Alasan di Balik Pemulihan Ekonomi yang Berlangsung Lebih Cepat
Pandemi Covid-19 menyebabkan resesi global. Namun, berdasarkan data hingga November 2020, pemulihan ekonomi dari resesi kali ini berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan. Pertanyaannya, mengapa bisa demikian?
Lembaga-lembaga internasional memperlihatkan data yang lebih kurang seragam, yakni resesi ekonomi 2020, sejauh ini terbukti tidak terlalu dalam. Ini kontras dengan perkiraan pada Maret lalu bahwa efek penguncian wilayah akan membuat kegiatan ekonomi mencapai titik nadir yang tak terbayangkan.
”Sebuah krisis yang lain dari yang lain dengan pemulihan yang tidak pasti,” demikian Dana Moneter Internasional (IMF) menggambarkannya pada Juni lalu. Saat itu tergambar akan munculnya sebuah krisis sistemik sebab diduga efeknya akan menyerempet ke mana-mana.
Namun, berdasarkan data hingga November 2020, pemulihan ekonomi dari resesi kali ini berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan. Pada Oktober 2020, IMF memperkirakan kontraksi ekonomi global pada 2020 sebesar 4,4 persen. Ini lebih baik dari perkiraaan IMF pada Juni yang menyimpulkan kontraksi ekonomi global 5,2 persen.
Hal ini juga didukung dengan data perdagangan internasional dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berdasarkan laporan November 2020. Barometer pesanan ekspor global, misalnya, memiliki indeks 113,5. Barometer di atas 100 menunjukkan ada kecenderungan kenaikan permintaan dan pemulihan yang menjanjikan. Barometer perdagangan internasional untuk bahan-bahan mentah sebesar 103,6 serta barometer pengangkutan peti kemas antar-negara sebesar 102.
Memang ada ketidakseimbangan pemulihan dalam sektor-sektor ekonomi yang diperdagangkan secara internasional. Barometer untuk produk-produk otomotif 99,2, barometer untuk komponen elektronik 94,6, sedangkan barometer untuk kargo udara sebesar 88,5. Ini menunjukkan kecenderungan pemulihan di sektor tersebut masih di bawah harapan walau juga terlihat peningkatan meski masih di bawah angka 100.
Dengan demikian, secara makro ada potensi pemulihan berpola V, merujuk pada aktivitas ekonomi yang amblas dratis tetapi pulih cepat. Kemerosotan tidak seburuk perkiraan semula walau pemulihan lebih banyak terjadi di Asia, khususnya China. Negara-negara di Amerika Latin dan Karibia tergolong lebih terpukul. Namun, jika diambil gambaran makro, pemulihan terjadi lebih cepat.
Karakter berbeda
Pertanyaannya, mengapa bisa demikian?
Harvard Business Review edisi 3 November 2020 meluncurkan tulisan berjudul ”Why The Global Economy Is Recovering Faster Than Expected” yang ditulis Philipp Carlsson-Szlezak, Paul Swartz, dan Martin Reeves. Mereka menjelaskan mengapa pemulihan lebih cepat dari yang diperkirakan.
Para analis tersebut mencoba melihatnya dari sifat resesi. Memahami karakter resesi akan memudahkan pemahaman. Dikatakan, penyebabnya adalah karakter resesi akibat hantaman pandemi Covid-19 tidak sama dengan karakter resesi-resesi besar lainnya.
Baca juga: Dirjen WTO: Skenario Pesimistis Terhindarkan
Pada Malaise 1929, demikian juga pada resesi 2001, 2008 di AS, dan 2009 di Eropa, kekuatan yang mendasari resesi adalah gelombang kebangkrutan investasi, krisis keuangan, kesalahan dalam kebijakan, serta guncangan eksternal. Krisis ekonomi di Asia pada 1997 juga adalah akibat kejenuhan di sektor properti, yang memiliki efek domino ke sektor perbankan. Semua resesi tersebut tergolong paling besar sepanjang sejarah.
Efek resesi ekonomi global pada 2020 akibat pandemi juga dahsyat. Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) memperkirakan resesi ekonomi dunia telah memasukkan kembali 130 juta warga dunia ke dalam kemiskinan ekstrem. Ukuran bagi orang yang berada dalam kemiskinan ekstrem adalah mereka yang memiliki pengeluaran di bawah 2,19 dollar AS per hari (setara Rp 32.000). Dengan demikian, minimal 300 juta warga dunia menghadapi kekurangan pangan.
