannya melalui telekonferensi. Hal sama ditempuh Polri dalam penyidikan di mana proses pembuatan berita acara ada yang dilakukan secara daring.
Tidaklah dapat dimungkiri bahwa dampak sosial Covid-19 menimbulkan tingkat kriminalitas yang cukup signifikan, terutama street crime, seperti pembunuhan, begal, perampokan, prostitusi online, penyebaran hoaks, penghinaan bahkan sampai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti peredaran gelap narkotika dan beberapa aksi teror di Tanah Air.
Baca juga: Menangkal Kejahatan di Tengah Wabah
Perlu dipahami, kejahatan apa pun yang dilakukan dalam situasi darurat, termasuk di tengah wabah penyakit, adalah hal yang memberatkam pidana. Oleh karena itu, penegakan hukum, terlebih putusan pengadilan, harus mempertimbangkan situasi dan keadaan darurat ini.
Selain memberi efek jera pada pelaku, juga dapat berfungsi sebagai pencegahan umum (general prevention) agar tak terjadi kejahatan serupa.
Oleh karena itu, penegakan hukum, terlebih putusan pengadilan harus mempertimbangkan situasi dan keadaan darurat ini.
Pembatasan sosial berskala besar
Penyebaran Covid-19 yang terus meningkat sejak awal pandemi hingga saat ini memaksakan hampir seluruh daerah memberlakukan keadaan darurat kesehatan yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pada dasarnya, UU a quo adalah hukum administrasi yang diberi sanksi pidana. Berdasarkan UU a quo, setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 Ayat (1).
Baca juga: Penegakan Hukum Pembatasan Sosial
Salah satu bentuk tindakan kekarantinaan kesehatan adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan atas usul kepala daerah. Cakupan PSBB paling tidak meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Kendatipun UU a quo berlaku secara nasional, tetapi keberlakuan lebih lanjut terkait PSBB dituangkan dalam peraturan daerah atau peraturan gubernur atau peraturan bupati/wali kota mengingat sifat dan karakteristik penularan Covid-19 di sejumlah daerah berbeda antara satu dan yang lainnya.
Demikian pula dalam konteks penegakan hukumnya. Meskipun penegakan hukum secara nasional dilakukan oleh Polri, tetapi sebagai unjuk tombak penegakan di sejumlah daerah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil, dalam hal ini satuan polisi pamong praja (satpol PP).
Dalam UU a quo, ada ketentuan pidana yang saya istilahkan sebagai ”pasal sapu jagat”, yakni Pasal 93, yang menyatakan, ”Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah”.
Baca juga: Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Berdasarkan konstruksi pasal tersebut, paling tidak ada dua hal yang perlu diketahui. Pertama, tindakan apa pun (tidak menggunakan masker, pengambilan paksa jenazah atau menghalang-halangi pemakaman jenazah Covid-19, menciptakan kerumunan tanpa menjaga jarak, menolak tes usap atau vaksin dan lain sebagainya) yang tidak sesuai dengan protokol kesehatan dapat dijerat dengan pasal a quo.
Kedua, pidana yang dijatuhkan dapat berupa pidana denda atau pidana penjara atau kedua-duanya baik pidana denda ataupun pidana penjara.
Dalam rangka memastikan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, pemerintah melaksanakan operasi yustisi yang melibatkan TNI dan Polri untuk mendukung tugas satpol PP. Sayangnya, angka pelanggaran PSBB di sejumlah daerah meningkat dan hal ini sangat signifikan dengan penambahan angka penularan virus.
Sebagai misal, angka pelanggaran PSBB di DKI Jakarta pada periode pertama berkisar 15.000 pelanggaran, sedangkan pada periode kedua pelaksanaan PSBB di DKI Jakarta meningkat menjadi 19.000 pelanggaran.
Artinya, penegakan hukum terhadap pelanggaran PSBB tidak berlaku secara efisien dan efektif.
Artinya, penegakan hukum terhadap pelanggaran PSBB tidak berlaku secara efisien dan efektif. Selain kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah untuk mematuhi protokol kesehatan, inkonsisten penegakan hukum jadi faktor meningkatnya angka pelanggaran.
Kasus kerumunan massal di Petamburan pada pertengahan November 2020 semestinya dapat dicegah sebab sang pemilik hajat telah mengundang semua orang untuk hadir dalam hajatan tersebut, padahal yang bersangkutan mengetahui dengan pasti bahwa Jakarta sedang memberlakukan PSBB.
Baca juga: Efektivitas PSBB
Undangan untuk hadir dalam suatu hajatan yang dilakukan di depan umum dengan menggunakan pengeras suara sudah lebih dari cukup untuk membuktikan adanya ajakan untuk melanggar PSBB karena tidak mungkin ada pembatasan sosial dengan kerumunan yang begitu masif.
Celakanya, jika sang pemilik hajat sudah diperingatkan oleh aparat berwenang tetapi tidak diindahkan, maka sempurnalah pelanggaran tersebut. Tindakan tegas Kapolri yang memutasi Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat sebagai dampak kerumunan di Petamburan dan Megamendung perlu diapresisasi.
Baca juga: Negara Tak Boleh Kalah
Apresiasi sama pula perlu diberikan kepada Gubernur DKI Jakarta yang mencopot Wali Kota Jakarta Pusat karena tak bisa mencegah terjadinya kerumunan meskipun Gubernur dan Wakil Gubernur hadir dalam kerumunan itu.
