Kata ”menghidu” menyangkut bebauan atau ’membaui’. Akan tetapi, bau di sini lebih dimaksud sebagai sesuatu yang lain: petunjuk, informasi, gelagat, seperti pada mengendus, melacak.
Oleh
EKO ENDARMOKO
·3 menit baca
Menghidu rupanya tergolong kata yang agak asing bagi sebagian penutur bahasa Indonesia. Seorang teman menemukannya dalam satu klausa di sebuah tulisan, ”menghidu aroma kopi”. Dia mengira itu tipo alias salah tik sebab ungkapan yang lebih tepat menurutnya adalah ”menghirup kopi”, analog dari ”menghirup udara segar”. Benar begitu?
Hidu, cium. Mari terlebih dulu kita tengok sedikit lebih dekat. Kata dasar menghidu bisa jadi mengingatkan kita pada hidung. Dan maknanya kebetulan juga menaut ke sana: ’mencium’, tapi lebih spesifik menyangkut bebauan, ’membaui’. Ini bukan berarti mencium tak berurusan dengan bebauan, tapi bau di sini lebih dimaksud sebagai sesuatu yang lain: petunjuk, informasi, gelagat–seperti pada mengendus, melacak. ”Fulan mencium aroma tak sedap dalam rapat barusan.” Kita lihat kata mencium dipakai sebagai bahan bahasa figuratif, bahasa kias.
Sebenarnyalah, berbeda dari menghidu, mencium tidak niscaya berkenaan dengan bebauan, seperti kata dari Jawa sun, mengesun yang tidak mesti disertai hasrat mendapati bau tertentu. Kurang lebih seperti itu jugalah laku anak yang mencium tangan orangtuanya pada beberapa kesempatan spesial. Mobil bisa juga mencium, mencium bajaj, misalnya. Atau bajaj mencium pantat sedan. Namun, arti mencium yang ini tentu kiasan sebab bukan berkenaan dengan bebauan, melainkan mendekat ke arti lain dari kata mencium yang meresap ke dalam bahasa kita setelah ada kontak dengan bangsa Eropa. Ini adalah mencium bukan dengan hidung melainkan dengan bibir, sinonim mengecup. Ada persentuhan di sana. Begitulah cium menegaskan perbedaan dirinya dari hidu.
Menghidu menggambarkan perbuatan mencium dengan hidung. Bagian inti yang sekaligus menjadi obyek kata menghidu adalah rujukan atau tautan berupa unsur bebauan. Maka, konstruksi ”menghirup kopi” dapatlah dikatakan kurang tepat. Tapi, apa atau di mana ”salah” bentuk itu?
Hirup, isap, sedot. Menghirup, yang bersinonim dengan mengisap, menyedot (udara, cairan, lewat hidung atau mulut) tidaklah dibarengi niat mendapatkan informasi tentang aroma bebauan. Dan ini, sekali lagi, adalah aspek yang membedakannya dari menghidu. Tekanan terletak pada aksi menyedot, bukan membaui, sesuatu.
Dengan begitu, tidak ada yang ”salah” pada bangun atau konstruksi ”menghirup kopi”. Menghirup di sini tentu saja berarti minum atau lebih tepat, menyeruput kopi. Ungkapan ”menghirup kopi” bukan ”salah”, melainkan menyatakan hal berbeda dari ”menghidu kopi”. Tapi, bagi saya ada yang jauh lebih menarik.
Barusan kira lihat, hirup punya kesamaan makna dengan isap dan sedot. Pada saat yang sama, sebenarnya masing-masing terus-menerus saling menampik disama-samakan dengan memancarkan makna sendiri yang boleh dibilang unik.
Ini dapat menjadi lebih jelas manakala kata itu sudah menduduki satu tempat di dalam konteks tertentu. Bisakah Nikita menghirup perhatian publik, misalnya? Atau, bisa anda bayangkan ada usaha jasa hirup atau isap WC? Ah, belantara makna. Sudah agak jauh masuk ke tengah sana rupanya kita.