Akan tetapi, resesi akibat pandemi ini lebih cepat pulih. Ini karena resesi akibat pandemi bukan disebabkan rentetan kebangkrutan investasi dan bukan juga karena krisis di sektor keuangan serta guncangan eksternal. Secara empiris, resesi akibat krisis keuangan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk pulih.
”Hampir semua perbankan global dalam kondisi baik sebelum menghadapi krisis. Ini adalah hasil dari perbaikan selama satu dekade terakhir,” demikian laporan Moody’s, Lembaga pemeringkat internasional, pada Noovember 2020. ”Kemungkinan terjadinya krisis keuangan pada 2021 bisa dikatakan rendah,” kata Sophia Lee, Associate Managing Director di Moody’s.
Efek ”lockdown”
Resesi 2020 akibat pandemi adalah karena lockdown, pembatasan pergerakan. Begitu pembatasan ini dilonggarkan, transaksi langsung mengalir karena kegiatan ekonomi tidak perlu menunggu waktu terlalu untuk bergerak. Inilah yang menyebabkan geliat dalam perdagangan internasional dan perekonomian domestik di berbagai negara.
Resesi kali ini juga memiliki fenomena unik. Relatif tidak ada kecurigaan besar dan psikologi panik besar di antara para pelaku ekonomi. Fenomena saling curiga dan panik besar terjadi setelah kebangkrutan Lehman Brothers pada 2008.
Aksi saling curiga dengan menghentikan relasi bisnis dan transaksi di antara para pelaku marak terjadi pada 2008. Situasi tersebut ketika itu melahirkan apa yang dinamakan efek menular. Kali ini, semua hanya saling terhenti bertransaksi karena lockdown tetapi relatif saling memahami situasi.
Resesi kali ini juga tidak dimulai dari guncangan eksternal, seperti dipicu krisis baht Thailand, yang mengimbas ke Asia dan beberapa bagian dunia pada 1997. Krisis baht ini dulu menjelma menjadi krisis sistemik dan mengimbas ke sektor keuangan. Ini karena dasarnya adalah investasi berlebihan di sektor properti yang tak laku terjual. Bahaya lain dari krisis baht adalah investasi di sektor properti yang didanai dari pinjaman luar negeri tanpa memperhatikan ambang batas pinjaman luar negeri yang aman.
Tanggapan kebijakan
Aspek lain yang mencegah kedalaman resesi kali ini adalah respons kebijakan. Kebijakan pemerintah sangat kuat membentuk jalur menuju pemulihan. Ada kecepatan kebijakan dan di dalamnya ada kelayakan langkah-langkah. Keefektifan kebijakan fiskal telah dibuktikan dalam resesi kali ini. Kucuran dana bagi warga yang terjerembab ke dalam kemiskinan dan perusahaan termasuk keringanan pajak tergolong efektif.
Laporan McKinsey berjudul ”The $10 trillion rescue: How governments can deliver impact” pada 5 Juni 2020 menyebutkan, pengucuran dana stimulus pemerintah di seluruh dunia sebesar 10 triliun dollar AS. Ini adalah sebuah preseden baru stimulus.
Jumlah ini tiga kali lipat dari dana stimulus yang dikucurkan pada krisis 2008-2009. Di Eropa sendiri pada 2020, dana stimulus sebesar 4 triliun dollar AS atau 30 kali lebih banyak dari Marshall Plan dengan nilai sekarang. Kebijakan fiskal inilah salah satu faktor utama pencegah kedalaman resesi.
Menurut Harvard Business Review, tentu masih ada persepsi secara umum bahwa beban akibat peningkatan kasus positif dan kematian akibat Covid-19 menjadi penghambat yang hebat bagi kinerja perekonomian. Pada kenyataannya, menurut Harvard Business Review, korelasinya lemah. Respons kebijakan ekonomi yang kuat menjembatani secara efektif beberapa kerusakan ekonomi akibat Covid-19.
Kebijakan ekonomi hadir dan mampu mengatasi kegagalan pengendalian penularan virus. Sebagian besar upaya AS dalam pengendalian virus mengalami kegagalan jika dibandingkan misalnya dengan negara-negara di Eropa. Meski demikian soal pertumbuhan yang nyata, AS memperlihatkan kemajuan.
Upaya kebijakan AS yang jauh lebih berani menjelaskan hasil itu. Tujuan terpenting dari kebijakan itu adalah untuk mencegah berbagai efek resesi akibat Covid-19, seperti kebangkrutan ekonomi rumah tangga, kebangkrutan perusahaan, serta menekan kerusakan sistem perbankan. Dengan demikian, kerusakan struktural dalam perekonomian relatif terhindarkan.
Baca juga: Di Era Biden, Kurangi Porsi Utang dalam Denominasi Dollar AS
Bahaya kerusakan struktural
Kerusakan struktural adalah penentu utama resesi. Ketika resesi menyebabkan jatuhnya pengeluaran modal, menggusur para pekerja dari angkatan kerja, maka kapasitas produktif ekonomi akan menurun. Itulah salah satu bentuk kerusakan struktural yang terjadi di AS pada 2008. Ketika itu, krisis keuangan mengganggu pertumbuhan stok modal dan membuatnya lebih sulit untuk kembali ke level sebelum krisis.
Resesi akibat Covid-19 lebih menguntungkan dalam hal ini. Sebab, tidak ada overhang dari ekspansi investasi. Tidak ada ekses dalam investasi atau pinjaman berlebihan yang harus diselesaikan. Respons kebijakan yang cepat mendorong pemulihan bentuk-V yang kuat dalam pesanan barang modal. Sejauh ini, resesi Covid-19 tampaknya dapat menghindari kerusakan struktural besar, mencegah kebangkrutan perbankan. Situasi resesi kali ini tidak seperti tahun 2008, di mana gelontoran uang tidak bisa dengan cepat mengatasi masalah.
Harvard Business Review menambahkan, resesi kali ini adalah akibat Covid-19, dengan karakter berbeda. Dengan demikian, pemulihan yang lebih cepat dari resesi seharusnya tidak mengejutkan.
Waspadai gelombang kedua
Meski demikian, semua Lembaga tersebut tidak hendak menawarkan sikap puas diri dan tidak hendak membuat para pelaku ekonomi dan pemerintah untuk tenang saja. WTO, IMF, Moody’s, dan Harvard Business Review menyinggung potensi akan terjadinya gelombang kedua penularan pandemi Covid-19.
Jika ini diterjemahkan dengan lockdown, ekonomi jelas akan amblas lagi seperti di awal pandemi. Lockdown tidak akan menyelamatkan rakyat termiskin. Akan tetapi, Harvard Business Review menuliskan, jika itu terjadi, pemulihan kemungkinan akan berbentuk huruf W. Pola ini merujuk situasi, ekonomi yang pulih, kemudian akan anjlok lagi, tetapi juga pulih lebih cepat.
Meski demikian, kewaspadaan pada gelombang kedua ini menjadi perhatian banyak pihak. Kepanikan dalam langkah-langkah antisipasi akan bisa menjerembabkan. Disebutkan juga tentang potensi kegagalan politik di banyak negara, termasuk di AS. Oleh karena itu, tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun opisisi secara implisit dituntut bertanggung jawab untuk menciptakan situasi kondusif.
Pandemi memukul siapa saja. Kedewasaan semua pihak, dengan tidak mengutamakan diri dan kelompoknya demi kepentingan politik masing-masing, akan sangat menentukan bagi terciptanya iklim politik yang kondusif. Rasa patriotisme dari semua pihak sangat menentukan sekarang ini.
Hal lain dan tentunya yang paling penting adalah percepatan pengadaan vaksin Covid-19. Sudah bermunculan banyak calon vaksin. Optimisme relatif kuat akan pendistribusian vaksin, diperkirakan akan terjadi pada 2021.
Hanya saja, berbicara tentang vaksin ini, menunjukkan kegagalan dunia dalam berkolaborasi. Vaksin kerap menyentuh nuansa politik tingkat internasional.
Negara-negara tidak terlihat kukuh dalam kolaborasi agar bisa secepatnya sama-sama menghasilkan vaksin. Negara-negara kini mirip dalam ajang kontes, saling menonjolkan diri sebagai yang terhebat dalam penelitian vaksin. Pandemi tidak membutuhkan kontes individu negara-negara sebab tidak ada negara yang akan selamat sendiri di masa pandemi.
Tidak heran jika Sekjen PBB Antonio Guterres berseru lagi. ”Dalam sebuah krisis global, kita harus memenuhi harapan dari mereka yang kita layani dengan rasa persatuan, solidaritas dengan langkah multilateral yang terkoordinasi dan berskala global,” kata Guterres.