Pemberantasan korupsi
Di saat negara dan rakyat sedang berusaha keras menekan angka penularan virus, publik dikejutkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak tanggung-tanggung, kali ini yang terjerat OTT adalah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Menteri Sosial, dalam selang waktu kurang dari dua minggu.
OTT terhadap kedua menteri seolah menjawab keraguan masyarakat terhadap kinerja KPK bahwa sesungguhnya KPK masih bertaji. Perdebatan pun terjadi di ranah publik apakah para tersangka dapat dituntut pidana mati.
Baca juga: Hukuman Mati dan Efek Jera untuk Koruptor
Merujuk pada UU pemberantasan tindak pidana korupsi, satu-satunya ketentuan yang diancam dengan pidana mati hanyalah Pasal 2 Ayat (2) UU a quo yang intinya adalah secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
Termasuk dalam keadaan tertentu adalah keadaan darurat. Adapun ketentuan yang diancam dengan pidana seumur hidup dalam UU a quo adalah Pasal 12 berkaitan dengan penerima suap dan Pasal 12 B tentang gratifikasi.
Hemat saya, kedua menteri tersebut dapat dijerat dengan Pasal 2 Ayat (2) UU a quo. Argumentasi yuridisnya, pertama, perbuatan menerima suap pada dasarnya adalah melawan hukum karena menerima sesuatu yang bukan haknya.
Kata hukum dalam frasa ”melawan hukum” diartikan sebagai hak subyektif (lihat, Noyon & Langemeijer, 1947, halaman 7-8). Kedua, unsur memperkaya diri sendiri adalah fakta yang tidak terbantahkan sebagaimana yang dirilis KPK.
Ketiga, terkait kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kasus Menteri Sosial, unsur kerugian negara secara kasatmata terlihat dengan adanya potongan Rp 10.000, per paket sembako sebagai kickbacks. Tidak ada kerugian negara jika Rp 10.000, yang diambil per paket sembako kemudian dimasukkan ke kas negara.
Baca juga: Kasus Korupsi Jadi Momentum ”Reshuffle”
Dalam kasus Menteri KP, unsur kerugian negara masih perlu didalami, tetapi terhadap perekonomian negara, kiranya KPK perlu mendengar keterangan ahli ekonomi.
Keempat, pandemi Covid-19 adalah keadaan darurat kesehatan yang tak hanya menasional, tetapi juga mendunia.
Tuntutan pidana mati atau setidaknya tuntutan pidana seumur hidup harus dipertimbangkan oleh KPK.
Tuntutan pidana mati atau setidaknya tuntutan pidana seumur hidup harus dipertimbangkan oleh KPK. Dalam doktrin hukum pidana, pemberatan penjatuhan pidana terjadi jika ada beberapa kemungkinan. Pertama, pelaku kejahatan adalah seorang residivis.
Kedua, terjadi berbarengan perbuatan pidana. Ketiga, kejahatan dilakukan dalam jabatan. Keempat, kejahatan dilakukan pada saat terjadi bencana alam, huru-hara atau wabah penyakit.
In casu a quo dugaan korupsi yang dilakukan Menteri KP dan Menteri Sosial memenuhi dua hal yang dapat memberatkan pidana, yaitu kejahatan yang dilakukan dalam jabatan dan kejahatan yang dilakukan dalam keadaan wabah penyakit.
Proyeksi penegakan hukum 2021
Ditemukannya vaksin Covid-19 tidaklah berarti kehidupan normal seperti sedia kala. Protokol kesehatan masih tetap berlaku dan oleh sebab itu bekerja sistem peradilan pidana oleh berbagai institusi penegak hukum masih sama dengan kondisi tahun 2020.
Ketegasan terhadap para pelanggar PSBB masih dibutuhkan untuk menurunkan tingkat penyebaran wabah penyakit. Selain itu, berbagai program jaringan pengaman sosial haruslah tepat sasaran. Akurasi data penduduk yang berhak menerima bantuan sosial jadi kunci utama untuk mencegah penyelewengan dalam penyaluran bantuan.
Selain untuk mencegah revolusi sosial akibat krisis ekonomi dan banyaknya pengangguran sebagai dampak pandemi, berbagai program jaringan pengaman sosial yang dilakukan oleh negara diharapkan dapat menurunkan tingkat kriminalitas di tengah kehidupan yang serba sulit.
Baca juga: Problematika Sanksi Pidana UU Cipta Kerja
Demikian juga dibutuhkan pengawasan ketat terhadap narapidana yang ”dirumahkan” agar tidak kembali melakukan kejahatan. Lapas dapat bekerja sama dengan aparat pemerintah tingkat terkecil, yakni kelurahan, untuk mendata dan mengawasi bekas narapidana yang dirumahkan.
Penegakan hukum di awal tahun 2021 akan disibukkan dengan berbagai gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait isu kecurangan dalam pemilihan kepala daerah yang telah berlangsung pada 9 Desember 2020.
Dalam hal pemberantasan korupsi, tunggakan kasus di masa lalu haruslah menjadi perhatian, khususnya terhadap sejumlah orang yang telah dinyatakan tersangka selama bertahun-tahun tetapi tidak ada penyelesaian secara pasti. Jika telah cukup bukti, kiranya persidangan segera digelar. Namun, sebaliknya, bila tidak ada perkembangan dalam penyidikan, undang-undang KPK yang baru telah menyediakan instrumen penghentian penyidikan.
Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada